08: rumah seharusnya hangat

560 138 3
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Gimana hasilnya?"

Sebenarnya tanpa diberitahu pun Tama sudah tahu. Lewat rambut sedikit berantakan Jane, dari sorot matanya yang meredup dan kosong saat Tama menjelajahinya. Juga dari kantung mata yang jadi sedikit lebih bengkak dari seharusnya.

"Gue berhasil di tes wawancara, tapi yang lainnya..."

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, juga sekaligus meremat kertasnya hingga ia berubah kusut.

Jane mendengus, menatap apa pun di sekitarnya asal tidak bertatapan dengan netra hitam Tama, sebab tanpa diberi tahu, Jane sadar kalau si lelaki sedang tersenyum miring sekarang. Dan kata selanjutnya yang akan keluar dari mulutnya adalah... "Aneh, padahal udah gue palsuin dokumennya. Kok nggak lolos juga ya."

Ditambah lagi ia tertawa di ujung kalimatnya. Sungguh menyebalkan, Jane jadi meragukan keseriusan Tama dalam membantunya. "Lo nggak main-main kan soal bantuin gue?"

Tama menghela napasnya, mengambil alih kertas dari tangan Jane dan membacanya. "Ngapain gue main-main kalau sampai seserius ini. Lo tuh kurang-kurangin deh suuzonnya. Sama sepupu sendiri juga."

"Kan udah gue bilang, lagian mau lo secakep dan sepinter apa juga bakalan susah. Meskipun lo ganti kewarganegaraan juga hasilnya sama, mereka akan cari latar belakang dari siswanya. Seketat itu, Jane. Gue bukannya nggak mau bantu tapi ini udah di luar jangkauan gue. Sori deh, sori gue bukan Frank Abagnale yang gampang nipu orang."

Jane tersenyum sumir, dari senyumnya Tama bisa menafsirkannya jadi sebuah kalimat yang bunyinya, lo bener-bener nggak bisa bantuin gue ya?

Nggak bisa, Jane. Sori, Tama membatin menatap pada wajah hopeless milik si perempuan.

"Udah gue bilangin, balik ke Indonesia sono."

Tapi Jane geming, tangannya meremas pagar pembatas balkon dan membiarkan netranya untuk menangkap nabastala biru muda yang membentang luas di hadapannya. Nggak, masih ada. Mimpinya masih ada, dan Jane tidak akan membiarkannya mati seperti sebelumnya. Meski si sialan Tama di belakangnya meremehkan, Jane tidak akan kembali pulang. Tidak akan.

"Nyerah aja udah."

"Gue masih punya mimpi."

"Lo kebanyakan mimpi."

"Lo kebanyakan bacot."

"Anying," Tama mengumpat. Sehabis itu lanjut meminum kopinya yang sudah agak mendingin karena sempat ia abaikan.

"Kalau mama lo tanya soal lo gimana?"

"Jangan dikasih tahu."

"Jane lo tahu, gue nggak bisa selalu melindungi lo. Gue nggak selalu bisa ada di dekat lo, ini negara orang, dan lo perempuan."

"Tam, gue nggak pernah minta dilindungi, atau dijaga. Satu-satunya alasan gue ke mari adalah karena kita saudara. Kalau kehadiran gue di sini merepotkan ya udah, gue bisa pergi nanti. Tam, jangan menggeneralisasikan kalau semua perempuan itu lemah, percuma lo kuliah di luar kalau otak lo masih kolot dan nggak berkembang."

"Gue nggak maksud gitu, jangan aneh-aneh mikirnya. Tapi gimana mama lo, teman-teman lo, rumah, and everything you left behind?"

Jane geming. Memilih untuk tidak menjawabnya dan hanya menatap Tama sekilas. Gue selalu pengen baik-baik aja, tapi di antara kita semua yang dirusak orang-orang di sekitar kita, baik-baik saja itu cuma angan belaka.

Tama, gue juga pengen pulang. Tapi rumah seharusnya hangat kan?

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Ditemani lagu ballad yang mengalun dengan suara pelan serta angin yang menderu dan membawa dingin, malam itu dihabiskan Jane untuk menikmati secangkir coklat panas yang asapnya masih mengepul di udara dengan bebas. Sudah tengah malam sekarang, dan lewat dari jam sebelas, Jane masih belum bisa membuat matanya terpejam.

Malam sunyinya dihabiskan dengan terjaga, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi selanjutnya. Kebanyakan dari mereka cuma hal-hal buruk yang akhir-akhir ini merasuki kepalanya, sesuatu seperti, bagaimana kalau nanti ia merindukan anaknya? Bagaimana kalau suatu hari nanti ketika mereka bertemu, Yasa malah membenci ibunya?

Tapi Jane itu keras kepala sekali. Terhitung sudah ratusan kali Tama menyuruhnya untuk pulang, perempuan itu masih tetap kukuh dengan keputusannya sekarang.

Yah, mau gimana lagi. Dia orangnya keras kepala sekali.

Tama sudah pergi tidur bermenit-menit lalu selepas suara teleponnya dengan seorang wanita tidak lagi terdengar. Malam ini jelas sekali sepi, Jane hanya bisa mendengar suara daun yang bergesekan karena angin atau jam dinding yang tiap detiknya selalu berputar maju.

S

udah 6 bulan di pergi, dalam sudut hatinya, Jane merasa dia jadi orang paling jahat sedunia. Dia meninggalkan Sebastian, sendirian. Dia meninggalkan Yasa, jauh dari pengawasannya. Dia meninggalkan keluarga dan rumahnya.

Dia juga meninggalkan luka.

Tapi... Jane juga berhak bukan? Dua puluh tahun dia hidup di dunia, Jane selalu berusaha jadi orang yang isi kepalanya susah ditebak. Susah dicerna dan mudah diketahui manusia lainnya. Kata Disha Patel, ghosts are scary, deaths are scarier, but people are scariest.

Sebastian mungkin bisa menjelajah setengah dari isi kepalanya, tapi setengahnya lagi tidak ada yang mengetahuinya selain dirinya sendiri. Iya, serumit itu. Bahkan untuk dijelaskan dengan kata-kata, Jane tak akan mampu.

Lagunya sudah berhenti sejak tadi, Jane ingin mengulanginya kembali, tapi saat ia menjelajahi playlistnya, 2002 tersemat di sana.

Oh, lagu favorit Sebastian.

Lagi-lagi laki-laki itu muncul kembali di pikirannya. Mengetuk kepalanya tanpa permisi, membuat Jane semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Sedang apa dia sekarang? Apa saat laki-laki itu tahu kalau Jane pergi, dia jadi seperti orang gila? Apa laki-laki itu makan dengan benar? Apa Sebastian tidur dengan cukup? Bagaimana dengan kuliahnya di kampus?

Ah, Jane juga meninggalkan Yasa. Bagaimana keadaannya? Apa terus menangis setiap malam karena merindukan ibunya? Atau malah tidak merasa apa-apa karena ayahnya yang setelah ini akan terus menjaganya? Usianya masuk 7 bulan ya sekarang? Kalau begitu dia mulai gemar untuk menjatuhkan barang dan membuat rumah berantakan. Yasa juga sudah bisa merangkak belum ya? Sebastian pasti sangat kewalahan.

Ah, semakin dipikirkan, Jane semakin sadar.

Dia bukan ibu yang baik.

Malam itu bukan hanya dilewati dengan sunyi, sepi, atau suara jam dinding yang menyuruhnya agar cepat-cepat terlelap. Malam itu juga dilewati dengan lagu favorit Sebastian yang ia putar dengan ragu-ragu. Dengan perasaan bersalah yang terus-menerus tumbuh setiap detiknya. Dengan bayangan Sebastian juga Yasa. Dengan wajah-wajah yang tidak bisa ia kategorikan sebagai luka atau bahagia. Dengan mimpi-mimpinya yang berangsur pudar ketika Sebastian melewati garis mereka.

Dengan begitu hampa, saat melihat Sebastian tersenyum di hadapannya.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now