12

3.8K 663 387
                                    

Ucapkanlah kasih
Satu kata yang kunantikan
Sebab kutak mampu membaca matamu
Mendengar bisikmu

Chika terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara nyanyian yang diiringi oleh petikan gitar, ia menggeliat seraya memandangi Ara yang duduk di sofa, ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul sebelas siang, pantas saja Ara membangunkannya.

Nyanyikanlah kasih
Senandung kata hatimu
Sebab ku tak sanggup
Mengartikan getar ini
Sebab ku meragu pada dirimu


Ekor mata Ara melirik ke arah kasur, diam-diam ia tersenyum tipis melihat istrinya itu sudah bangun. Ini sudah siang, tidak baik untuk Chika jika tidur terlalu lama, kepalanya akan pusing. Ara tidak enak membangunkannya langsung, jadi ia bangunkan lewat nyanyian karena kebetulan Chika mudah sekali bangun. Chika pasti tidak sadar jika ia sengaja membangunkannya, istrinya itu tidak akan tersinggung.

Mengapa berat ungkapkan cinta?
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan, juga dalam sedu sedan


Chika menginjakan kedua kakinya di lantai, ia mengambil ikat rambut di nakas, mengikatnya sembarang, langkahnya terayun menuju Ara, di meja, Ara sudah menyiapkan segelas susu dan roti bakar untuknya. Chika yang merasa tenggorokannya sedikit kering langsung saja meneguk susu itu sampai setengahnya, ia menatap Ara yang masih fokus bermain gitar. Chika tersenyum, Ara pasti berpikir ia tak tahu bahwa Ara sengaja membangunkannya dengan nyanyian itu.


Mengapa sulit mengaku cinta?
Padahal ia terasa. Dalam rindu dendam, hening malam, cinta terasa ada

Ara menyelesaikan nyanyiannya lalu menyimpan gitar, "Eh istri aku kebangun, aku ganggu ya?"

"Ngga, kok, udah siang juga." Chika menyimpan gelas di atas meja, meraih tangan Ara yang baru terangkat kepadanya. "Kamu udah rapi aja, udah manis, udah cantik, udah ganteng." Chika merapikan poni Ara, ia sibakan sedikit ke samping agar tidak terlalu terlihat, kadang-kadang Chika menyukai Ara tanpa poni.

"Aku mau pergi, tadi katanya ada gambong narkoba gitu di kota ini, harusnya itu tugas kak Kinal sama kak Lidya tapi aku sekarang kan bagian dari mereka. Nanti kamu main sama adiknya kak Shania aja ya, kamar dia ada di depan kamar kita, baru pulang dari Singapur." Ara mengecup punggung tangan Chika. "Aku berangkat dulu ya, uang jajan aku mana?"

Chika mengambil dompetnya di lemari, mengeluarkan dua lembar uang dua puluh ribu yang langsung ia berikan pada Ara, "Ini sayang, jangan jajan yang aneh-aneh ya?" Chika mengusap puncak kepala Ara dan menghadiahi kecupan di dahinya, ia mengernyit melihat Ara diam memandangi uang itu. "Ada yang aneh?"

"Kurang sepuluh ribu." Ara menunjukan uangnya pada Chika agar Chika bisa melihatnya lebih jelas lagi. "Nanti aku mau jajan kurang."

"Kamu kan pergi sama kakak-kakak kamu, minta sepuluh ribu sama mereka, cash aku abis."

Chika menghela panjang ketika melihat Ara cemberut dengan kepala tertunduk, "Ayo berangkat." Chika menarik tangan Ara menuju pintu, tetapi Ara malah memaku kakinya di lantai tanpa mau bergerak atau mengatakan apapun. "Ra, berangkat."

Ara menggeleng, pipinya mengembung kesal, ia hanya diam memandangi uang jajannya yang dikurangi begitu saja padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun. Ara tetap memaku kakinya meski Chika sudah menariknya sekuat tenaga. Tentu saja Ara sudah terlatih, meski badannya lebih kecil dari Chika, tenaganya jauh lebih besar.

Chika mengalah karena pusing jika Ara sudah merajuk seperti ini, ia mengambil kembali dompetnya, mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan ia tukarkan dengan uang di tangan Ara, "Nih, udah, sana." Chika mengusap puncak kepala Ara. "Hati-hati ya."

ENIGMA [END]Where stories live. Discover now