Bab 2

18.6K 2.1K 27
                                    


"Mia karakter mana yang kamu suka?" Tanya Arin dengan menunjuk ke naskah yang sedang kubaca.

"Hmm tidak ada. Malah aku benci tokoh utama wanita di sini. Di dunia nyata tidak akan ada orang sebodoh dia," ketusku.

Arin tertawa terbahak-bahak. "Ini hanya novel bagian pertama. Yang kedua akan sangat mengejutkan." Dia mengambil Novelnya kembali. "Andai putri ini tidak terlalu baik, pasti dia bisa menjadi Ratu dan menghabisi semua antagonis."

"Jadi dia harus menjadi wanita yang jahat? Kurasa jika itu aku, pasti akan mudah."

"Kalau begitu kubuat dia sepertimu."

Kami lalu tertawa terbahak-bahak. Saat itu kufikir semua omong kosong. Sampai aku tiba sekarang. Sebelum ke sini, aku bermimpi seperti itu. Mungkinkah ini bagian kedua dari Novel yang dibuat Arin. Kali ini aku benar-benar menjadi putrinya, Milica Amunrain.

#

Kereta berhenti di depan halaman istana. Istana besar berwarna putih, yang memantulkan cahaya sinar matahari. Tamannya amat luas, ditumbuhi berbagai macam jenis bunga. Berbeda sekali dengan tempat yang kutinggali sebelumnya.

Seorang prajurit membukakan pintu, dia mengulurkan tangannya. "Nona silahkan turun," ujarnya selembut mungkin.

Rambut panjang dengan warna kemerahan, dia pasti salah satu tokoh figuran yang berakhir tragis, Luv Archies. Yang kusuka dari cerita buatan Arin, Semua tokoh cerita prianya selalu tampan. Walaupun semua berakhir tragis. Arin kenapa engkau setega ini pada pria setampan ini.

Tapi saat ini bukannya terpukau. Waktunya aku memainkan peranku menjaga wanita jahat. Ada yang bilang kesan pertama menggambarkan image seseorang. Dan ini waktunya.

"Kenapa yang datang prajurit biasa. Harusnya Mulia Raja yang datang, dan menunduk memohon tunangannya agar turun dari kereta," ujarku.

Aku memperhatikan mata Luv. Dia pasti sedang berfikir bahwa aku ingin mencari mati dengan Yang Mulia Raja. Raja saja bisa dengan tega membunuh keluarganya. Dia pasti dengan mudah membunuh Putri adopsi dari kerjaan tetangga. Jika itu benar, dikehidupan berikutnya aku akan mencari Arin dan menyiksanya.

"Baiklah akan saya sampaikan ke yang Mulia Raja," ujranya dengan berlalu pergi.

Aku menghela nafas panjang, tangannya belum apa-apa sudah gemetaran. Aku tidak yakin bisa bertahan di istana ini kurang dari setahun. Sehari saja sudah terasa sangat lama, dan hari ini saja belum berakhir. Aku mengintip dari kaca jendela kereta. Luv benar-benar menyampaikan pesanku dengan tenang. Dia adalah tangan kanan Raja, mana mungkin berbohong apalagi mengarah cerita. Setelah selesai bicara, kulihat tatapan Raja yang tajam ke arah kereta. Lagi-lagi tubuhku gemetaran.

Raja turun dari kudanya. Suara langkah kakinya bergema, bahkan sampai ke dalam kereta. Aku menepuk-nepuk pundakku sendiri. Berusaha menenangkan diriku. Apapun yang terjadi aku tidak boleh ketakutan dihadapinya, dan tidak boleh terlihat sedih.

Kali ini benar-benar dia yang membuka pintu kereta. Aku menaiki kepala, dan menatapnya dengan angkuh. Walaupun sebenarnya tanganku gemetaran. Mataku juga terus menuju pada pedang yang ada di sakunya.

Siapa sangka dia benar-benar melakukannya. Dia mengeluarkan tangannya padaku, lalu sedikit membungkuk. Aku bukan satu-satunya yang terkejut melihatnya, prajurit di aana juga nampak terkejut dengan sikap Raja.

"Semoga tuan putri tidak keberatan," ujarnya dengan nada suara datar.

Harusnya aku menggapai tangannya dan keluar. Tapi aku terlalu ketakutan. Tubuhku benar-benar kaku. Sepertinya hidupku kali ini juga akan berakhir sebentar. Namun ternyata Raja melakukan hal yang tak terduga. Dia mengangkat tubuhku, menggendongku tiba-tiba. Aku yang terkejut langsung merengkul lehernya. Dia menggendongku keluar dari kereta, dan tidak menurunkanku walau sudah sampai di dalam istana. Di saat seperti ini aku hanya bisa menutupi wajahku yang malu, bahkan detak jantunku terdengar berisik. Harga diriku sebagai wanita jahat langsung hancur. Padahal di dalam Novel Raja mengabaikan Milica dengan dingin.

Raja baru menurunkanku saat aku sudah berada di depan sebuah istana. Dari luarnya saja terlihat sangat besar. Biasanya istana Kerjaan terdiri dari banyak istana lain, yang dijadikan tempat tinggal anggota kerajaan. Karena semua anggota kerajaan sudah dibantai habis, jadi Milica mendapat istana besar yang mewah dengan pelayan yang banyak. Karena Milica bodoh dia tidak menerima semua ini dan memilih tempat yang sama seperti tempat tinggalnya dulu. Walaupun sebagian pelayan di sini adalah mata-mata. Tentu saja aku mengetahuinya. Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri.

"Kau sepertinya senang putri," ujar Raja. Aku sepertinya belum terbiasa mendengar suara pria, mendengar dia bicara aku langsung merinding. Ingat sosok wanita jahat.

"Tentu saja, sepertinya anda sangat menghormati saya. Ini istana yang sangat bagus," cibirku dengan angkuh.

"Kau bisa pindah ke manapun yang kau suka. Lagipula semua pemilik istana di sini sudah mati." Itu bukan kalimat yang pas, padahal Raja sendiri yang membunuh mereka.

"Ngomong-ngomong sebelum kita berpisah, ada yang ingin kutanyakan pada yang mulia."

"Katakan saja dengan singkat. Soal pertunangan, akan ku kirimkan cincinnya ke kamar mu." Kalau itu aku juga tahu. Ternyata beberapa adegan sama dengan di novel.

"Bukan itu, soal nama panggilan. Saya harus memanggil yang mulia siapa saat berdua?" Tanyaku dengan sedikit menggodanya.

Wajahnya selalu datar, tapi entah mengapa karena itu pesona ketampanannya semakin terpancar. Andai Milica tidak mati karenanya, pasti aku bisa jadi wanita yang paling bahagia.

"Nama panggilan?"

"Iya, saya harus memanggil Yang Mulia, Anda, apa Tuan, atau nama mungkin."

Dia mendengus keras, lalu memutar kedua matanya. "Terserah kau saja. Semoga nyaman di sini. Saya pamit dulu."

Raja langsung berlalu pergi. Dia tidak melihat ke arahku lagi. Meninggalkan aku sendiri. Ya tidak apalah, setidaknya tadi aku tidak perlu terlalu jauh berjalan kaki. Aku membalik badan. Entah sejak kapan para pelayan sudah berjajar di sepanjang pintu masuk sambil membungkuk.

"Kami siap melayani anda yang mulia!" Serentak mereka.

Aku menyengir sinis, kutatap satu persatu mereka dengan tajam. Beberapa dari mereka terlihat gemetaran. Apakah aku semengerikan itu? Tenang saja, aku bahkan belum mulai.

"Aku mau istana ini di berisihkan lagi sekali lagi! Lalu aku tidak suka warna kuning dan biru, ganti semua barang-barang yang berwarna seperti itu. Merah dan putih keliatan pas untuk istana seperti ini. Lalu ganti semua bunga dengan bunga mawar merah. Dan terakhir siapakan susu kedelai, madu, dan mawar kering untuk aku mandi. Kalian mengerti!"

"Kami mengerti yang mulia!"

Mereka mulai gelagapan ke sana kemari. Dalam hati kecilku aku merasa bersalah. Tapi ini demi keberlangsunganku di tempat ini. Sudahlah nikmati saja, semoga aku tidak terlalu terlena menjaga wanita jahat.

Seorang wanita dengan pakaian Dayang mendekatiku. Mudah juga membedakan mana pelayan mana Dayang. Dayang ini berambut panjang yang dikepang menjadi satu. Aku kenal siapa dia.

"Saya Lilia yang Mulia, saya akan mejadi dayang yang Mulai selama di sini. Mari saya antar ke kamar yang mulia," ucapnya dengan lembut.

"Baiklah."

Dia Dayang pertama dan satu-satunya yang bisa dipercaya oleh Milica. Karena setelah Lilia, semua Dayang yang dikirim adalah mata-mata dari para tokoh antagonis. Benar juga, istana tempat yang menyeramkan untuk bertahan hidup.

#

#

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.


Relive On Another World [End]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant