11

4.1K 599 144
                                    

"Demi apasih?" Azizi terbelalak ketika Mira memerintahkannya untuk melucuti semua pakaiannya. "Malu aku, masih perawan nih." Azizi menutupi bagian kemaluannya dengan senyuman yang membuat Fiony geli melihatnya.

Mira menaburkan kembang tujuh rupa di bathtub yang sudah terisi penuh oleh air, Mira memejamkan mata sejenak, membacakan mantra khusus yang sudah diajarkan gurunya dulu kepadanya. Setelah cukup, ia berjalan mendekati Azizi yang kini sudah mulai membuka kancing kemejanya satu persatu, "Dalemannya pake aja deh, kasian Fiony ntar gak kuat." Mira tertawa ketika Fiony memukul bahunya.

Mira mempersilahkan mereka untuk berjalan menuju bathtub, ia menutup gorden kamar mandi dan menunggu di sana, sambil menunggu, ia memeriksa pesan masuk yang ternyata dari Chika, Chika ingin meminta rekaman ketika ritual nanti, gadis itu masih saja penasaran padahal Ara sudah dengan keras melarangnya. Mira membalasnya dengan mengiyakannya saja. Pesan selanjutnya dari Vivi yang melarangnya untuk pulang ke rumah Vivi karena Vivi tidak bisa keluar kantor, ah baiklah, ia akan pulang ke rumahnya.

"Aku ngapain nih?" Azizi menggantungkan celana pendek yang baru saja ia buka. "Kamu kayanya gak bisa berdiri di luar bathtub, harus masuk dan celana jeans kamu harus dibuka. Bener gak, kak Mir?"

"Cukup modus tapi lo bener."

"Mir, aku gak pake celana pendek." Fiony menyingkap gorden agar bisa menatap Mira. "Gimana dong?"

"Ya buka aja kali, Fio, gapapa kan kita sama-sama cewek," jawab Azizi.

"Justru itu ya tolong." Fiony memutar malas bola matanya kemudian menghentakan kakinya. "Gimana? Biasanya mandiin tuh orangnya masuk ember gede, ini bathtub."

"Mana ada ember di sini."

"Gapapa sih sono." Mira menggelengkan kepala dan memilih untuk fokus pada ponsel, ia ingin menanyakan kabar Vivi karena takut ada sesuatu buruk terjadi yang membuat Vivi tidak bisa pulang selama beberapa hari. Mira menghubungi Vivi, dibuat menunggu cukup lama sampai akhirnya berhasil diangkat. "Sayang, kamu baik-baik aja?"

"Baik kok." Vivi melepaskan headset yang menutupi telinganya. "Jangan pernah ke rumah aku sebelum aku izinin."

"Ya udah, kamu udah makan?" Mira melirik sekilas ke arah Fiony yang sedang membuka celananya, ia tidak pernah tau bahwa paha sahabatnya itu seputih kapur.

"Udah kok, aku di sini buat beberapa hari sampe keadaan aman." Vivi mengangkat tangannya pada Veranda, meminta untuk istirahat, tetapi Veranda malah melotot tajam, membuatnya tidak punya pilihan. "Aku telfon lagi nanti." Vivi mematikan telfonnya, berjalan mendekati Veranda dengan malas. "Kak, udah hampir jam 12."

"Stace!!" Teriakan Veranda menggema ke seluruh gedung kosong ini.

Vivi mengembuskan nafas lelah, buru-buru mengambil busur dan anak panah sebelum berdiri tegak. Sudah lima jam ia berlatih memanah, tetapi Veranda tetap belum puas dengan hasilnya, padahal ia bisa meski hanya sedikit.

"Square Stance!" Veranda menendang pelan kaki Vivi yang sedikit miring dan menepuk posisi bahu Vivi agar sejajar dengan kakinya. "Extend."

Vivi mulai mengangkat busurnya, ia tarik anak panahnya hingga sejajar dengan dagunya. Vivi memicingkan mata, berusaha untuk berkonsentrasi sebelum melepaskan anak panahnya. Ia mengerang kesal ketika anak panahnya meleset cukup jauh dari titik yang sudah ia tuju.

"Astaga, payah, kamu bener-bener bisa malu-maluin aku kalo cara kerja kamu gini. Liat aku." Veranda mengambil busurnya dan panahnya, ia menatap Vivi cukup kesal seraya melepaskan anak panahnya, tanpa melihat, anak panah itu berhasil menancap titik terbaik Face Target. Veranda melemparkan busur itu, berjalan pergi meninggalkan Vivi, tetapi tak lama ia kembali dengan membawa kotak besar berisi ratusan anak panah. "Lepasin semua anak panah ini."

ENIGMA [END]Where stories live. Discover now