Bab 28

5.1K 845 6
                                    


Sejak Laya menjadi kepala pelayan, aku punya sesi makan khusus dengan Eren. Jadwalnya acak, terkadang pagi, siang, atau makan malam. Tergantung dengan kesibukan Eren sebagai Raja. Bukan berarti aku tidak suka, tapi ini diluar rencanaku. Apalagi sejaka aku memutuskan ingin menjadi Ratu. Tanpa diberi tahu aku juga tahu harus lebih dekat dengan Eren.

"Apa latihan menarimu berjalan lancar," ujar Eren. Dia selalu membuka percakapan setelah selesai makan.

Sebenarnya tidak baik, aku takut tidak bisa memanggil hujan karena bukan darah bangsawan. Walau Laya berkata itu bukan masalah. Aku terpaksa tersenyum, "Iya, baik-baik saja. Ini hari pertama saya latihan."

"Apa kau tidak lelah, seharusnya kau bilang jadi hari ini tidak perlu datang."

Maksudnya datang ke istana utama dan makan bersamanya bukan? Kalau sebatas ini aku tidak masalah. Karena dulu aku terbiasa pulang pergi jalan kaki setelah kelas balet. Walau aku tidak bisa berbohong bahwa ini melelahkan. Itu karena tubuh ini tidak biasa banyak bergerak.

"Tidak masalah kok," dalihku.

Eren berdiri, dan berjalan mendekatiku. Tatapannya seperti khawatir melihatku, tapi apa yang sedang dia khawatirkan? Eren berdiri di sampingku. Aku mendangakkan kepala, dan menatap bola kecil berwarna abu-abu. Tangannya yang lebih besar dari telapkku, menepis helai rambut yang menutupi sedikit bagian wajahku, lalu di sampirkannya ke belakang telingaku. Entah mengapa fikiranku jadi kosong, dan jantungku berdetak kencang.

"Ada noda suas," ujarnya sambil mengusap bibirku dengan ibu jarinya.

"Te, terima kasih," desisku dengan menundukkan kepala.

Sepertinya dia tidak suka, "Kenapa kau memalingkan wajahmu?"

Apa dia sadar itu pertanyaan canggung, aku bisa gila jika di tatap dengan wajah setampan itu. Apa dia paham perasaan cewek yang melihat pria tampan sedekat ini. Aku tidak pingsan atau mimisan saja sudah bersyukur.

"Entah mengapa ini agak memalukan," aku menutup wajahku yang memerah.

Sengiran kecil nampak di bibirnya. Eren memegang tanganku, dan menariknya agar tidak menutupi wajahku. Dia berlutut di sampingku, dan kedua tanganku yang ia pegang tadi di taruh ke dua pipinya. Tolong aku bisa benar-benar pingsan jika seperti ini. Dia kenapa sih akhir-akhir ini. Entah kenapa aku tidak bisa menerima sepenuhnya jika dia menyukaiku, jika Eren tidak mengatakannya langsung.

"Kalau begitu biasakan saja, karena ini akan jadi wajah suamimu," tegasnya. Apa-apaan ucapan percaya diri itu. Sepertinya dia sadar bahwa dirinya itu tampan dan berani. Aku cuma tersengir.

"Bukannya itu masih lama?" Aku baru akan berusia 19, dan pernikahan akan diadakan saat usiaku 20 tahun.

"Siapa bilang, setelah upacara Matahari kita akan menikah."

Ehh, eh, eeeeeeh, aku tercengang, kenapa secepat ini! Tunggu aku bukan tidak mau, siapa yang menolak Raja tampan, iya dulu aku nolak dan ingin kabur dari sini. Tapi aku belum siap tolong!

"Bukannya itu terlalu cepat?" Kekehku.

"Menurutku, kau sudah siap menjadi Ratu. Siapa orang yang berani memerintah Raja pada hari pertamanya di kerjaan Matahari," lanjutnya. Kenapa dia mengungkit masa-masa kelam itu. Salah tanganku ia geser, mendekat ke bibirnya. "Lagipula yang kau lakukan dengan anak-anak itu, kau sudah pas untuk posisi Ratu."

Dia benar-benar membuatku kehabisan kata-kata. Laya bilang,banyak yang menentang keputusanku untuj mengurus anak-anak itu. Itu semua karena mereka manusia busuk yang tamak. Apalagi posisiku yang saat ini belum menjadi siapa-siapa selain putri kerajaan Hujan. Aku bukam bagian dari kerjaan Matahari saat ini. Dan sama seperti upacara itu, selanjutnya akan banyak orang yang akan menjatuhkanku.

"Apa anda sedang melamarku?" Aku hanya bisa tersenyum seperti wanita bodoh yang tidak tahu bahwa dirinya sebenarnya sedang diincar panah pembunuh suatu saat nanti.

Dia terkekeh, walaupun begitu sebenarnya suasana di antara kami sangat tegang. "Apa kau akan menerimanya?"

Aku menarik tanganku dan berlagak angkuh. "Aku ingin menjadi Ratu, tentu saja aku harus menikah dengan anda."

Wajah Eren nampak sedikit cerah daripada sebelumnya. Dia berdiri dan langsung memelukku dari belakang. Aku sempat terkejut, nafasku sesaat seperti berhenti. Aku bisa mendengar suara nafanya di telingaku, juga suara jantungku yang berdetak kencang. Fikiranku benar-benar kosong di suasana seperti ini.

"Kalau begitu kita harus semakin dekat bukan?" Tanyanya tepat di samping telingaku.

Sepertinya kepalanya benar-benar terbentur saat pertama kali aku menjatuhinya. Aku tidak mengerti apa yang dia fikiran. Dia berbeda dari Raja yang kutahu dari Novel. Dia tidak dingin, tapi hangat, sangat hangat, sampai membutaku merasa kepanasan. Sejak kapan aku mulai nyaman dengan ini. Tapi, ada satu hal yang ingin kupastikan.

"Apa anda serius dengan saya?" Tanyaku pelan.

"Entah kenapa, aku tidak pernah seperti ini pada wanita lain."

Benar, bahkan pada Eletra dia juga tidak semanja ini. Kepalanya benar-benar terbentur saat itu.

"Apa kau khawatir tentang upacara itu?" Tanyanya lagi.

Aku mengangguk. "Sedikit, aku takut hujan tidak akan turun."

"Akan kupastikan hujan akan turun, karena ini adalah tanahku."

Aku tetkekeh, "Eren terlalu percaya diri. Anda bukan Dewa."

Tatapannya nampak murung. Dia semakin erat memelukku. "Bahkan Dewa dan Iblis pernah kutantang. Jika hanya hujan itu sangat gampang."

Pasti itu soal masa kecilnya, membunuh keluarganya sendiri di umur seharusnya dia mendapat kasih sayang, pasti sangat sulit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dan ketakutanhya dia. Walau di nampak tegar dan tidak peduli, sebenarnya pasti dia sangat menderita.

Eren mengatakan hal itu pasti karena dia khawatir aku yang tidak memiliki darah bangsawan, merasa pesimis tidak bisa menurunkan hujan. Yang penting dari upacara ini adalah pengorbanan kenangan yang menyedihkan. Bukankah hidupku juga cukup menyedihkan sebelum datang ke sini. Jika aku tidak sedikit berani, pasti akan semakin menyedihkan seperti Milica itu.

Tanpa sadar tanganku terulur, dan mengelus rambutnya yang segelap malam itu. Suasan di sini tiba-tiba terasa semakin harmonis. Bekas makanan yang masih ada di atas piring, dan pencuci mulut yang belum tersentuh masih ada pula di sana. Kepalaku terasa kosong, aku menatap sorot matanya yang sangat dekat denganku. Dagunya menempel di pundaku.

Kami saling bertatapan untuk beberapa saat. Suara detak jantung kami semakin serirama. Angin luar yang menyelinap dari celah jendela tidak bisa menahan perasaan aneh yang terasa panas ini. Wajah kami semakin berdekatan. Sampai aku merasa sesuatu yang lembek menempel di bibirku.

First kiss, seperti itulah yang kutahu. Aku pernah membayangkan cerita cinta indah saat first kiss. Suasana yang hening yang romantis, perasaan bahagia yang agak berkecamuk. Betapa manisnya adegan itu setiap digambarkan pada film dan buku. Kufikir aku tidak akan bisa merasakan hal itu sampai kapanpun. Walaupun bisa, pasti rasanya tidak akan semanis yang kubayangkan.

Namun saat ini semuanya tertepis, perasaan lembut masuk ke dalam diriku. Rahang kesar dan pemaksa ini benar-benar tidak melepaskanku dengan mudah. Aku jika tidak bisa menolak. Sial, sepertinya aku sudah masuk ke jeratan orang ini. Kalau begitu, aku akan menyerah, dan menikmati momen satu ini.

 Kalau begitu, aku akan menyerah, dan menikmati momen satu ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Relive On Another World [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang