6

4.2K 662 167
                                    

"Aduuuh apasih masih pagi Chik." Ara menepuk keras tangan yang tengah mengguncangkan bahunya. Semalam setelah sadar dari pingsannya, Ara sempat begadang untuk bermain game sampai jam dua pagi, ia masih sangat mengantuk jika harus bangun sepagi ini. Mentari bahkan belum sepenuhnya terbit.

"Bangun gak?!"

Ara terperanjat kaget, langsung membuka mata dan menoleh, melihat ternyata bukan Chika yang mengguncangkan tubuhnya. Ara memaksakan senyumannya, "Eh Mami apa kab-"

"-Mandi, jam segini belum bangun, mau jadi apa?" Aya memotong pertanyaan Ara dengan nada dinginnya. Aya memandangi ke sekeliling kamar Ara yang sekarang jadi kamar putrinya itu lalu meringis, "Coba deh itu lemari bersihin, nanti kalo ada debu gimana? Kalian sendiri yang kerepotan." Aya melangkah mendekati lemari itu, mengusapnya sekilas dan menunjukannya pada Ara. "Liat? Ini debu, kamu waktu ngelamar Chika bilangnya bisa memberikan kehidupan yang layak tapi debu sekecil ini aja gak bisa kamu hilangin."

Ara mematung tanpa berani menjawab, ludahnya tertelan begitu saja, Ara lupa satu hal, menikah artinya bukan hanya memiliki seorang istri, tetapi orang tua baru. Ara bergerak perlahan sebelum bersandar di ranjang, memandangi Aya yang berjalan mendekati meja kerjanya.

"Apa ini? Pistol?" Aya menatap Ara dan Chika yang baru saja masuk ke kamar. "Benda kaya gini gak boleh disimpen di kamar. Gak ada yang ngejamin kalian gak akan berantem dan kalian tau emosi bisa mematikan logika seseorang, gimana kalo pistol ini reflek kalian gunain waktu kalian berantem? Mana yang katanya udah siap berumah tangga? Hal sekecil ini aja gak diperhatiin. Mikir kalian tuh." Aya memasukan pistol itu ke dalam tasnya. Aya memang sudah mengetahui apa pekerjaan Ara, cukup membahayakan dan ia memaklumi jika ada barang seperti ini di rumah, tetapi tidak di kamar juga, terlalu berbahaya.

Ara mengacak rambutnya frustrasi dan melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul enam pagi, jam berapa mertuanya itu bangun hingga datang sepagi ini? Seharusnya ia masih tidur lelap.

"Iya, maaf, Mami." Chika mengembungkan pipinya tanpa berani melawan. Chika lupa memperhatikan hal itu.

"Ini lagi baju kotor kenapa belum dicuci?" Aya mengambil keranjang yang berisi tumpukan baju kotor. "Ini bisa ngundang nyamuk tau gak? Bau juga, kenapa sih? Hal kaya gini aja kalian gak tau?" Aya mengangkat keranjang itu kemudian membawanya keluar kamar, ia simpan tepat di samping kamar Ara. Langkahnya kembali ke kamar, memeriksa semua hal yang ada di sana.

Aya membuka lemari, pandangannya langsung tertuju pada tumpukan perhiasan Chika yang Ara berikan saat pernikahan kemarin, "Ini perhiasan totalnya cuma goceng apa sampe disimpen sembarangan kaya gini? Di lemari tanpa kunci, Mami gak ngerti kenapa bisa seceroboh ini, coba simpen ke tempat aman." Aya mengambil kotak perhiasan itu, melemparkannya ke kasur tepat ke arah kaki Ara yang tertutup selimut. "Kenapa masih selimutan?"

"I-iya, maaf." Ara turun dari kasur, menatap Chika dengan bibir mengerucut, seakan tengah mengadu bahwa ia pusing karena omelan dari Aya.

Chika menggeleng, ia pun bingung bagaimana cara menghentikan Aya, Ibunya itu memang sering marah-marah bahkan sebelum ia menikah. Chika bahkan tidak menyangka Aya akan merestuinya menikah dengan Ara.

Aya memperhatikan lagi setiap sudut kamar Ara, tidak terlalu luas memang, tetapi cukup nyaman, meski tidak semewah kamar yang ia berikan untuk Chika di rumahnya. Aya berjalan mendekati nakas, membuka lacinya dan melemparkan gunting yang ia temukan di sana.

Chika mengerti itu, buru-buru memunguti gunting itu dan mengamankannya ke luar kamar. Chika menyimpan gunting itu di salah satu laci lemarinya, ia lupa menyimpan ini setelah memotong label harga baju barunya kemarin.

Jantung Ara berdegup kencang ketika tangan Aya bergerak menuju laci nakas terakhir, ia baru ingat ia menyimpan satu dus rokok yang beberapa hari lalu ia beli. Ara melangkah dengan sangat perlahan, mengendap-ngendap ke arah kamar mandi, ia harus segera menyelamatkan dirinya sendiri dari omelan mertuanya. Baru saja tangannya menyentuh knop pintu, sebuah teriakan nyaring mendarat di telinganya.

ENIGMA [END]Where stories live. Discover now