20: when we were young

599 129 8
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

ps: play the song in the mulmed ♡

Kata orang-orang, jadi dewasa itu melelahkan.

Dulu Sebastian kira, kalimat semacam itu cuma bualan belaka. Dia pikir saat dia dewasa, semuanya akan berjalan baik-baik saja sesuai keinginannya. Lulus tepat waktu, bekerja lalu menikah dan hidup bahagia. Tapi skenario semacam itu cuma ada di film saja kan?

Dia tidak punya akhir yang bahagia.

Katanya hidup adalah sebuah roda yang terus berputar, kadangkala lajunya lambat, kadangkala begitu cepat. Tapi bagaimana kalau roda itu nyaris tidak pernah berputar, seperti kehampaannya yang selalu terasa stagnan.

Tapi mereka salah. Nyatanya dari awal semenjak manusia diciptakan, hidup memang sudah melelahkan. Bagai lingkaran yang garisnya terus terhubung, penderitaan katanya adalah bentuk kasih sayang tak berujung. Kata sebagian orang, hidup adalah kutukan. Sebagian lagi bilang, hidup adalah hadiah dari Tuhan.

But, it's a gift?

Sebastian selalu merasa dia terjebak di sebuah labirin panjang tanpa jalan keluar. Berkelok dan tajam, dia beberapa kali terjatuh. Labirinnya gelap sekali, suram dan di penghujung jalan yang dia lewati, dia seperti sedang dinanti. Dinanti monster yang bersembunyi di balik kegalapan labirinnya yang begitu dalam, bersembunyi di balik ketakutan dan rangkaian kejadian-kejadian tidak menyenangkan.

Tapi dalam beberapa bagian, Sebastian merasa hangat. Cukup terang dan indah bagaikan sebuah konstelasi bintang. Tapi hal-hal semacam itu tidak cukup lama dirasakannya, hanya saat dia berada di dekat wanita itu, hanya saat ketika obsidiannya beradu pandang dengan nayanika coklat milik si perempuan.

Saat itu, hidup bukan sebuah kutukan.

"Mau kopi?"

Yang lebih pendek mengangguk, mengambil duduk di salah satu bangku sebelum akhirnya memejamkan matanya. Lima menit dia habiskan hanya untuk terdiam dan menunggu pria itu keluar sambil menenteng satu plastik belanjaan.

"Kamu beli bir kalengan?"

"Nggak, aku berhenti minum 7 tahun lalu."

Jane mengangguk kecil, membuka sekaleng kopi lantas meminumnya. Saat dia membuka mata, langit bagaikan kanvas hitam kelam yang cahayanya berpendar ke segala penjuru.

Seperti langit saat itu, seperti saat ia masih muda dulu. Ini mengingatkannya soal si pemuda yang pernah tiba-tiba masuk ke kamarnya dan menyerukan sebuah ide gila. Sekelebat memori itu terputar begitu saja di kepalanya, dia masih ingat senyum bodoh Sebastian kala itu, lebar sekali hingga nyaris seperti orang tolol. Lalu ingatan yang lain muncul satu per satu seperti sebuah adegan film, Sebastian menggendongnya saat kakinya terluka. Ada juga Sebastian dengan seragam SMA-nya yang kucel dan berantakan diakibatkan oleh sebuah perkelahian. Sebastian yang pernah membuatnya menyusuri Jakarta semalaman, Sebastian yang dihukum berlari di lapangan. Sebastian yang menciumnya tanpa aba-aba terlebih dahulu.

Sebastian 18 tahun.

Memori-memori itu menyenangkan untuk dikenang, tapi sebagian membuat perasaannya berantakan begitu menyadari kalau sekarang sudah sangat lama dari hal-hal yang ia pikirkan. Sudah berapa tahun? 11? 12? Sudah sangat lama, sialnya hal tersebut membuatnya kecewa.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now