10: is my mom dead?

642 138 20
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Seperti langit yang warnanya bisa berubah kapan saja, seperti merah dan biru yang berubah menjadi ungu. Katanya, manusia itu fleksibel sekali perasaannya. Pada hari ini, dipenuhi suka cita dan harsa tanpa sekalipun bersua dengan duka. Esoknya lagi, bisa jadi berbeda. Esoknya lagi, bisa jadi nabastala tidak berwarna biru muda seperti yang kita kira, bisa jadi abu-abu dan dipenuhi mendung kelabu---menyatu dengan luka, dibalut duka sehingga lupa bagaimana caranya tertawa.

Seperti langit yang pagi tadi ceria. Seperti langit yang tadi pagi berupa nabastala biru muda. Seperti langit yang warnanya ditelan awan-awan mendung. Seperti langit yang suram dan kelam.

Yasa seperti langit.

Seperti langit yang berubah jingga saat sore tiba, merah bata seperti tembok kamarnya. Juga merah muda di bagian selatan nabastalanya.

"Yasa, mau ikut nggak? Nanti kita ke rumahnya Om Chandra, ada Tante Zeta juga."

Tapi bocah itu melenggang pergi begitu saja, menuju ke kamarnya dengan langkah sarat kesedihan. Sebastian tahu, tapi kalau bisa ia selalu ingin pura-pura tidak tahu.

"Hei? Yasa kenapa diam nak?"

Tas ranselnya melorot dari bahu kecilnya, sebelum membuka pintu coklatnya, Yasa menoleh. Menatap sang ayah dengan sorot mata terluka, bola matanya mengkilap, Sebastian tahu pada detik berikutnya, kata-katanya hanya perihal Jane dan ibunya.

"Mami ke mana..."

Si bocah berucap lirih, masih menatap ayahnya dengan dua bola mata yang terluka. Menuntut penjelasan tapi Sebastian tak menjawab apa-apa selain diam.

"Mamiku kok nggak ada."

Sebastian diam, memilih geming, kalau sudah begini, dia tidak tahu harus apa selain mendiamkan putranya. Menjawab dengan jujur hanya akan membuat bocah itu menangis, sedangkan mau berbohong juga tidak bisa. Pada akhirnya semua kata-kata Sebastian hanya akan jadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

"Daddy, mamiku ke mana?"

Yasa melangkah, suaranya pecah. Bocah itu kini menangis sambil memandang lara ayahnya, dia terduduk di lantai, sambil sesekali tangan kecilnya memukul keras kaki Sebastian karena yang ditanya tidak mau menjawab apa-apa.

"Khansa punya mama, Rara punya mama. Temen-temenku semuanya punya, mereka dianterin mamanya waktu tk, tapi aku selalu sama daddy! Aku mau mami. Kenapa aku nggak punya?"

Tangis Yasa masih terdengar, dan di antara suara tangis anaknya Sebastian cuma bisa menghela napas. Pertanyaan yang baru saja dilayangkan beberapa detik silam membuat dadanya serasa ditusuk dengan sebilah pedang.

Sebastian pikir, nantinya saat Yasa sudah lebih dewasa bocah itu akan bisa mengerti. Dan Sebastian juga bisa menjelaskan kalau ibunya sudah lama pergi. Tapi semuanya cuma khayalannya semata. Bagaimapun juga, dia masih begitu kecil untuk mengerti.

"Diem ya, anak daddy nggak boleh cengeng."

Seharusnya, kata-kata dengan penuh penekanan begitu, cukup bisa membuat Yasa meredakan tangisnya. Tapi dalam beberapa kondisi, sebuah tangis cuma bisa berhenti kalau lukanya sudah benar-benar sembuh. Dia masih menangis, kali ini lebih keras bergaung di telinga Sebastian, mukanya memerah dan penuh air mata, persis seperti ibunya kala menangis.

"Yasa."

"Yasa," Sebastian memanggilnya sekali lagi dengan penuh penekanan, tapi si bocah masih menangis.

"Yasa."

"Yasa!!!"

Sebastian membentaknya, satu tangannya menampar pipi si bocah, sementara sisa jemarinya mencengkeram bahunya kuat, tatapannya menusuk tepat di mata, membuat Yasa geming setelah dibentak dengan keras oleh ayahnya. Si bocah berhenti menangis, dua buah bola matanya menatap lantai dengan kosong, sedetik kemudian nyeri parah berdenyut di dada Sebastian.

"Yasa... Yasa. Maaf."

Bocah itu geming, tapi matanya kembali berair, ditatapnya wajah sang ayah yang penuh penyesalan. Pipi kirinya yang memerah karena Sebastian layangkan tamparan berhasil membuat pria itu diselimuti sesal.

"Aku cuma mau mami,"

Si bocah mengucap lirih dan Sebastian kembali merasa perih.

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Khansa jangan lari-lari, heh itu balonnya kenapa didudukin sih lo stress??"

Kalau ditanya siapa bapak-bapak yang kalau momong anaknya nggak ada adab, jawabannya ya sudah jelas Bapak Chandra, kepalanya sampai digetok si istri karena kalimat terakhir yang dilayangkannya.

Emang nggak ada adem-ademnya. Sementara Khansa yang turunan aktif dari gen ayahnya sedari tadi cuma lari-lari terus kerjaannya. Sebentar-bentar ke Tante Zeta, semenit kemudian melaju ke Om Bintang. Tapi kali ini, dia lebih memilih mendekat ke arah Yasa yang sedari tadi diam menatap kosong ke arah langit-langit.

"Kamu kenapa?"

Yasa menoleh sebentar, mendapati Khansa dengan balonnya yang kini menggelinding karena udaranya menipis dan balonnya jadi mengempis.

Khansa menjatuhkan tubuhnya pada karpet bulu yang terasa nyaman ketika beradu dengan kulitnya, Yasa masih belum menjawab pertanyaannya.

"Kak Yasa sedih ya?"

"Khansa."

"Iya?"

"Gimana rasanya punya mama?"

Khansa diam sebentar, matanya terpejam, berusaha berpikir supaya setidaknya mendapat gambaran gimana rasanya punya mama. Ya.. begitu.

"Seru! Mama ngajarin aku caranya baca, suka ngasih makanan enak. Tapi kadang aku dijewer sih..."

"Enak ya?"

Bocah itu mengangguk mantap. "Enak!"

Selama satu dekade kurang, Yasa nggak pernah merasakan gimana rasanya punya ibu. Gimana rasanya dipeluk karena drngar suara petir dan ketakutan. Gimana rasanya dimasakkan makanan kesukaan, gimana rasanya dirawat saat sakit dan diperhatikan. Yasa nggak pernah merasakan itu semua dari ibunya.

Satu-satunya yang pernah melakukannya cuma ayahnya, cuma dia yang pernah memeluk Yasa tatkala sedang sedih, tapi ayahnya juga terlalu sering meninggalkannya karena kesibukan pekerjaan. Cuma dia yang selalu membuat sarapan untuk Yasa, meski seringnya yang sederhana dan acap kali nggak ada rasanya. Cuma daddy yang merawatnya saat ia sakit, mengompres dahinya dan menunggunya di sisi ranjagngnya.

Cuma daddy, tapi Yasa juga butuh mami.

Bocah itu kerap kali melihat temannya yang dijemput ibu mereka sepulang sekolah, ditunggu dengan senyuman, kemudian berakhir dibelikan jajanan atau main sebentar. Yasa kerap kali melihat anak-anak seusianya diantar ibu mereka ke toko mainan, tapi Yasa selalu bersama ayahnya, dia nggak punya pengalaman seperti itu bersama maminya.

"Kakak nggak punya mama ya?"

"Enggak."

Khansa diam, sesekon kemudian pilih berlari ke ayahnya. Pertanyaan itu berhasil membuat perasaannya kembali berantakan. Atau barangkali bisa jadi, yang tadi itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan.

Pernyataan kalau ia nggak pernah punya mama. Pernyataan yang didukung dengan ayahnya yang selalu diam tiap kali Yasa menanyakan ibunya.

Bocah itu bangkit dari posisinya, menghampiri Tante Zeta yang sedang bercakap kecil dengan suaminya.

"Tante, mau nggak jadi mami aku?"

Yang ditanya malah kaget. "Hah, kamu kenapa sih? Random banget hari ini Sa."

Bintang tertawa melihat bocah itu, kini ia balik bertanya. "Lah ni bocil. Masa disuruh nikah sama bokap lo, mang napa sih?"

"Daddy selalu diam kalau ditanya soal mami, tadi dia marah... so i conclude by myself, is my mom dead?"

Barangkali, benar.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang