16: waktu abadi

572 128 33
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Sebastian sering sekali mendapati momen-momen yang terekam dengan lambat di kepalanya. Menjadikan satu sekonnya selalu berharga. Buat dia Bumi terlalu lambat dalam berotasi. Tidak ada yang cukup cepat kecuali langkah kakinya sendiri. Dan ketika netranya menangkap sebuah bola mata berwarna coklat terang. Dia sadar, itu milik seseorang.

Kadangkala dia bertanya, apa salahnya sampai Jane kerap menghindar. Kadangkala saat malam terlalu sunyi dan membuatnya disekap sepi, dia bertanya apa yang salah dengan dirinya hingga seringkali ditinggal pergi.

Kadangkala, Sebastian bingung kenapa oksigen bisa mencekiknya hingga ia merasa sesak.

Wanita itu sempat membeku di tempatnya, barangkali sedang membiarkan suara-suara di kepalanya berdebat satu sama lain. Tapi pada akhirnya, dia melangkahkan kaki, mendorong pintu itu dan berniat pergi. Sekali lagi.

Tapi Bumi itu terlalu lambat bagi Sebastian untuk berotasi, lebih cepat langkah kakinya saat ini untuk mencekal erat pergelangan tangan perempuan itu. Keluar dari toko roti itu, udara menjadi lebih dingin. Terlebih saat Sebastian menatap Jane tepat di matanya, memberi atmosfer berbeda dari saat-saat sebelumnya. Nabastalanya berwarna biru muda, tapi obsidiannya masih serupa titik hitam mencekam.

Obsidian yang menusuk nayanika coklat terang si perempuan.

Waktu berhenti saat itu, saat si laki-laki yang Jane pernah temui sebagai bocah ingusan yang rambutnya selalu dipakaikan minyak kemiri, kini menatapnya dengan sorot mata entah apa. Terluka, kecewa, tapi juga bahagia.

Waktu berhenti di antara mereka, dan nabastala membingkainya dengan lautan biru muda. Detik itu rasanya seperti kembali ke tahun 2018, atau lebih gilanya terasa seperti tahun 2002 saat Sebastian menatapnya teduh—nyaris terluka.

"Mau ke mana?" katanya. Dia tidak punya tanya apa-apa selain itu di kepalanya, barangkali nanti ketika mereka punya ruang berdua, Sebastian bisa bertanya lebih banyak lagi atau lebih buruknya, menghakimi. Dan naasnya Jane tidak punya jawaban. Dia dilanda ketakutan begitu netra keduanya bertaut dalam satu garis lurus, tidak ada kupu-kupu di perutnya seperti yang pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Hanya ada rasa takut yang membayangi setiap jantungnya berdetak kencang.

Karena dua obsidian tajam Sebastian Haidar.

"Lepas."

Ini pertama kalinya setelah sekian tahun Sebastian mendengar suaranya, tidak banyak berubah kecuali menjadi sedikit lebih berat dan tegas.

"Ke mana? Mau pergi lagi ninggalin aku dan anakmu?"

Jane menggigit bibir bawahnya, menatap ke arah paving-paving tua di bawah kakinya. Mengarahkan matanya ke mana saja, asal tidak menatap laki-laki itu.

"

Kenapa pergi?"

Alih-alih terdengar seperti sebuah pertanyaan, kalimat yang diutarakan malah lebih terdengar seperti bentuk kekecewaan. Sungguh kalau saja seluruh isi hatinya bisa diuraikan ke dalam kata-kata, Sebastian pasti kehabisan tinta untuk menulis aksara-aksara yang ada.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang