14: kita manusia bukan tuhan

550 128 19
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Mau es krim."

Bocah itu menarik baju ayahnya, mengambil atensi dari laki-laki yang tengah sibuk berkutat dengan hpnya. Marco bilang tiga puluh menit lagi mereka harus bertemu di sebuah restoran di Brick Lane, tapi alih-alih menemukan restoran yang dimaksud laki-laki sinting itu, Tian malah kewalahan gara-gara ia nyaris tersesat.

Angin berhembus dari selatan, menerbangkan kelopak- kelopak bunga yang belum sepenuhnya mekar. Kuncup-kuncup bunga itu cantik, bahkan sebelum mekar. Tapi udara dingin yang memukulnya habis-habisan mampu membuat coatnya jadi setidak berguna huruf p di Raspberry.

Ini bahkan belum musim dingin.

Biaya naik taksi cukup mahal di sini, harga minumnya hanya sekitar 3 poundsterling, tapi saat Tian mengetahui kalau argometer taksi yang ditumpanginya menunjukkan harga 35 poundsterling ketika ia baru mencapai sepertiga perjalanan, Tian buru-buru lepas tangan.

Serius, dengan uang segitu jika dirupiahkan sama dengan uang jajan Yasa satu setengah bulan. Dan laki-laki itu jelas anti mengeluarkan uangnya untuk hal-hal seperti itu.

"Ini lumayan dingin, kamu mau es krim?"

Yasa mengangguk, menatap ayahnya dengan binar manis yang bernaung di mata coklat bulatnya. Sebastian menghela napas, masih berusaha membaca maps di hpnya.

"Nanti ya?"

"Oke."

Beruntung anak itu mau menurut, tapi setelah sekian menit Sebastian membaca mapsnya, dia dibuat frustasi gara-gara pertokoan yang mengelilinginya sama sekali nggak membantu untuk turut menemukan lokasi restoran itu. Serius, masa nggak ada di maps sih? Mengesampingkan rasa kesalnya, laki-laki itu lantas memilih untuk bertanya. Ada seorang pemuda dengan wajah asia yang tidak jauh di dekatnya. Tapi jelas, Tian tahu dia bukan orang Indonesia karena kulitnya yang kelewat putih.

"Excuse---"

"Kenapa?"

Oh, salah. Dia orang Indonesia ternyata.

Tian mau menanyakan kenapa laki-laki itubisa sangat peka, terkhusus bagaimana dia bisa mendengar percakapannya dengan Yasa ketika dua telinganya disumbat dengan earphone. Tapi mengingat kalau ia dikejar waktu, Sebastian langsung menanggapinya dengan seulas senyum dan mengutarakan pikirannya.

"Tahu restoran Cordon Blue di mana? Saya cari-cari di maps nggak ada."

Tama mengunyah peremennya, meremuknya di dalam mulut hingga butiran-butiran manis itu menyebar di seluruh lidahnya. Sejujurnya dia hampir telat menuju tempat kerjanya dan nggak ada keharusan untuk dia membantu ayah satu anak di sebelahnya. Tapi sedari tadi, anak kecil yang turut bersama laki-laki itu punya magnet kuat yang menariknya, dia mirip seseorang, mirip dengan foto abstrak yang foldernya hampir rusak di kepalanya. Entah siapa.

"Tahu, di maps emang nggak ada. Jalannya agak ribet, masuk ke gang-gang sempit."

Sebastian menghela napas, Tama agak kasian. pemuda itu sungguh tidak ingin membantu dan laki-laki satu anak itu juga sepertinya tahu Tama sedang bergegas menuju tempat kerjanya sekarang. Tapi bocah itu terus-terusan menatap gagang permennya, sepertinya ingin. Oh sialan dia benar-benar mirip dengan seseorang.

Akhirnya, mengesampingkan suara di kepalanya Tama membiarkan hati nuraninya mengendalikan skenario selanjutnya. Lagian terlambat sekali-kali tidak apa-apa kan?

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now