finale: merelakan dan sebuah plot twist

867 107 7
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

Kalau pagi-pagi begini biasanya diisi dengan suara televisi dan teko yang bising akibat uap yang dipaksa keluar dari ceret, maka pagi ini sedikit berbeda. Saat matahari belum terlalu tinggi dan udara pagi masih menyelimuti, saat sisa-sisa embun semalam masih membuat bumi merasakan kesejukan untuk kesekian kali, Jane dibuat kewalahan dengan suara tangisan yang beradu dengan teriakan nyalang. Bak sebuah orkestra panjang yang mengalun semalaman, anak kecil itu terus saja menangis seperti dunianya akan runtuh hari ini. Ketika dia sadar kalau koper-koper itu berarti harus pergi, Yasa tidak bisa untuk tidak melepas Tama barang sedetik saja.

Oh ya, barangkali dari kejadian kemarin saat dia menyuruh Tama untuk menemani Yasa ke taman hiburan, laki-laki itu telah membangun ikatan dengan si bocah yang cuma setinggi kakinya. Masalahnya justru pada hal itu. Kini Yasa sama sekali nggak mau lepas dan terus-menerus memeluk kaki Tama. Seperti anak koala yang terus menempel pada induknya.

Terhitung sudah tiga puluh menit dia menangis, dan dua jam lagi pesawat mereka akan berangkat. Kalau adegan ini terus dilakukan, sudah pasti tiketnya akan hangus dan melayang.

"Kamu mau ikut mommy apa Om Tama?" Jane memberi pertanyaan itu sekali lagi. Dipandanginya wajah memerah bak tomat karena menangis itu. Bukan cuma air matanya yang terus menetes, tapi ingusnya juga ijut luber. Dasar bocil.

"Kalau aku pulang Om Tama harus ikutttt!" Itu permintaan yang paling sering Tama dengar pagi ini.

"Yaelah bocil..."

Tama menukas lirih saat Yasa kembali mengulang histerianya. Dia sudah lelah dengan cara bocah itu memeluknya seakan-akan besok dia bisa mati dan menghilang dari dunia. Kalau bisa, Tama ingin sekali mengambil sebuah tali beserta lakban untuk memasukan bocah itu ke dalam taksi yang sedari tadi menunggu. Tapi sialannya hal nekat tersebut sama sekali nggak bisa ia lakukan kecuali kalau ia mau mendapat sebuah pukulan dari Sebastian. Padahal kalau dengan cara begitu semuanya akan selesai dalam hitungan detik saja.

"Nanti kita ke sini lagi ya? Om Tama juga mau pergi tuh sama pacarnya," ibunya memberi tawaran, tapi diam si bocah bukan berarti mengiyakan.

Jane berjongkok di depan Yasa, menyamakan tingginya di hadapan si bocah. Dia tahu di tahun-tahun seusianya perpisahan bukan hal yang mudah. Sekalipun dia harus terbiasa untuk itu, tapi barangkali untuk Yasa, malam itu begitu berharga. Ketika dia tidak punya siapa-siapa untuk diajak berjalan menyusuri dunia dari luar pintu dan jendela, Tama mengajaknya berlari dan memberinya hangat yang nyaman. Malam itu ketika dia pulang larut bersama Sebastian, ketika seharusnya dia melihat Yasa tertidur di kamarnya dengan selimut yang nyaman, dia melihat bagaimana bocah itu tertidur bersama Tama dengan begitu nyaman. Dengan sebuah selimut yang tidak cukup untuk mereka berdua hingga Tama harus rela kedinginan sepanjang malam.

Mungkin untuk Yasa, ketika Sebastian tidak ada. Tama itu sudah seperti ayah kedua. Hangat meski kadang menyebalkan dan mulutnya minta untuk dilakban.

"Nanti daddy beliin mainan ya? Anak ganteng gini masa nangis."

Sebastian harap kata-kata itu bisa jadi tawaran yang bagus untuk si bocah, tapi ternyata nggak. Bahkan dulu ketika Yasa pulang setelah menginap dari rumah Khansa, anak itu nggak menangis dan meraung dengan cara yang sama. Malam itu apa yang diberikan Tama untuk Yasa?

Tapi Yasa tak kunjung tersenyum. Ketika langit biru mudanya ditumpahi kelabu yang pucat, dia sama sekali tidak ingin tersenyum. Dia sudah punya banyak mainan, dia cuma butuh seseorang seperti Tama untuk diajak bermain. Ayahnya tentu terlalu sibuk untuk hal semacam ini.

Finding Mommy - Hunsoo ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora