06: januari dan ceritanya

663 145 19
                                    

recommendation song : yiruma - kiss the rain

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Jane pernah baca di beberapa artikel berita, katanya banyak pasangan yang bercerai di bulan Januari dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hingga dengan banyaknya rumor yang beredar membuat Januari dijuluki sebagai bulan perceraian.

Padahal sebenarnya, nggak juga. Berdasarkan data penelitian dari University of Washington mengungkapkan bahwa perceraian paling banyak terjadi di bulan Maret dan Agustus. Tapi saat Jane ingat-ingat lagi, dia tidak punya alasan kuat untuk berpisah dengan Sebastian. Tidak punya, sama sekali tidak ada.

Bumantara berwarna abu-abu melintang di atas sana, menutupi biru hingga tak nampak lagi warna aslinya. Mendung itu membawa kelam untuk Januari  hari ini. Dari balik jendela kamarnya, Jane bisa lihat beberapa orang mulai mencari persinggahan, sebagian lain mulai memakai jas hujan, tapi tak sedikit juga yang menghiraukan. Seolah-olah langit di atas sana sedang tidak memberi peringatan.

Bulan Januari, bulan ini rata-rata, merupakan bulan terdingin sepanjang tahun dalam sebagian besar belahan bumi utara.

Januari dan dinginnya yang acap kali mengantar luka.

Langit semakin menghitam seiring detik yang tanpa henti berjalan. Di antara waktunya yang semakin menipis, di antara detik yang menuju menit, Jane tahu tidak seharusnya dia bertindak seperti ini, tapi jauh di antara senyumnya, jauh di balik luka yang tidak disadari seorangpun di dekatnya, Jane ingin sekali pergi. Pergi sampai lukanya sembuh. Pergi sangat jauh hingga ia tidak lagi merasa rapuh.

Pergi mencari mimpi dan hidupnya sendiri.

Kini sebelum tetes air pertama jatuh membasahi bumi, Jane harus segera melangkahkan kaki. Wanita itu diburu waktu untuk segera pergi. Tapi sebentar, sebentar lagi, Jane cuma mau menenangkan hati.

Di Januari yang dingin, hembusan angin menusuk kulitnya hingga sampai ke tulang. Hujan sebentar lagi akan datang, tapi tanpa dikomando wajah Sebastian muncul di kepalanya sekarang.

Mama selalu bilang kepadanya, mau seburuk apapun nanti Sebastian memperlakukannya, mama bilang Jane tidak boleh melepaskannya. Mama dan suara di kepalanya berkata, tidak usah jauh-jauh bermimpi, kamu dipenjara di sini. Tentu tidak disuarakan secara nyata, tapi dari hembusan napas mama, dari pandangan tidak suka yang kerap dilayangkan wanita itu saat Jane membuka laptopnya, Jane tahu, mimpi dan hidupnya tidak akan tumbuh di sini.

Tidak akan tumbuh di dekat orang-orang seperti mama, seperti papa. Juga... tidak akan bisa tumbuh di dekat Yasa. Jane sadar mama akan melarang, mencacinya habis-habisan di atas kesalahan yang ia perbuat berbulan-bulan silam.

Tidak pernah tumbuh, juga tidak akan sembuh.

Kini, samar-samar dari ruang tamu bagian depan, Jane dapat mendengar, mama yang 24/7 selalu menjadikannya topik pembicaraan, membahas soal rencananya yang katanya akan menginap di rumah teman. Barangkali wanita itu tidak punya obrolan lain selain anaknya untuk dijadikan bahan perbincangan. Jane kadang berpikir, mama itu benar-benar menyayanginya tidak sih? Jane kadang bertanya di kepalanya, apa mama tidak sakit hati kalau diperlakukan dengan cara yang sama?

Mama itu ibu yang baik, tapi seringnya membuat hatinya jadi sakit. Jane acap kali dibuat bingung dengan tingkah mama, kadang wanita itu akan sebaik malaikat pada beberapa momen, tapi bisa berubah menjadi iblis dalam beberapa detik kemudian.

Mama juga jadi salah satu alasan, kenapa Jane Selena tidak suka suara keras yang bersahut-sahutan. Mama jadi salah satu alasan kenapa rumah tidak bisa diartikan pulang.

Mama juga jadi alasan, kenapa Jane ingin lari sejauh ini.

Kini, dengan senyum sumir yang melekat di wajahnya, Jane berjalan menghampiri Yasa yang tengah menangis di box bayinya, ia menangis, kencang sekali. Barangkali tahu akan ditinggal ibunya pergi.

Barangkali tahu, kalau ini jadi perjumpaannya yang terakhir kali.

Perempuan itu menggendong anaknya, berusaha menenangkannya di antara dingin Januari yang mencekam. "Ssst, anak ganteng kenapa nangis. Mami di sini sayang, cup cup cup."

Nabastala belum menumpahkan airnya, tapi Jane Selena lebih dulu mengambil garis startnya. Menangis sambil membawa Yasa di gendongannya, menangis saat wanita itu menatap netra coklat yang sama dengan miliknya. Menangis karena setiap kali ia melihat Yasa, bayangan soal Sebastian dan mimpinya yang dihancurkan juga ikut terlintas di pikiran.

Meski cuma sekelebat ingatan tapi itu cukup membuat perasaannya jadi begitu muram.

"Yasa anak baik kan ya? Anak baik kenapa nangis, cup cup."

Sempat terlintas untuk tidak pergi, tapi apa yang sudah dipersiapkannya jauh-jauh hari tidak boleh berhenti hanya di sini. Meski Yasa dalam gendongannya menangis begitu kencang, meski dengan ini kemungkinan besar Sebastian akan membencinya selama sisa hidupnya, Jane tidak masalah. Berulang kali kepalanya berkata, mimpinya lebih berharga dari apapun di dunia. Lebih dari Sebastian, lebih dari mama, lebih dari... lebih dari Yasa.

Sekian menit setelah itu, tangis Yasa berhasil dibuatnya mereda, tapi jemari kecilnya masih mencengkeram bajunya, seakan melarang Jane untuk tidak pergi ke mana-mana.

Jane ingin pergi, tapi ada bagian kecil dari hatinya yang melaranganya.

"Kamu kapan mau pergi?"

Mama tiba-tiba muncul di ambang pintu sambil bertanya, membuat Jane mengembalikan Yasa ke ke box bayinya. "Sebentar lagi."

"Jangan lama-lama, satu hari cukup. Anakmu masih kecil, udah ditinggalin aja, lagian kenapa sih nginep di rumah temen segala, emang rumah mama kurang apa coba?"

Kurang nyaman, Ma.

Jane tidak menanggapi mama dengan kata-kata kecuali senyuman, sesekon kemudian setelah Yasa dirasa tenang, dia kembali bicara dengan mama. "Besok Tian juga udah libur semester, Ma. Masa diminta jaga cucunya sebentar aja nggak mau."

"Nggak maulah, anakmu tuh ya harusnya nggak pernah lahir, di rumah kerjaannya cuma bisa nangis, kalau mama jadi kamu udah mama buang dia ke panti asuhan, cuma bisa nyusahin. Maminya juga sama, cuma bisa bikin malu keluarga. Kamu tahu nggak sih Tan---"

Kadang, Jane berpikir, mama itu beneran ibunya bukan sih?

"Ma, Yasa lagi tidur. Jangan dibuat bangun. Lagian wajar, Ma nangis orang dia masih kecil."

Mama dibuat geming setelah itu, menatap sinis Jane yang kini menenteng tasnya, wanita itu kembali tersenyum sumir, memberikannya pada Yasa yang kini tertidur begitu pulas.

Yasa, mami pergi ya?

Langit masih mendung, beberapa menit lagi hujan akan turun, Jane khawatir kalau penerbangannya akan ditunda karena masalah cuaca.  Tapi taksinya datang tidak sampai sepuluh menit kemudian, tepat detik itu langit menurunkan hujan.

Detik itu, setelah masuk ke dalam taksinya, setelah mobil itu mebawanya semakin jauh dari Yasa, Jane menangis sekencang yang ia bisa. Tidak peduli pada tanya penuh kekhawatiran yang dilayangkan supir taksinya. Perasaannya dipenuhi oleh rasa takut juga sesal yang membuncah alih-alih senang karena sebentar lagi, mimpinya bisa ia raih.

Detik itu, saat Jane menangis dengan keras, satu-satunya yang ditinggalkannya untuk Yasa adalah secarik kertas.

Detik itu, saat hujan mencumbu bumi dengan denting perlahan, Yasa mendapat kehilangan pertamanya.

Kehilangan ibunya, di bulan Januari kelahirannya.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now