9

4K 661 205
                                    

"Paket apa?" tanya Beby seraya memakai arlojinya yang kemarin tertinggal di kantor setelah ia mandi di sini. Beby menatap semua orang, mereka menggeleng tidak tau. Beby mengenakan kupluk yang Shania berikan kepadanya kemudian mengangguk, memberi isyarat pada anak buahnya untuk membawa paket itu.

"Menurut kalian apa?" Shania penasaran.

Viny memicingkan mata ketika melihat sebuah peti kecil yang mereka simpan di tengah ruangan. Viny menatap Shania dan Melody, "Tutup mata." Mereka sempat saling pandang sebelum akhirnya menuruti perintah Viny. Viny berbalik membelakangi peti itu, "Periksa, Nal," ucapnya tanpa mau melihat apa isinya. Ia tidak tau apa isinya, tetapi jika melihat dari bentuk petinya, sepertinya itu sesuatu yang menyeramkan.

Kinal mengangguk, meraih sarung tangan di atas meja seraya berjalan mendekati peti itu kemudian membukanya. Matanya terbelalak lebar ketika mengetahui apa isinya, kepala anak buahnya yang terpenggal. Kinal mengangkatnya, menunjukannya pada mereka, "Potongan kepala."

Beby buru-buru berpaling, menahan rasa mualnya. Beby sampai menutup mulutnya sambil memejamkan mata, berusaha membuang bayangan kepala anak buahnya.

"Setan!" pekik Lidya emosi. "Siapa yang ngirim?!" Lidya menarik kerah jaket anak buahnya, menatapnya begitu tajam. "Siapa yang berani sama kita?!"

"A-aku gak tau, paket itu dilemparkan oleh sebuah helikopter di taman belakang jam 2 malam, kami udah coba nembak helikopter itu, tapi kami gagal." Pemuda itu meringis ketakutan melihat tatapan tajam dari Lidya.

"Payah, pergi kalian!" Lidya mendorong keras tubuh pemuda itu yang langsung berlari terbirit-birit.

"Ini ada hubungannya sama orang yang kamu bunuh gak, Nal?" tanya Veranda meraih sarung tangan dan berjalan mendekati Kinal. Veranda mengambil alih kepala anak buahnya yang bernama Tyo itu, memperhatikannya tanpa merasa takut atau ngeri sedikitpun.

"Gak ada hubungannya sama mereka, mereka bukan dari keluarga elit yang punya helikopter," jawab Beby masih tidak berani melihat bentuk kepala putus itu, melirikpun ia tidak berani.

Shani memakai sarung tangan sebelum berjalan mendekati Veranda, Shani ikut memperhatikan kepala Tyo, tidak ada bekas pukulan apapun, wajahnya tetap bersih, itu artinya Tyo diserang langsung tanpa disiksa terlebih dahulu. "Penyerangan dari belakang pake pedang," ucap Shani berani menyimpulkan.

"Iya, sayatan serapi ini udah pasti pake pedang, kalo pake kapak akan ada beberapa patahan di bagian ini." Veranda menunjuk leher Tyo. "Tyo cukup ahli bela diri tapi insting dia kurang bagus, dia gak akan sadar sama penyerangan dari belakang. Kalo penyerangan ini dilakukan dari depan, dia punya kesempatan buat lawan dan rebut pedangnya."

"Itu artinya penyerangan tersembunyi dari belakang," lanjut Shani berusaha membuka mulut Tyo ketika melihat plastik di sana. Shani mengambil sebuah kertas kecil yang dilapisi plastik, ia membuka plastiknya, membacanya. "Darah akan dibalas dengan darah, nyawa akan dibalas dengan nyawa." Shani melemparkan surat itu pada petinya dan kembali memperhatikan kepala yang digenggam oleh Veranda. "Menurut kamu gimana, kak? Kita takut gak?"

"Takut banget."

Shani dan Veranda saling pandang sebelum akhirnya tertawa keras. Veranda menyimpan kembali kepala itu di tempatnya lalu membuka sarung tangan, "Cara lama dari orang pengecut." Veranda menutup peti itu. "Kalian boleh buka mata."

"Ti saha eta teh meni sieun eh?" Melody menggedikan tubuhnya. Untung saja ia menutup mata, jika tidak mungkin ia akan sulit tidur atau makan.

"Siapa lagi?" Viny kembali berbalik. "Ketua anggota dewan yang anaknya dibantai kak Ve. Dia udah tau siapa yang ngebantai anaknya dan dia udah pasti mantau perumahan kita, dia gak berani nunjukin mukanya, itu artinya dia akan melakukan serangan mendadak sama seperti yang dia lakukan ke Tyo." Viny menatap Shania dan Melody. "Kalian jangan pergi sendiri. Ah, Shania sama Beby tinggal di sini untuk beberapa waktu." Viny baru ingat Beby tidak pandai bela diri.

ENIGMA [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin