7

1.1K 94 1
                                    

Rena tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Rasanya lelah sekali. Lelah dengan segala keadaan. Dia tidak nyaman berada di tempat kerja, tidak nyaman berada di rumah. Tidak ada tempat yang membuatnya nyaman. Dan rasanya itu melelahkan.

Ada rasa benci pada diri sendiri karena dia merasa begitu emosional dan berlebihan. Seharusnya dia hanya perlu menjalani hidupnya saja. Tapi entah kenapa rasanya susah. Pikirannya mulai terbiasa membisikkan kalimat 'Hari ini apalagi masalahnya? Apa lagi yang bakal bikin bang Edgar marah?' setiap pagi sebelum berangkat kerja. Dan itu membuatnya tidak nyaman. Pikirannya tidak pernah berhenti merasa khawatir. Setiap hari rasanya menyakitkan karena dia harus terus bertahan. Setiap malam rasanya melelahkan karena dia seringkali menangis.

Dia tidak tahan lagi rasanya, sungguh.

Ini sudah beberapa hari sejak Edgar memarahinya masalah pembayaran nota. Dan selama beberapa hari ini dalam kondisi sadar Rena semakin menarik diri dan membangun tembok tinggi diantara dirinya dan Edgar. Rena berusaha menjawab dengan baik ketika Edgar mengajaknya bicara. Tapi dia nyaris tidak pernah mengajak Edgar bicara lebih dulu, bahkan jika mereka tengah berada di rumah sekalipun.

Keadaan yang sungguh berbanding terbalik dengan dulu. Dulu, dia bertingkah seperti itu kepada Ega. Namun sekarang, dia justru lebih sering menemui Ega meskipun berujung dengan keduanya sama-sama diam atau bahkan hanya tidur bersama.

Mendadak Rena merindukan masa lalu, tapi dia teringat perkataan Ega 'Waktu akan terus berjalan dan keadaan akan terus berubah.'

Rena memperhatikan tampilannya di cermin sebelum beranjak keluar kamar. Dia berjalan ke arah meja makan, bersiap sarapan. Hanya ada Arum dan Ratna yang duduk di dekat pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang makan, berbincang pelan masalah kondisi Ega di sana. Rena bergabung tanpa mengatakan apapun, dia hanya berniat sarapan. Yang dia dengar, Edgar dan Arum sudah setuju untuk mendaftarkan nama Ega sebagai penerima donor hati. Pikiran Rena terus bertanya tentang apakah kakaknya akan segera sembuh? Lalu jika Ega sembuh, bisakah Ega kembali ke toko sehingga dia bisa keluar dari sana?

Terkadang, rasanya Rena ingin menghilang saja.

Hhh, kenapa juga orang yang menjadi sumber rasa sakitnya saat ini adalah kakak tertuanya sendiri? Rasanya sangat menyebalkan karena jelas dia tidak akan bisa menghindar dari Edgar walau hanya sehari.

Mata Rena memanas hanya dengan sekali lagi mengingat hal-hal yang terjadi belakangan. Ketika mengingat bagaimana pekerjaannya terlihat seolah tidak beres sehingga dia terus ditegur oleh Edgar. Atau mengingat betapa tidak nyamannya dia berhadapan dengan Edgar di rumah.

Tapi ayolah, ini masih pagi, bukan waktunya menangis. Maka Rena dengan cepat berusaha mengatur emosinya. Gadis itu meminum air mineralnya dan segera beranjak ke tempat cuci piring. Pamit kepada Arum dan Ratna kemudian beranjak setelah sebelumnya meraup segenggam permen mint favorit Ega yang diletakkan dalam toples di atas meja makan.

Omong-omong, Rena memang jarang berangkat bersama Edgar beberapa minggu belakangan ini. Dia lebih sering naik angkutan umum atau ojek online. Alasannya, karena saat dia sudah siap berangkat Edgar biasanya masih mandi atau bersiap-siap dan Rena tidak ingin menunggu untuk itu. Alasan yang terlihat dibuat-buat sebenarnya, karena mereka akan bekerja di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama pula. Apalagi posisi mereka sama-sama sebagai pemilik, sesuatu yang membuat Rena sepatutnya tidak perlu khawatir meski berangkat lebih siang dari jam buka toko.

*

Ega tersenyum tipis kepada beberapa karyawan toko yang menatapnya.

"Pak Ega? Sehat Pak?" tanya Dini ramah.

"Iya Mbak, ini enakan," dusta Ega. "Rena dimana mbak?" tanyanya segera mengalihkan pembicaraan.

"Di belakang Pak, nyetok. Mau dipanggil?"

BIRUWhere stories live. Discover now