Bab 12

10.2K 1.3K 4
                                    


"Aku ingin menyelamatkan semua orang dari akhir menyedihkan."

Saat pertama ke dunia ini, dan mendapati diriku adalah Milica, aku selalu bertanya bagaimana perasaan Arin saat menulis isi Novel itu. Isi dari cerita ini hanya sebuah deretan tragis, yang awal dan akhir selalu menyediakan. Sepanjang cerita lebih banyak cerita sedih sedih daripada bahagia. Setiap tokoh dalam cerita ini tewas mengenaskan, bahkam tokoh utama. Walaupun ada yang hidup, orang itu hanya akan terus menyalahkan dirinya dalam sisa hidupnya. Aku juga tidak bisa bilang akhit bagi Niran dan Norin sepenuhnya bahagia. Karena di Novel hanya sedikit dijelaskan mereka jadi apa saat dewasa, bukan bagaimana mereka seperti apa saat dewasa.

Aku meminta pelayan dan dayangku menjauh dari tempatku duduk. Sebuah meja piknik yang ada di taman istana Gold Rose. Hanya aku dan Arin yang ada di sana, duduk sambil menikmati teh melati yang baru dibuat. Aku tidak bisa melihat ekpresi Arin secara jelas, karena sebagian wajahnya tertutup cadar.

"Apa kau merasa bersalah karena membuat akhir hidup Milica tragis?" Godaku.

"Milica mati karena dia bodoh. Andai dia sedikit pintar, dia tidak akan mati seperti itu."

"Padahal kau yang membuay Novel itu," cibirku.

Dia menatapku dengan tajam. "Aku bukam Dewi dunia ini. Lagipula hidup seseorang tergantung dengan keputusan yang dia ambil."

Arin menyanggah ucapanku dengan kalimat seperti itu, apa dia benar Arin yang sama? Mau bagaimana lagi, walaupun kami bersama seperti dulu, suatu saat kami harus fokus kehidupan masing-masing. Arin sekarang mendapatkannya, dia menjadi bebas berkeliling benua dan menari, sesuai yang ia impikan. Lalu aku, masih terjebak dalam benang merah acak yang diikat oleh takdir. Aku hanya ingin hidup lama dan damai. Namun setelah itu aku tidak tahu harus bagaimana mana.

"Lalu Arin, apa rencanamu. Aku akan membantumu."

"Pertama, aku akan memanggilmu Nona, dan kau memanggilku Laya. Kita hanya cukup berbicara informal saat berdua," ujarnya.

"Kenapa, kita kan tahu jati diri kita masing-masing."

"Nona, kita bukan lagi Miaa dan Arin yang dulu. Mereka berdua sudah tiada, dan kita terlahir kembali seperti saat ini. Anggap saja kita terlahir dengan memiliki ingatan orang lain," tuturnya.

Entah kenapa perkataan ini membuatnya marah. "Kenapa kau begitu? Apa kau benar Arin!" Bentakku.

Arin berdiri dan memberi hormat. "Tidak Nona, aku Laya seorang penari."

Dia benar-benar seperti orang lain. Dia bukan orang yang selama ini kuharap. Dia sangat berbeda. Dia benar-benar orang lain yang kebetulan memiliki ingatan Arin.

Aku berdiri, dan memalingkan wajah darinya. "Kalau begitu kau tidak perlu menjaga pelayanku. Pergilah dan kembali menari."

"Sebelumnya aku memang khawatir padamu, apa kau bisa menangani semuanya dan menjalani hidupmu sendiri. Aku melihatmu tersenyum di samping yang mulia Raja. Dan saat itu aku berfikir untuk tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu."

"Lalu kenapa kau datang memanggilku!" Sentakku.

"Sudah kubilang, aku ingin menyelamatkan semua orang dari akhir menyendihkan. Anggap saja Novel yang kutulis itu adalah benang merah  takdir mereka. Takdir mereka tergantung dengan keputusan yang mereka ambil. Milica yang kau baca bukan orang lain, tapi dirimu sendiri jika mengikuti benang merah yang salah. Ada banyak benang merah disekitarmu. Nasihmu di masa depan tergantung benang mana yang kau tarik. Miaa sudah tidak ada, dan Milica hanya ada satu di dunia ini. Itu adalah anda Nona," jelas Laya panjang lebar.

Dia berusaha menyadarkanku. Walaupun aku terus memuji diriku sendiri, namum terkadang aku berfikir ini adalah wajah orang lain. Aku selalu terbayang-bayang tentang akhir tragis Milica. Aku masih menganggap diriku Miaa yang hidup di dunia modern dan liberal. Aku tidak bisa menerima diriku sebagai Milica putri kerajaan Hujan, dan tunangan Raja Matahari. Arin seperti ini pasti bukan tanpa sebab, aku tidak tahu kehidupan apa yang ia alami saat di sini. Tapi dia terlihat bahagia dengan jalan hidupnya, sebagai Laya seorang penari. Rasanya jarakku dengannya terasa sangat jauh. Miaa dan Arin sudah tidak ada, mereka tewas saat kecelakaan mobil itu. Dan saat ini yang ada adalah Milica dan Laya yang saling berhadapan.

Aku terkekeh. "Kalau begitu wanita bodoh yang mati sia-sia itu adalah aku?"

"Anggap saja begitu. Kau beruntung sudah tahu bagaimana nasibmu jika menarik benang merah yang salah."

"Hmm, jadi dengan menjadi wanita jahat dan sedikit pintar, aku sudah mengubah takdirku sebagai Milica yang mati konyol?"

"Aku tidak tahu, itu keputusanmu."

"Kalau begitu Arin sudah menyelamatkanku dari benang merah yang salah. Jadi tinggal kau yang menyelesaikan sisanya. Kenapa kau mau mengurus hal seperti itu?"

Lagi-lagi dia mendengung cukup lama. Lalu kelihat senyum kecil dari balik cadarnya yang sebenarnya agak transparan. "Sebenarnya Arin menyukai Duke Zeron. Jadi aku tidak ingin dia berkahir tragis."

Aku terbelangak mendengar itu. "Kau gila? Dia lah dalang yang sebagian membuat orang lain  menderita."

"Sudah kubilang kan, takdir tergantung keputusan yang ia buat. Jika dia menarik benang merah yang lain, dia pasti akan bisa hidup bahagia dengan tenang."

Aku terdiam memikirkan sesuatu. "Itu berarti Milica, makasudku diriku bisa hidup damai sebagai Ratu kerajaan Matahari dan istri Raja tampan itu," khayalanku terlampau tinggi.

"Kalau begitu kuserahkaan benang merah Raja padamu. Dan juga mereka yang di sana," Laya, sekarang aku memanggilnya seperti itu, dia menunjuk para Dayang dan dua anak kecil di sana. Dia menyuruhku menyelamatkan semua yang di sana.

"Tapi Keyra dam Giana adalah mata-mata. Harus kuapakan?"

"Pecat saja. Katakan kau tidak butuh mereka lagi. Lebih baik daripada menunggu mereka tidak berguna, dan dibunuh oleh majikan mereka sendiri."

"Sekarang aku paham kenapa kau menjadi pelayanku lebih dulu daripada langsung menjadi selir tuan Duke," kekehku.

"Jangan bercanda, Duke mana napsu pada wanita sepertiku. Lagipula aku mengikutimu karena semua orang yang ingin kuselamatkan terikat benang denganmu," jawabnya.

Benar juga, dalam cerita ini Milica tetaplah tokoh utama. Orang-orang yang dicari Laya pasti ada disekitarku, atau setidaknya akan bertemu denganku. Sebenarnya bohong jika aku tidak penasaran, mengapa dia seperti berusaha payah menyelamatkan orang lain dari akhir tragis. Laya mengatakan dia bukan Dewi, dan penulis yang membuat semua tokoh itu berakhir tragis. Dia juga selalu berkata tentang keputusan seseorang, benang merah, dan takdir. Lalu untuk apa dia khawatir dengan nasib orang lain, karena mereka sendiri yang menentukan keputusan untuk takdirnya. Pasti ada alasan pasti mengapa Laya berbuat sejauh ini. Dan saat ini dia pasti tidak akan mengatakannya padaku.

"Ngomong-ngomong berapa kali Nona berciuman dengan Raja?"

"Apa kau bercanda!"

"Ahahah," dia tertawa dengan polosnya seperti tidak mempunyai dosa. Tawa yang sama seperti milik Arin. Baik Arin atau Laya, entah mereka sama atau berbeda, aku tetap merasa dia adalah teman terbaikku.

"Satu lagi, tetaplah jadi wanita jahat. Fufufu...."

Plaak!

Plaak!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Relive On Another World [End]Where stories live. Discover now