19: like the old time

608 125 3
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Malam semakin larut saat Sebastian membiarkan udara dingin menusuk kulitnya. Desiran angin yang menyerangnya seakan menyuruh laki-laki itu kembali ke kamar perawatan anaknya, seolah memintanya untuk berjaga-jaga bilamana ia terbangun nantinya. Sejak satu jam silam dia terjebak dengan suara-suara di kepalanya yang terus bersahut-sahutan, ah seharusnya dia tidak terbawa emosi tadi.

Tian tahu, tidak seharusnya ia melampiaskan emosinya kepada wanita itu. Segala hal yang terjadi sekarang juga dampak dari perbuatannya di masa lalu. Tapi yang namanya penyesalan akan selalu datang belakangan.

Laki-laki itu termangu di bangku rumah sakit, duduk di area taman yang cahaya penerangannya begitu temaram. Bintang juga ikut memudar, berapa kali dia mengecek layar hpnya, cuma untuk melihat jam berapa sekarang. Sudah cukup lama Sebastian meninggalkan Jane sendirian. Sudah sangat lama jelasnya. Pria itu mengacak surainya, kepalanya menatap nanar pada langit yang begitu muram, senada dengan perasaannya yang berantakan.

Hah, jadi orang tua itu sulit ya. Jadi orang dewasa juga sama peliknya. Kenapa ya, rembulan jadi membuat dadanya diremat lara sekarang. Padahal dulu, ketika dia menatap langit, ketika dia menatap bulan, Sebastian selalu diingatkan soal nama belakang dari perempuan itu.

Selena.

Lalu pada satu detik kemudian Sebastian kembali menghela napasnya, merasa begitu lega saat menerima pesan dari Jane yang mengabarkan Yasa sudah baikan. Itu artinya waktu untuk merenung di sini sudah habis. Dia harus segera kembali ke ruang rawat Yasa, barangkali bocah itu mencarinya. Akan lebih merepotkan kalau Tian mengedepankan egonya dan kembali saat fajar tiba, bisa-bisa Yasa akan mendiamkannya seharian—nggak, bisa aja sebulan.

Tapi kepalanya terus-terusan memikirkan banyak hal, harus apa setelah ini, apa ia akan berakhir berpisah dengan wanita itu. Apa kalau kemungkinan buruk itu terjadi Yasa akan memilih tinggal bersama ibunya dan meninggalkannya. Sialan, satu per satu suara itu mulai membuatnya terluka, barangkali satu-satunya cara supaya dia tidak digerogoti sesak adalah meluruskan komunikasi. Tapi gimana caranya memulai sebuah konversasi?

Tapi bagaimana kalau-

Terlalu banyak tapi, terlalu banyak suara. Dia butuh distraksi. Rokok mungkin bisa membantu, tapi hal itu hanya akan membuatnya diusir dari ruang rawat Yasa gara-gara dua manusia yang ada di sana tidak suka bau tembakau.

Yah, lupakan. Semakin lama Sebastian bisa merasakan kepalanya meledak kalau suara-suara itu terus berdengung di kepalanya bak sebuah orkestra musik klasik. Bisa pikiran-pikiran tersebut membunuhnya lewat amunisi yang dia rancang sendiri.

Jadi besok, ketika semuanya berakhir tidak baik-baik saja dia harus apa?

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Yasa paling tidak suka bau rumah sakit, selain identik dengan kematian rumah sakit juga kerap dikaitkan dengan kehilangan. Dia juga tidak suka bau obat yang membuat paru-parunya terasa sesak, seperti dicekik dan bocah itu jadi tidak bisa bernapas.

Kali ini dia lebih tidak suka ditatap kecewa oleh ayahnya, setelah pintu diketuk dua kali dan laki-laki tinggi itu berdiri, Yasa tahu dia akan menemui kematiannya sendiri.

"Kenapa diminum?"

Kan benar!

Bocah itu meremat selimutnya, menatap bingung pada ibunya. Tapi perempuan itu hanya mengangkat alisnya, nggak tahi harus memberikan pembelaan seperti apa. Kali ini jurus andalannya keluar, sepasang bola mata penuh binar. Tapi semuanya nggak berdampak apa-apa di depan Sebastian Haidar. Tidak di depan ayahnya.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora