3

5.8K 765 300
                                    

"Seneng banget gue liat-liat." Lidya mematikan rokoknya sambil duduk tepat di depan meja kerja Ara. "Gaji gue udah 'kan?"

"Udah kok." Ara menutup laptop, pandangannya tentu langsung berhadapan dengan Lidya ketika sekat itu menghilang. "Gue seneng karna gue pulang bakal disambut sama istri gue. Gila kak, gak nyangka gue bakal nikah sama cewek sesempurna dia." Ara meletakan kedua tangan di belakang kepala dan tersenyum lebar. "Tiap hari dimasakin, baju ada yang cuciin, mau peluk cium makin bebas karna serumah, manteplah."

Lidya tertawa melihat betapa naifnya Ara, "Menurut lo pernikahan hanya sekedar ada yang ngurus doang? Lo gak tau kalo cewek mau sesempurna apapun akhlaknya akan berubah jadi macan setelah nikah?"

Ara memudarkan senyumannya, "Macan apaan? Bini gue gak kaya bini lu pada kali yang bawelnya minta ampun dan bikin telinga panas." Ara mengusap telinganya sekilas sambil menggeleng, bola matanya sedikit berputar, Chika tidak mungkin sama seperti mereka.

"Chika tau kan besok lo gajian?"

Ara mengangguk, "Tau."

"Kalimat pertama yang bakal dia ucapin waktu lo dateng atau sebelum tidur pasti ini." Lidya berdehem. "Sayang, kamu besok gajian 'kan?"

"Dih gak mungkin, waktu pacaran aja dia gak pernah bahas bahas soal uang." Ara menyesap sisa kopinya sampai habis.

"Kira-kira kamu kasih aku berapa persen ya dari gaji kamu?" Lidya tersenyum miring, "Dia akan nanya itu, terus lo mau kasih dia berapa?"

"Setengah-setengahlah, gue juga mau duit." Ara mengunci seluruh laci lemarinya.

"Percaya sama gue, dia akan minta 3/4."

"Kak sumpah deh jangan sama samain bini gue sama bini luu." Ara meraih jaket hitam yang sengaja ia simpan di kursi agar memudahkannya untuk memakainya kembali.

"Kamu yakin ngasih 50% gaji kamu ke aku? Kebutuhan aku lebih banyak loh kan aku di rumah, harus belanja bulanan, beli odol, sabun, sampo dan yang lainnya." Lidya menirukan nada suara Chika yang lembut.

"Gak mungkin, dia itu pasrah dikasih berapa aja. Emangnya kak Melody sama kak Shania apa? Dikasih 100% aja masih minta seratus ribu sehari." Ara menggeleng, masih tidak percaya.

"Pertama dia bakal minta 3/4."

"Ya udah gapapa gue kasih 3/4."

"3/4 kira kira cukup gak ya Ra buat aku? Kamu butuh waktu buat pertimbangin gak?" Lagi, Lidya menirukan nada suara Chika. "Setelah itu dia bakal ngomong puluhan kata dalam hitungan detik buat nyebutin kebutuhan kalian sampe ke akar akarnya dan minta seluruhnya." Lidya berdiri ketika melihat Ara mulai berdiri.

"Gak mungkin, Chika gak serakah sama uang." Ara mengambil kupluknya dan segera ia pakai setelah ia mengenakan jaket itu.

"Loh itu bukan keserakahan, setelah jadi istri dia akan mempertimbangkan banyak hal dalam hidupnya dan memastikan uangnya cukup untuk itu semua makanya dia akan minta lebih."

"Gak akan ah, dahlah gue males sama lo." Ara melambaikan tangannya, segera pergi meninggalkan Lidya tanpa mau mendengarkan ucapannya. Sampai kapanpun Chika tidak akan sama dengan Melody.

"Pernikahan tidak semanis ekspetasimu, anak muda."

"Gak gue gak denger." Ara terus berjalan pergi keluar dari kantornya yang sudah mulai sepi karena semua orang sudah pulang, hanya tersisa Lidya yang sedang dihukum tidak boleh pulang dan beberapa pekerja lain yang ditugaskan untuk berjaga.

Ara sampai ke rumah tepat pukul dua belas malam. Dari Beby, ia mendengar bahwa semua tugasnya sebagian akan diambil alih oleh Shania. Ara tentu saja senang mendengar itu karena tugasnya akan berkurang. Dari mobil yang terparkir di depan rumah, ia sudah bisa menyimpulkan dua orang aneh itu masih di rumahnya.

ENIGMA [END]Where stories live. Discover now