Bab 13

8.9K 1.3K 6
                                    


Setelah pembicaraan panjang dengan Laya (Arin), daripada memecat Keyra dan Giana, aku punya ide yang menarik. Maafkan aku Laya, kau harus jadi korban dari aktingku sebagai wanita jahat. Tapi sebelumnya aku berkata jujur pada Lilia, bahwa selama ini aku cuma berakting bersikap jahat, karena aku tahu Keyra dan Giana adalah mata-mata, aku tidak mengatakan mata-mata dari siapa. Dan sesuai tebakanku, dia tidak marah sama sekali. Malah sebaliknya, dia memelukku dan mengatakan akan bersamaku selamanya sebagai Dayang. Dan siap membantuku berakting sebagai wanita jahat.

"Lepaskan adikku!" Teriak Norin pada Laya yang terus memeluk Niran. Walaupun beda, tapi Niran sangat mirip dengan adiknya Arin.

"Haa, dia juga adikku kok," ujar Laya sambil mengelus kepala Niran.

"Aku mau punya kakak secantik kak Laya," jawab Niran dengan polos. Sebelumnya Laya sudah memperlihatkan wajahnya pada Niran, siapa coba orang yang tidak terpesona dengan wajah cantik Laya, walau masih Cantikan aku tentunya.

Norin masih terlihat kesal, dia cemburu adikknya langsung akrab dan menganggap orang yang baru ia temui sebagai kakaknya. Apalagi Niran dan Laya menjadikan tempat ini serasa milik berdua. Dan aku yang melihatnya, sial mereka sangat menggemaskan.

Aku melihat Lilia yang kembali dari kota. Dia memberi isyarat bahwa barang yang kuminta sudah siap. Laya juga paham dengan kembalinya Lilia. Dia meminta Niran dan Norin keluar kamar, karena Nona Milica sedang ingin berganti pakaian. Mereka berdua menurut, dan sepintas aku melihat tatapan pembunuh ke arah Laya oleh Niran.

"Laya kau siap?" Tanyaku dengan mengeluarkan cambuk.

Dia meyengir, walau sudah tahu rencana, tetap saja dia merasa ini bukan ide yang bagus.

"Jangan khawatir, apa anda sudah menakai Korset khusus?"

Dia mengangguk. Korset khusus yang dibuat dari besi lalu dilapisi bulu domba dan busa yang cukup tebal. Badan Laya sangat ramping dan kecil, jadi walau memakai korset yang cukup tebal, tidak akan terlalu nampak. Hari ini dia juga kusuruh memakai gaun yang agak longgar.

Suara langkah mendekat ke arah kamarku. Itu pasti Keyra dan Giana yang datang. Mereka adalah penonton dalam permain ini. Aku menunggu sampai suara langkah mereka sangat dekat. Dan ketika waktu itu tiba, Lilia akan memulai pentas ini.

Pyaaar! Lilia memecahkan vas bunga, sesuai rencana pembuka.

"Apa yang kau lakukan! Itu vas mahal dari kerjaan hujan! Bukan berarti kau temanku, kau bisa seenaknya di sini!" Teriakku pada Laya. Walaupun begitu baik aku, Laya, dan Lilia ingin tertawa.

"Maafkan saya Nona, saya pantas di hukum," ujar Laya.

Keyra dam Giana masuk ke kamar dengan raut pucat. Lilia memberi isyarat pada mereka untuk tidak mendekat. Mereka juga tidak berani mendekat karena ekpresiku yang sangat marah, dan Laya yang saat ini bersujud padaku.

"Lalu kau ingin apa?"

Laya mengangkat kepalanya dengan mata berbinar, lalu dia mengeluarkan cambuk yang tadi kiberikan. Ia menyerahkan cambuk itu dengan kedua tangannya dengan wajah menyedihkan.

"Tolong ajari saya menjadi pelayan yang baik untuk anda," rintihnya.

Aku mengambil cambuk itu. "Baiklah dengan senang hati."

Laya berdiri, lalu mengambilnya posisi dengan menghadap jendela. Tangannya memegang tembok, namun sebelumnya ia melipat sapu tangan, lalu memasukkan ke mulut dan mengigitnya. Aku mengayunkan cambuk itu, sambil menatap Giana dan Keyra yang nampak ketakutan.

"Mulai sekarang akan kuajari bagaikan menjadi anjing yang baik."

Aku mengayunkan dengan keras cambuk itu ke tubuh Laya. Laya merintih kesakitan sambil bercucuran air mata. Suara cambukan terdengar keras di dalam kamarku. Andaikan Laya tidak mengigit sapu tangan, pasti akan terdengar jeritan kesakitan. Aku sering menonton film thriller, jadi aku bisa memasang wajah psikopat yang terlihat bahagia sedang menyiksa korbannya. Laya juga berakting sangat baik. Siapapun yang melihatnya pasti akan tahu dia sangat menderita. Ayo kalian berdua lihat ini, dan kabarkan bahwa aku mencambuk pelayanku sendiri.

Aku berhenti mencambuk. Laya langsung terduduk lemas. Di bagian punggung Laya mulai muncuk cairan berwarna merah. Itu bukan darah, Lilia memasukam cairan merah itu ke balik baju Laya, dan akan menyebar ketika ada yang menyenggolnya. Benar-benar pentas seni yang menakjubkan. Walau hanya akting, aku merasa puas. Wait, semoga aku tidak memiliki jiwa psikopat.

Lilia mendekati Laya, dia membantu Lata berdiri dan membopong Laya keluar dari kamar. Wajah Keryra dan Giana benar-benar pucat setengah mati, mereka juga gemetaran. Aku melempar cambuk itu ke lantai, tempat di depan mereka. Dan seperti tanpa dosa, aku tersenyum pada mereka.

"Bersihkan semua ini, dan jangan sampai ada yang tersisa!"

"Baik Nona!" Ucap mereka serentak.

#

Dalam gelapnya lorong kastil, seorang gadis memakai jubah sedang berjalan sambil membawa sebuah lentera. Dia berjalan tergesa-gesa, sampai keningnya basah karena keringat. Di ujung lorong ini, seseorang sudah menunggunya. Pria dengan mata emas, dia tersenyum dan menyipitkan mata menyambut kedatangan gadis dengan bintik-bintik di wajahnya.

Gadis itu ketakutan melihat pria itu, dia langsung bersujud dengan sebelumnya mematikan lentera yang dia bawa. Wajahnya lebih pucat daripada saat berjalan ke sini. Tempat itu sagat sunyi, bahkan tidak terdengar suara hewan sama sekali.

"Maafkan saya yang datang terlambat yang mulia Duke," serunya.

"Maaf bukan yang kumau, katakan apa yang dilakukan wanita itu," pinta Zeron.

Tubuh Giana gemetaran. Bibirnya terasa kaku, tapi dia berusaha untuk bicar, atau hari ini kepala dan badannya akan terpisah. "Tolong izinkan saya keluar dari sana yang mulia!"

"Apa maksudmu?"

"Haa… Hari ini nona sudah sangat gila. Dia mencambuk pelayan barunya itu. Padahal katanya mereka berteman. Aku melihat pelayan itu menjerit kesakitan, dan bajunya yang merah kareba darah. Tolong yang mulia selamat saya dari waktu iblis itu," mohon Giana.

Zeron terdiam cukup lama, awalnya hanya sebuah sengiran di bibirnya, lalu diteruskan dengan tawa keras yang memggema ke seluruh lorong. "Dia bahkan lebih gila dari yang kufikirkan." Zeron tersenyum dengan mengerikan. Tatapan matanya seperti ingin membunuh sesuatu. "Lalu untuk apa aku mengizinkanmu pergi. Bukankah lebih bagus bagiku jika kau selanjutnya."

Giana mengangkat kepalanya, "Tapi yang mulia…."

Belum sempat Giana berbicara, Zeron membuatnya terdiam dengan menaruh kakinya di atas kepala Giana. Menekan kepala gadis itu, agar kembali menunduk.

"Siapa kau yang melihatku, dan perhatian nada bicaramu padaku."

"Baa… Baik yang Mulia. Maa…maafkan saya," rintih Giana.

Zeron memindahkan kakinya, dan menatap Giana dengan tajam. "Pelayan baru, apa dia penari itu?"

"I… Iya yang mulia."

Zeron menyengir dan menyipitkan matanya. "Kalau begitu selanjutnya kau saja yang dicambuk, jangan biarkan penari itu terluka lagi. Karena sayang sekali kulitnya yang bagus penuh luka."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Relive On Another World [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang