11: dari mami

581 141 5
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Satu dekade silam, saat Sebastian pulang dengan penuh rasa lelah tapi juga gembira yang membuncah, satu fakta mengejutkan diterimanya dengan penuh kebingungan.

Jane pergi.

Meninggalkan Yasa setibanya ia pulang, katanya sudah dua hari tidak berkabar, patut dipertanyakan kenapa perempuan itu memilih raib menghilang.

Jane pergi.

Tanpa pamit yang lebih layak selain sepucuk surat yang setengah lusuh. Jane pergi, membiarkan anaknya kehilangan ibunya, meninggalkan tanggung jawabnya serta peran sebagai orang tua.

Jane pergi, dan di rumah ini. Di sebuah bangunan yang tidak begitu sering Sebastian sambangi---karena kenangan tentang perempuan itu selalu melekat bersama bangunan dua lantai di depannya---selalu sepaket dengan nama Jane Selena.

Catnya masih sama, hanya di beberapa bagian saja ia memudar dimakan usia. Bunga-bunga serta tanaman hias yang ditaruh di halaman menambah kesan hangat. Meski pada beberapa momen, ia tidak selalu hangat.

Meski di rumah itu, Sebastian jelas mengingat bagaimana Yasa dicaci dengan begitu kasar oleh mertuanya, dia bahkan belum membuka matanya saat kata-kata menyakitkan satu dekade silam dilayangkan dengan penuh rasa kesal. Bagian lucunya, anak itu sangat disayang sekarang.

Sebastian selalu suka bohlam berwarna kuning yang menyapu teras rumah perempuan itu. Warnanya selalu nyaman dan tidak terlalu terang, cocok sekali ketika diadu dengan cahaya bulan.

"Daddy, ayo masuk."

Anak itu menarik ujung bajunya, Sebastian tersenyum. Ia baru berjalan ketika memastikan mobilnya sudah dikunci, neneknya baru saja membuka pintu ketika tamu tidak direncanakan malam itu datang dengan penuh kejutan.

Si bocah berlari, jatuh ke pelukan neneknya yang tersenyum begitu lebar. Ada sesak saat melihat Yasa sekarang, harusnya ibunya juga ikut pulang. Harusnya Jane ada di sini, berjalan di sampingnya dan tersenyum melihat Yasa yang dipeluk neneknya.

Ya, harusnya begitu.

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Hujan mencumbu tanah-tanah yang kering selepas tadi siang dibakar oleh matahari dengan tanpa ampun. Rintik-rintik airnya jatuh membasahi dedaunan, membelai setiap batang pohon yang kering dan tua.

Membelai jiwa-jiwa kosong yang kehilangan rumahnya. Bocah itu terlelap di kursi semenjak satu jam yang lalu, telapak kakinya yang telanjang sempat digigit nyamuk. Sebastian sempat mau memindahkannya ke kamar, tapi anak itu berontak di sela-sela tidurnya. Pada akhirnya, dia cuma mampu menyelimuti anaknya supaya tidak kedinginan.

Secangkir teh hangat dihidangkan di atas meja, asapnya setengah mengepul. Cocok sekali diminum saat hujan dan cuaca dingin seperti ini.

"Dia tidur pules banget, capek kali habis main sama kakeknya."

Sebastian menyambutnya dengan tawa, dilihatnya sebentar Yasa yang memeluk bantalnya. Mertuanya duduk di kursi, geming sebentar saat menatap Yasa. Sekon selanjutnya menatap Sebastian dengan pandangan iba.

"Yasa tanya ibunya lagi?"

"Iya."

Sebastian meraih gagang cangkirnya, menyeruput tehnya dan merasakan tiap-tiap jengkal dari indra pengecapnya dipenuhi oleh rasa manis.

Wanita tua di depannya menghela napas. "Jane tuh emang problematik, mama nggak tahu dari dulu harus gimana ngadepin dia. Kalau kayak gini, yang banyak dirugikan itu Yasa, kamu juga pasti capek ngurusin dia sendirian.

Sebastian sedikit tertawa, "Dia problematik kan gara-gara kenal saya."

"Tian."

"Ya?"

"Nggak mau nikah lagi?"

Tian geming, membiarkan cuma angin yang mengisi konversasi hening itu. Denting jam pada dinding ruang tengah juga turut berpartisipasi menggiring sunyi.

Tian tersenyum sebentar, ditangkapnya netra tua yang di sekitar matanya terdapat garis-garis keriput tanda lelah dan usia yang tak lagi muda. "Saya masih suaminya, gimana kalau nanti tiba-tiba dia pulang dan menemukan fakta kalau saya menikah lagi?"

Wanita tua itu menghela napasnya. "Ini udah sepuluh tahun lebih, dia juga nggak pernah pulang dan nggak ada kabar. Yasa butuh ibu, Tian. Yasa butuh seseorang yang dia panggil mami."

Tian geming, tersenyum kecil. Sekon selanjutnya berkata. "Nanti saya pikirin lagi."

Tapi yang dipikirkannya adalah Jane.

Malam semakin larut, jarum jam turut bergerak kembali ke angka satu. Harusnya, Sebastian sudah tidur di kamarnya atau bisa disebut juga kamar Jane. Tapi alih-alih memejamkan matanya dan mengeratkan selimut karena hujan yang belum berhenti sedari tadi, dia malah duduk di ruang tamu dengan perasaan layu.

Sebuah kue ulang tahun yang dibelinya sehabis pulang dari rumah Chandra ia letakkan di atas meja. Kue yang dipenuhi krim berwarna putih dan beberapa butir buah cherry. Satu dua lilin juga turut meramaikan kue ulang tahun itu.

Sebastian tersenyum sumir, sebentar kemudian menyeka air mata yang turun dari sisi kiri matanya. Ia nyalakan lilin itu dengan korek api satu per satu hingga terbakar semuanya.

Sesesak itu, karena yang berulang tahun tidak akan pernah tahu.

"Daddy..."

Langkah kaki kecil itu mendekatinya, atau mungkin menuju kue yang terlihat sangat menggoda untuk dimakan. Satu sekon kemudian, Yasa sudah duduk di pangkuannya.

"Kamu kok nggak tidur?"

"Kebangun, dingin."

Yasa diam, menatap kue di depannya. Sebentar kemudian balik menatap wajah ayahnya.

"Daddy ulang tahun?"

"Enggak."

"Terus siapa?"

Sebastian tersenyum kecil. Tapi laki-laki itu bahkan tidak menjawab. Yasa menebak-nebak dalam kepalanya, menjelajah obsidian kelam milik sang ayah. Jawaban samar ia temukan, barangkali iini ulang tahun perempuan itu.

"Can i make a wish?"

"Sure, go ahead."

Menit selanjutnya diisi geming, cuma terdengar rintik hujan serta sayup-sayup angin yang memeluk keduanya dan berusaha memadamkan lilin.

"Kamu minta apa?"

"No, i will not tell you. my wish won't be granted then."

Sebastian terkekeh, laki-laki itu mengusak surai anaknya lembut. Detik berikutnya setelah sebuah persetujuan dideklarasikan, lilin itu ditiup oleh keduanya. Menyisakan asap putih yang mengepul dari lilin ulang tahun.

"Mau makan sekarang nggak?"

"Besok aja, sayang kalau dimakan sekarang."

Sebastian mengangguk, menyetujui.

"Yasa."

"Ya??"

Laki-laki itu mengulas senyum tipis di bibirnya. Dielusnya surai lembut sang anak yang kini menatapnya bingung. Dua buah kenarinya beradu pandang dengan obsidian milik ayahnya, sedetik kemudian kenari itu menangkap sebuah kertas sedikit kumal yang diambil ayahnya dari sisi meja.

"Buat kamu," katanya.

Yasa mengambilnya, sengatan listrik terasa di dadanya. Tulisan latin yang ditulis dengan tinta berwarna hitam itu belum sempat dia baca, tapi entah kenapa tekstur kertas itu bahkan membuatnya merasa hangat.

Hujan masih turun di luar, masih mencumbu bumi dengan frekuensi tinggi. Dingin, tapi di pangkuan ayahnya beserta sebuah secarik kertas usang, Yasa merasa hangat.

"Dari mami."

Itu kata ayahnya.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now