3

1.6K 131 4
                                    

Sayangnya, kehangatan itu tidak bertahan lama.

Mungkin rasa sayang itu memang masih ada dalam diri Edgar. Namun jika mendapat perlakuan seperti ini lagi dan lagi, rasanya Rena lelah juga.

"Kenapa masih belum selesai proses hitungnya?" tanya Edgar dengan nada mengintimidasi.

"Bang, tiap hari kita jual barang, stok pasti terus berkurang. Kalau dihitung sekarang terus sejam lagi barangnya laku, ya jelas stok berubah, jadi musti balik lagi periksa terus ngurangin hitungan stok yang sebelumnya," Rena tidak mau kalah.

"Ya tahu. Makanya kan catat manual itu barang yang laku apa, kurangin di catatan kamu. Bisa kan?!"

Rena rasanya ingin mendengus, itu juga kan yang baru saja dia sampaikan? "Iya udah, tapi otomatis waktunya kan kepotong buat itu. Makanya gak nyampe waktunya. Aku harus kurangin gitu atau nambahin pas ada barang orderan datang, terus masih harus hitung stok lainnya."

"Makanya kan ada Dini."

"Mbak Dini berkali-kali dipanggil buat bantu depan. Kayak kemaren abang sendiri yang nyuruh mas Andi manggil mbak Dini buat bantu layanin customer di depan pas mbak Dini bantu aku hitung."

"Kamu jawab terus diajak ngomong," amarah Edgar memuncak.

Kini Rena mengatupkan bibirnya rapat, detak jantungnya berpacu lebih cepat karena dia tengah menahan amarah.

"Terus sekarang maunya apa? Lembur bisa?! Nanti sore lembur sama aku, hitung! Kubantu."

Rena masih tidak menyahut.

"Gimana? Ok?"

"Iya," jawab Rena pelan, masih mencoba meredam emosi.

"Ya sudah."

Dengan langkah tidak sabar Rena keluar dari ruangan Edgar, berjalan cepat menuju kamar mandi karyawan dan menangis di sana.

Rena membenci Edgar. Lebih tepatnya benci pada perlakuan sang kakak padanya. Kapan permintaannya akan didengar? Padahal Rena meminta waktu dua hari dimana kegiatan jual beli dihentikan, agar dia bisa menghitung stok barang di toko dengan baik. Terserah toko tutup atau tidak, terserah karyawan akan diliburkan atau diminta membantu proses hitung dan merapikan barang. Intinya dia hanya butuh waktu untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.

Egois? Memang. Rena memang seegois itu, itu juga salah satu penyebab Edgar sering berlaku buruk padanya. Keegoisan Rena adalah satu hal yang dibenci Edgar. Menurut Edgar, itu adalah sifat buruk yang terlanjur melekat pada sang adik.

Namun apa Edgar sendiri benar-benar tidak merasa memiliki sifat egois?

*

"Rena mana?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Ega ketika melihat sang kakak datang tanpa adik bungsu mereka.

Seringkali, Rena lebih dulu sampai di rumah sementara Edgar pulang belakangan. Atau terkadang mereka pulang bersama jika Edgar memutuskan pulang di waktu bersamaan dengan karyawan lain. Tapi sekarang, Edgar pulang sendirian.

Edgar menoleh, mendapati si tengah yang sibuk memotong wortel. Keningnya sedikit berkerut tidak suka mendapati raut pucat Ega.

"Istirahat sana di kamar, pucet," omel Edgar.

Ega mendengus, "Lagi pengen masak."

Kedua bersaudara itu memang pintar memasak. Bahkan Rena tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka. Dulu, Edgar sering membantu Arum memasak, namun semakin beranjak dewasa ketika memasuki perguruan tinggi pria itu jadi jarang memasak. Sementara Ega, dia bisa memasak tapi dia jarang melakukannya. Saat berada di rumah, dia sesekali memasak. Hanya saja, sejak penyakit Ega semakin memburuk -- terlebih sejak beberapa bulan lalu -- Ega sedikit kesulitan melakukan hal-hal normal termasuk memasak apalagi bekerja di toko. Terlebih Edgar menetapkan aturan dimana Ega tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh banyak pikiran atau kondisi fisiknya akan menurun.

BIRUWhere stories live. Discover now