Bab 24

6.1K 877 1
                                    


Aku benar-benar penasaran obat apa yang di masukan ke makanan Eren setiap pagi. Semakin hari, sifatnya seperti bukan Eren yang kutahu. Eren sosok raja yang berdarah dingin dan haus darah. Saat dia belum berusia dewasa, dia selalu melakukan perang untuk menaklukkan benua. Dan berhenti sejak satu tahun sebelum keberangkatanku ke kerajaan Matahari.

Tapi sejak malam itu, dia seperti orang lain. Bersikaplah ramah walau masih menyebalkan. Suka menggodaku, apalagi saat pesta waktu itu. Dan setelah melihatku memakai korset, dia malah ... Aaa aku tidak bisa menyebutkannya. Dan apalagi ini, jadwal ini, dan Laya yang menjadi kepala pelayan. Rasanya aku tidak akan bisa keluar dari istana ini.

"Mili, aku sudah siapkan baju haram untuk berjaga-jaga," ceplos Laya sambil menunjukan baju, hmm aku tidak yakin bisa di sebut pakaian. Karena itu sama sekali tidak menutupi kulit.

Aku mengerutkan alis dan menyengir. "Kau sepertinya juga salah minum obat."

Dia terkekeh. "Jangan malu-malu, cepat atau lambat pasti terjadi."

Aku ingin sekali mencambuknya, tapi aku harus bergegas keluar. Hari ini aku akan memilih pelayan yang akan ku pekerjaankan di istana ini. Aku juga ingin mampir ke kota untuk membeli peralatan untuk Norin dan Niran. Minggu depan mereka akan pergi ke akademi. Aku tidak sabar menantiknnya.

"Kau juga akan ikut Laya?" Tanyaku yang mendapati Laya terus berjalan di belakangku.

"Lilia sedang sibuk dengan urusan lain. Aku akan bersamamu hari ini. Aku juga ingin mendapat gaji lebih," ujarnya.

"Hmm apa menurutmu 'ini' berbeda dengan yang ada di dalam Novel?"

"Ini, yang kau maksud adalah keadaan kau yang sekarang kan?" Aku mengangguk, tidak perlu kujelaskan lagi soal itu. "Sudah kubilang di awal. Ada banyak benang merah. Kau yang sekarang mengambil benang merah dengan Milica yang ada di novel. Tentu saja jalan yang di ambil akan berbeda. Tapi jika kau mengambil benang merah yang sama, alur yang kau tempuh juga akan sama."

Hmm, aku sedikit kurang paham dengan konsep benang merah yang terus dikatakan Laya. Tapi memamg itu ada kesimpulan yang sama dengan keadaan sekarang. "Lalu, apa... ada kemungkinan, Eren menyukaiku?" Gagapku, kenapa cara bicaraku seperti ini.

"Pipimu merah tuh."

"Tidak! Ini hanya kebanyakan blush-on!" Tepisku.

Dia mendengung cukup lama. "Kau pasti lupa beberapa bagian di novel."

"Jelas saja, aku bahkan lupa berapa umut saat aku mati."

Laya tertawa kecil dan menghentikan langkahnya. Aku membalik badan dan menatapnya kesal. "Kau pasti lupa bahwa sebenarnya Raja menyukai Milica sejak pertama bertemu."

"Eeeeeehhh!" Kenapa hawa disekitarku terasa panas. Aku memegang kedua pipiku. "Mana mungkin, nyatanya dia mengabaikan Milica seperti itu."

Laya berjalan melewatiku. "Dia hanya tidak sadar karena ego-nya yang besar. Dia baru sadar itu saat Milica sudah tidak ada." Laya menatapku dan mengulurkan tangannya. "Aku tidak perlu menjelaskan sisanya kan?"

Aku mendengus kesal, lalu memegang tangannya yang ternyata sedikit lebih kecil dariku. "Ngomong-ngomong kenapa kau berbau permen karet?"

"Hmmm, aku selalu menyimpan beberapa racun di balik bajuku. Jangan khawatir, aku tidak ada niat menjadi Ratu kerajaan ini," jawabnya. Hmm, aku tidak tahu itu jawaban baik atau buruk. Karena itu berarti dia selalu membawa racun saat sedang bersamaku. Aku harus mulai mengawasi anak ini.

Kami asik berbicara sampai tak sadar aku sudah di luar istana Gold Rose. Kereta kuda sudah menungguku. Berbeda dari biasanya, ini tidak terlalu mewah dan nampak biasa saja. Laya tadi bilang, karena kita akan melihat penampungan anak-anak yang dijual itu, jadi sebisa mungkin jangan sampai mencolok.

Yang menarik perhatianku adalah pria berjas hitam, formal dengan mata abu-abu. Dia tersenyum ketika melihatku, dan berjalan mendekatiku. Kenapa jantungku berdetak kencang akhir-akhir ini ketika bertemu Eren.

"Apa saya membuat anda menunggu lama?" Tanyaku sambik tersenyum.

"Tidak juga." Dia juga tersenyum, aaa senyumannya membuatku ingin berteriak histeris. Kenapa dia bisa setampan ini. Wajahnya seperti tidak ada kekurangan. Sadar, jangan terbuai dengan wajahnya. Itu jebakan, sadar!

Aku menghindari kontak mata dengannya. "Ayo kita berangkat."

Eren seperti biasa, membantuku naik ke kereta. Dia juga akan satu kereta denganku. Tapi sebelum naik, aku melihatnya berbicara sesuatu dengan Laya. Berbeda dengan saat bersamaki, Laya tampak sangat sopan, dan terus menundukkan pandangannya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi wajah Eren terlihat sangat serius. Laya memberikan sebuah kertas pada Eren, dan Eren buru-buru memasukkannya ke dalam kantong.

Dia menatapku yang daritadi memperhatikannya. Aku kembali memalingkan wajah ketika Eren menyengir padaku. Dia naik dan duduk di sampingku. Padahal di depan masih ada kursi kosong, kenapa harus di sini?

"Kau tidak cemburu aku sedang berbicara dengan gadis itu kan?"

Aku merengut. "Untuk apa saya mengurusi urusan yang mulia."

"Phff, kalau begitu kenapa pipimu merah sekali?"

"Ini cuma blush-on, cuma riasan."

Eren memegang daguku, dan menolehkan kepalaku agar aku bisa menatapnya. Sekarang nafasku benar-benar terasa berat. Tolong sadar diri, ketampananmu bisa tidak baik untuk kesehatan jantung dan jiwaku. Selama ini aku tahan dengan anggapan Raja tidak mungkin menyukai Milica. Tapi karena perkataan Laya tadi, aku jadi seperti ini. Apalagi senyum di bibirnya, tolong fikiranku jangan jalan-jalan ke langit ketujuh.

"Sampai kapan anda terus menatapku seperti itu?" Gertakku.

"Entahlah, ternyata jika tersipu, kau manis juga."

Aaa, seperti ada gunung berapi meletus di jantungku. Aku memalingkan tatapan darinya. "Jangan bicara aneh-aneh."

Dia melepasku, dan tertawa terbahak-bahak. Dimulailah sifatnya yang menjengkelkan. Kenapa dia suka sekali mempermainkan seperti itu. Ayolah diriku, sadarkan dirimu. Jangan sampai terpikat oleh pria tampan di sampingmu sekarang.

"Apa hal yang kau suka?"

"Kenapa anda menanykan hal seperti itu," ketusku.

Kalau diingat-ingat, aku tidak punya barang kesukaan. Aku juga tidak pernah membeli apapun sejak hidup di sini. Selama ini aku hanya mendapat pemberian. Eh lupa, aku pernah memborong banyak gaun dan perhiasan tanpa fikir panjang. Tapi itu kan bukan aku yang mau. Aku harus berjuang untuk hidup saat itu, sebagai wanita jahat yang boros. Dan ketika Laya datang, aku sudah tidak pernah belanja apapun.

"Aku hanya penasaran saja apa yang disuka tunanganku."

"Tidak ada," jawabku tegas.

"Lalu kau memborong semua gaun dan perhiasan itu bukan karena suka?" Sial kenapa dia membahasnya. Mana mungkin aku bilang terpaksa.

"Itu kebutuhan wanita, pria mana paham. Memangnya anda ingin memberiku hadiah?" Godaku sambil tersengir.

Dia mendengus lalu mengalihkan pandangan. "Kalau iya kenapa."

Eh, aku tersentak mendengarnya. Dan udara di dalam sini semakin memanas saja. Kurasa aku yang memakai baju terlalu terutup. Hmm, kalau aku minta baju terbuka, Laya pasti akan menyarankan baju bahan minim itu. Tapi bukan itu masalahnya. Aku benar-benar tidak memiliki barang yang kusukai.

"Apapun, asal itu pemberian dengan tulus akan kuterima," jawabku dengan malu. Itu jawaban terbaikku. Fikiran dan perasaanku sedang tidak kontras sekarang.

 Fikiran dan perasaanku sedang tidak kontras sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Relive On Another World [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang