26

708 62 5
                                    

Edgar mengaduh ketika tanpa sengaja tangan Rena memukul wajahnya. Pria itu membuka mata dan berusaha menjauhkan Rena. Tangannya meraba mencari ponsel, melihat jam yang ternyata masih pukul lima pagi. Edgar meletakkan ponsel, satu setengah jam lagi dia baru akan benar-benar bangun. Dia sempat melirik bagian ranjang paling kiri dan tidak mendapati Ega di sana. Entahlah, mungkin si tengah itu kembali ke kamarnya sendiri atau sedang menunaikan shalat Subuh.

Mata Edgar kembali terpejam, namun saat itu juga pikiran-pikirannya mulai berkelana mengingat percakapan mereka semalam. Memang, percakapan mereka tidak serta merta merubah pandangan, perasaan, sikap dan sifatnya. Bagaimanapun juga di dunia nyata pembawaan manusia tidak akan berubah drastis hanya karena satu hal. Berbeda dari beberapa yang diceritakan dalam beberapa film atau cerita fiksi. Namun setidaknya dengan cerita itu dia sedikit tahu bagaimana perasaan juga pandangan adik-adiknya. Pikiran Edgar terus berkelana hingga sekali lagi dia tenggelam dalam alam bawah sadarnya.

Alarm yang sengaja disetel Edgar di ponsel berbunyi kisaran satu setengah jam kemudian. Tapi tentu saja si sulung itu tidak segera bangun, dia sempat menekan tombol snooze dan bertekad akan bangun jika alarm kembali berbunyi, sepuluh menit lagi.

Beruntung sepuluh menit setelahnya dia benar-benar bangun, mendapati kedua adiknya -- ya, dua karena faktanya Ega kembali kesana -- masih tertidur. Rasanya Edgar ingin tertawa melihat Rena yang kali ini mendusel pada Ega sementara Ega tidak terlihat terganggu sama sekali, walaupun nyatanya Ega siap terjatuh dari atas ranjang jika Rena menduselnya lebih jauh. Perlahan pria itu bangkit dari ranjang, berjalan memutar dan berdiri di samping Ega, membantu merapikan selimut kedua adiknya yang kali ini dimonopoli Rena. Heran juga, padahal mereka bertiga memakai selimut yang berbeda semalam, tapi kini Rena menindih selimutnya sendiri dan menarik selimut Ega agar menyelimuti tubuhnya juga.

Si bungsu itu memang luar biasa.

"Berangkat bawa motor apa mobil?"

Edgar mengalihkan wajahnya menatap Ega begitu suara bisikan memasuki gendang telinganya. Mendapati Ega yang kini tengah menatapnya.

"Apa?" tanyanya balas berbisik, tidak mendengar kalimat Ega sebelumnya dengan jelas.

"Pake mobil apa motor?"

"Kenapa emang?"

"Gak, ntar salah satunya mau kupake keluar."

"Kemana?"

"Jalan sama Rena."

"Gak lemes badannya?"

Ega menggeleng.

"Kuat?"

"Hmm."

"Kalian pake mobil aja kalo gitu, motor kamu bensinnya belum Abang isi, takut nanti kalian pake abis di jalan. Tapi nanti kalo gak kuat naik taksi aja Ga, gak usah maksa. Mobil Abang panasin bentar abis ini, beberapa hari gak dipake."

Faktanya, beberapa hari terakhir Edgar memang terhitung lebih sering memakai motor Ega kemana-mana. Awalnya hanya ingin memakai karena sayang jarang digunakan lagi oleh Ega, tapi faktanya malah keterusan.

"Iya."

"Jangan lama-lama jalannya, capek nanti."

Ega berdecak, "Iya ah, bawel," ujar Ega kesal -- lupa berbicara dalam mode berbisik. Rasanya, dia semakin mudah marah akhir-akhir ini. Lebih tepatnya perubahan moodnya terhitung lebih cepat.

Rena melenguh, seolah kesal dengan suara Ega yang mengganggu tidurnya. Tangannya bergerak lincah ingin mendorong Ega namun gerakan Edgar tidak kalah lincah menghalangi si bungsu menyerang si tengah.

"Barbar," bisik Ega, terkekeh sambil ikut mendorong pelan tubuh Rena agar sedikit menjauh.

Edgar ikut tertawa pelan, "Adik kamu itu," sahutnya berbisik setelah berhasil menghalau tubuh Rena ke tepi ranjang -- lebih tepatnya ke wilayah tidur Edgar sebelumnya -- dan menarik guling untuk membatasi wilayah kedua adiknya sekarang.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang