Bab 31

5.5K 779 1
                                    


"Ini luas dan sangat hijau," gumamku melihat bukit yang nantinya akan ku bangun rumah singgah. "Aku bisa membayangkan ada rumah besar di sini lalu halamam luas agar mereka bermain," lanjutku.

"Kau pasti senang, sekarang banyak rumor tentang kebaikan tunangan Raja. Sekarang usahamu menjadi wanita jahat gagal," dengus Laya.

Jika difikir benar juga, tapi bukan berarti sia-sia. Lagipula semua mata-mata Zeron sudah out dengan alasan yang tidak kumengerti sampai sekarang. Terkadang rasanya ada yang ganjal. Aku melihat langit biru yang cerah dan pemandangan seluas ini, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang membatasiku. Membatasiku untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, dan tidak mengizinkannku melewati sebuah garis yang tidak terlihat daei sesuatu yang terasa janggal itu.

"Tuan putri, Nona Chaterine sudah datang," ujar Lilia yang menghampiriku bersama Chaterine.

"Salam untuk tuan putri," Padahal di awal kami sepekat untuk memanggil nama panggilan yang singkat agar akrab, tapi prakteknya sampai sekarang masih saja formal. Kadang aku di panggil Nona, kadang tuan putri, kadang yang Mulia, terserahlah. Setidaknya mereka bukan Laya.

Selama peroses pembangunan Chaterine akan di sini dengan beberapa orangnya dan pekeja. Ada juga ksatria istana dan pengawal Chaterine yang menemaninya. Sejak kuserahkaan proyek ini, dia mulai tertarik dengan arsitektur, semoga entah teknisi atau arsitektur dia tetap orang yang berbakat dan bisa menolongku di masa depan. Pembicaraan kami di sana cukup panjang. Tapi karena aku tidak paham apa-apa, kuserahkaan semua pada Chaterine dan yang lainnya. Duke Zeron juga sudah menyerahkan tempat ini padaku. Dan rencananya setelah upacara itu, kami akan bertemu dan membahas tentang tempat ini.

#

Kereta yang kunaiki tiba-tiba berhenti. Aku menebak sedang ada apa di luar, tapi sebelum aku mulai berbicara Laya langsung membungkam mulutku. Dia meletakkan jari telunjuknya ke bibir, isyarat bahwa aku harus diam.

Suara berisik dan teriakan beberapa prajurit. Aku juga mendengar suara senjata beradu, dan jeritan kesakitan. Aku sedang di serang? Tubuhku tiba-tiba menggigil, gemetaran dan berkeringat dingin. Bisa-bisanya Laya nampak tenang disituais seperti ini.

Laya melepas tangannya, ia meraba sesuatu di dalam roknya, dan mengambil sebuah belati dari sana. Tunggu, kenapa dia membawa benda tajam di balik bajunya? Apa dia selalu seperti itu bahkan ketika bersamaku? Tidak, ini bukan waktunya memikirkan itu.

"Laya kau mau ke mana?" Bisikku menahan Laya yang hendak keluar dari kereta ketika tidak ada lagi suara.

"Kau diamlah di sini, dan jangan keluar. Tutuplah telingamu, paham?" Kata-kata seperti sedang mengajari anak kecil. Dan aku hanya bisa mematuhinya.

Aku melihat sebilas senyum di balik cadarnya. Laya lalu keluat dari kereta. Dia langsung menutup pintu kereta, dan tidak membiarkanku melihat apa yang sedang ada di luar. Aku hanya menayangkan apa yang sedang terjadi di luar dari suara.

"Huft, kau wanita yang cukup cantik. Aku penasaran berapa hargamu, ahahaha!"

"Daripada harga, kenapa tidak langsung bermain denganku. Suara desahanku cukup indah, ahh," goda Laya. Tolong fikiranku langsung traveling mengartikan kata-kata itu.

Namun aku penasaran. Diam-diam aku membuka sedikit gorden, dan yang kudapat adalag cipratan darah yang menutupi jendela kereta ini. Tubuhku kembali gemetaran luar biasa. Aku meringkup ke pojok dengan menutup telinga. Sebelumnya aku sudah mengunci kereta ini dari dalam dan menaruh benda berat di pintu kereta agar tidak ada seseorang masuk.

Suara jeritan terdengar, itu seperti suara Laya. Apa yang terjadi pada Laya? Apa dia baik-baik saja? Aku langsung takut ketika melihat darah itu. Ingatan tentang kecelakaan itu terus membayangiku. Apakah setelah keluar dari sini aku melihat tubuh Laya yang bersimbah darah seperti Arin waktu itu. Aku takut, kumohon seseorang tolong aku. Eren, bolehkah aku mengharapkan dia datang?

Seseorang sedang berusah membuka pintu kereta ini. Bersamaan sudah tidak lagi terdengar suara apa-apa dari luar. Aku mendekat ke pintu itu, dan menahannya agar tidak bisa terbuka. Satu hal yang kulupa, pintu ini terbuka ke luar. Dan saat aku mendorongnya, pintunya jelas terbuka, bodohnya aku di detik-detik kematian.

"Milica!" Sebuah tubuh besar memelukku. Dan seketika, pasaran takutku tadi langsung menghilang. "Syukurlah kau baik-baik saja." Suara gemetaran ini, ini betulkah Eren.

"E,Eren? Eren... Eren, huawaaaa!" Tanpa kusadari, tangisku pecah.

Pelukan Eren terasa semakin erat. Tangannya mengelus-elus rambutku. Menenangkanku agar tidak lagi menangis karena hal yang menakutkan tadi. Cukup lama aku menangis di pelukannya, dan saat aku merasa agak lega, aku mendorongnya sedikit agar dia melepaskan pelukannya.

"Terima kasih Eren datang," rintihku dengan suara kecil.

Sebuah kecupan mendarat di keningku, jantungku langsung berdenyut. "Untunglah kau baik-baik saja," bisiknya.

Eren memegang tanganku keluar dari kereta. Pemandangan yang kulihat adalah tubuh-tubuh tergeletak yang beberapa besimbah darah. Badanku langsung lemas, jika tidak Eren memegangku, pasti aku langsung terjatuh.

"Jangan khawatir mereka hanya pingsan," itu suara Laya. Laya tersenyum padaku. Dia melepas cadarnya dan memainkan belati.

"Laya, kau baik-baik saja?" Aku berlari mendekatinya.

Dia terbengong melihaku, lalu tersenyum dengan tatapan tajam. "Kau mengkhawatirkanku?"

Melihatnya tersenyum sambil membawa belati seperti itu ternyata menyeramkan. "Kau lebih baik memekai cadar."

Dia berdecak kesal, dan menendang salah satu tubuh seorang pria yang sempat bergerak. Ahh, aku benar-benar tidak tebiasa melihat ekpresinya secara langsung. Ternyata dia lebih parah daripada saat berada di istana.

Eren melepas jasnya, dan menaruhnya untuk menyelimuti pundakku. Dia lalu menaikkan dan merangkulku dengan lembut. "Kau ternyata lebih berguna dari yang ku kira," ujarnya pada Laya dengan tatapan dingin.

Laua menatap tangan Eren yang diperban. "Anggap saja ini aku membayar utangku."

"Kau yang mengalahkan semua ini Laya?" Aku melihat ada sekitar 10 pria berpakaian kumuh dengan tubuh besar. Dan beberapa prajurit yang tadi kubawa dari istana.

Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum mengisyaratkan bahwa memang dia orangnya yang sudah mengalahkan orang-orang ini. Tapi sepertinya tidak juga, ketika aku melihat pria berambut merah muncul.

"Yang mulia mereka hanya bandit biasa," lapor Luv.

"Ahahaha, bandit biasa mengalahkan prajurit istana terlatih. Ternyata kerajaan Matahari tidak sekuat rumornya," ceplos Laya, merendahkan Luv.

Luv mendengus kesal, tapi Eren masih tenang walau Laya secara terang-terangan sedang merendahkannya. Aku baru sekali ini melihat Laya dan Eren berhadapan, apa Laya selalu seperti ini di depan Raja? Apa dia tidak takut mati?

"Kau dari dulu sama saja. Tidak, kau lebih kurang ajar akhir-akhir ini," ujar Eren.

"Sepertinya kau perlu cermin," ekspresi Laya sedang memanantang Eren.

Eren masih bersikap tenang. "Luv bawa mereka ke istana dan introgasi. Mereka bukan bandit biasa. Temukan dalangnya dan eksekusi mereka atas tuduhan rencana pembunuhan Kerjaan."

"Baik yang mulia!" Tunduk Luv.

"Rencana pembunuhan?" Gumamku. Kufikir aku sudag aman, ternyata alur cerita Milica di novel dan saat ini tetap saja. Mungkin ini peringatan untukku, bahwa aku tidak boleh lengah dan ketakutan seperti ini. Kurasa aku akan kembali berpedang menjadi wanita jahat lagi, ini untuk kebaikanku bukan?

 Kurasa aku akan kembali berpedang menjadi wanita jahat lagi, ini untuk kebaikanku bukan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Relive On Another World [End]Where stories live. Discover now