14

4.1K 626 394
                                    

"Kak, aku izin anter dulu Chika ya? Aku udah janji sama Mira bakal izinin dia ikut penyelidikan sebagai balas budi aku tapi aku belum siap biarin Chika pergi sendiri." Ara izin pada Viny yang sedang fokus memainkan rubik, entah apa yang Viny pikirkan seharian ini, dari kemarin Viny sibuk melamun.

Viny menatap Ara sekilas dan mengangguk tanpa mengatakan apapun, ia memandang kosong pada dinding di depannya. Viny menghela nafas seraya menunduk, menyimpan rubik yang baru berhasil ia selesaikan. Ia berdiri, mendapati Ara masih diam mematung di sana. Viny menatap kedua mata Ara yang sedikit berkaca, ia menepuk bahu Ara, "Aku maafin," ucapnya mengetahui apa yang Ara pikirkan.

"Maaf." Ara berjalan satu langkah dan langsung memeluk Viny. Ara masih merasa sangat bersalah karena sudah berani memukulnya. Padahal selama ini seemosi apapun ia pada semua kakaknya, ia tidak akan berani memukul, menatap saja ia tidak berani. Namun, entah kenapa jika semua ini menyangkut Chika, logikanya tidak bisa berjalan dengan sempurna. Ara terlalu panik kemarin.

"Gapapa." Viny membalas pelukan Ara, mengusap kepala belakangnya. Tentu Viny sangat memahami emosi yang Ara rasakan, Chika sangat lemah, tidak punya kemampuan bela diri apapun, sangat wajar jika Ara semarah itu apalagi Chika diperlakukan dengan sangat tidak baik. Sementara kemarin Viny tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena Mira sudah melarangnya.

"Aku janji gak akan bantah kak Viny lagi." Ara melepaskan pelukan, mengusap air mata yang menetes di pipinya.

"Jangan." Viny menggenggam erat kedua bahu Ara. "Sewaktu-waktu aku bisa salah, sewaktu-waktu pikiran aku bisa lemah, jangan pernah bersikap mudah, kasih tau aku kalo aku salah, ingetin aku keputusan yang aku buat berantakan tanpa arah." Viny tersenyum, menyeka air mata Ara yang kembali menetes, ia mencium dahi Ara, menepuk bahunya sebelum beranjak pergi meninggalkannya. Viny berjalan menuju ruangannya, terlalu sibuk memikirkan masalah pribadinya terkait hutang, ia lupa memutar rekaman dari kacamata Ara.

"Siang, kak," sapa Chika tersenyum lebar pada Viny yang berpapasan dengannya.

"Siang," jawab Viny tanpa menghentikan langkahnya. Ia berhenti sebentar di depan ruangan ketika melihat Alex berjaga di sana, "Tolong bawain minuman ya? Sebotol aja, biasanya di ruang Lidya ada."

"Serius?" tanya Alex memiringkan kepalanya bingung karena tidak biasanya Viny meminta itu, biasanya Viny hanya minum kopi, Viny tidak suka alkohol karena alkohol merusak konsentrasi dan daya ingatnya.

"Iya, aku lagi pusing. Masuk deh."

Alex mengekori Viny di belakangnya, ia berdiri di samping meja Viny, menunggu sampai Viny mempersilahkannya duduk. Alex duduk ketika Viny menunjuk ke kursi, ia memperhatikan wajah Viny yang terlihat sedikit resah. Apa orang kaya punya masalah? Tentu saja. Tidak mungkin ada manusia yang dilahirkan tanpa masalah.

"Mama aku tau hutang aku banyak, Mama tau juga utang aku sebagian dibayarin kak Ve." Viny mengusap wajahnya frustrasi, kepalanya sudah nyaris pecah sekarang, entah ke mana lagi ia harus mencari uang.

"Bukannya kamu yatim piatu?"

"Mama istri aku."

"Oh nyonya Aretha." Alex mengangguk paham. "Kamu nyuruh aku ke sini mau minjem uang?" Alex menggerogoh saku celana, mengeluarkan ponsel untuk memeriksa saldo rekeningnya. "Ini aku punya segini, kalo mau ambil aja."

"Seratus juta cukup buat apa? Utang aku miliaran dan lagian aku gak niat minjem uang sama kamu, aku cuma mau cerita aja, soalnya kalo cerita ke yang lain pasti mereka minjemin uang, gak enak aku ngerepotin mereka terus." Viny bersandar di kursi dengan mata terpejam. "Aku nunggu dari Vivi, dia mau kasih aku uang 1 M."

"Vivi gak masuk kategori yang lain itu ya?" Alex mengambil salah satu rubik di atas meja Viny, memainkannya sebentar dan ia simpan kembali karena tidak mengerti. "Kamu kerja apa emang sampe Vivi mau kasih kamu uang sebanyak itu?"

ENIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang