22: 18 tahun

631 111 9
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Ada banyak banget yang pengen aku bicarain sama kamu, soal suara-suara di kepalaku yang udah kayak benang kusut. Soal keraguanku sama diriku sendiri, soal Malang yang katanya pengen kamu jelajahi lebih jauh lagi. Soal kita yang nggak tahu habis ini harus ke mana. Tapi pas liat kamu kok bebanku jadi ilang semua ya?"

"Gombal."

Beruntung selembar lap piring itu nggak mendarat di muka Sebastian. Semenit lamanya dua buah tawa mengudara selayaknya ansambel harsa yang dipadukan matahari di penghujung sore. Hangat sekali.

"Mau keluar nggak?"

"Tumben ngajak keluar. Aku kirain kamu sibuk."

"Emang sibuk," perempuan itu menjawab tanpa menoleh, masih mengurus selusin piring yang baru selesai Sebastian cuci.

"Bentar, aku masih mau pacaran di sini sama kamu."

Pada sekon selanjutnya, tepat setelah Jane menyelesaikan piring terakhirnya. Dia dibuat menghela napas saat mendengar kata-kata Sebastian.

"Makin ke sini aku makin percaya kamu anak FIB bukan anak teknik."

"Fakultas ilmu budaya?"

"Fakultas ilmu buaya."

"Halah."

Selanjutnya, seperti sebuah jeda panjang yang dibiarkan untuk tetap ada, seperti momen-momen lambat yang artinya berhaga, Sebastian membiarkan sorenya serupa rekaman sebuah film lama. Jane ada di sana, membiarkan matahari menelisik lewat celah-celah jendela, dari balik ventilasi udara juga ruang-ruang sempit yang tidak teridentifikasi oleh mata.

Momen ini berharga, selanjutnya akan jadi memori di kepalanya saat sudah selesai masanya. Tapi saat ini, saat debu sekecil apapun berpartisipasi membentuk sebuah melodi dari lagu untuk filmnya, Sebastian tahu dia dipenuhi oleh harsa.

Penghujung hari, swastamita ada di langit barat daya seperti biasanya. Jingganya menyebar sampai ke sudut-sudut nabastala, cerah, cantik, tapi juga tidak bertahan lama. Seperti momen yang sedang di rekamnya.

"Jane."

"Ya?"

"Menurut kamu, kita 18 tahun itu kayak gimana?"

"Ini edisi lagi kangen jaman-jaman SMA ya?"

"Iya, soalnya ngapain juga kangen kamu kan orangnya ada sini."

"Jangan sampe panci gosong ini melayang ke muka lo ya Haidar."

Padahal aslinya senam jantung.

"Yasa udah 10 tahun, kalau mundur ke belakang lagi berarti 12 tahun yang lalu nggak sih?"

"Iya."

Si perempuan menghela, menatap kosong pada jendela yang menampakkan pemandangan jalan raya. Pada anak-anak Nyonya Matilda yang baru saja kelaur rumah, satu di antara mereka meluncurkan skateboard-nya beberapa lainnya bercengkerama. Waktu terus berjalan, dan ketika Jane sadar dia telah lama pergi dari dirinya sendiri, ada sesak yang mencoba untuk memenuhi paru-parunya hingga dia tidak bisa bernapas.

Waktu terus berjalan, manusia tumbuh dan membuat kenangan. Setiap momen yang diciptakan akan berakhir jadi kenangan, beberapa menyenangkan, beberapa lagi menyedihkan.

"Udah lama banget ya ternyata. Aku kepikiran kalau Jane 18 tahun liat Jane yang sekarang, dia bakal mikir gimana?"

"Dia bakal kepedean kenapa dia tetep cantik bahkan setelah 10 tahun lebih."

Jane tertawa, sedetik kemudian tersenyum patetik. "Mungkin, iya. Mungkin juga aku bakal digoblok-goblokin sama dia kenapa hancurin hidupku sendiri. Tapi yang kayak gini tuh emang udah lewat dan cuma bisa dijadiin pelajaran. Kalaupun emang nanti aku digoblok-goblokin sama diriku sendiri ya yaudah, itu bentuk penyesalan dia selama ini berarti."

Lalu dia menjeda kalimatnya.

"Bas, nyesel nggak?"

"Nyesel kenapa?"

"Nggak menikmati masa muda secara seharusnya. Dan malah mencari pembenaran dari sesuatu yang nggak bisa dibenarkan. Nggak menikmati masa muda dan malah merusaknya dengan alasan lo bisa aja besok udah mati."

"Nyesel, terlebih kalau inget Yasa. Aku nggak mau dia jadi kayak orang tuanya. Aku nggak mau suatu hari nanti, nggak akan ada orang yang bimbing dia jadi versi terbaik dari dirinya. Banyak orang yang berubah buruk because there is no one around to tell them what is right and wrong. Kita kayak gitu dulu, karena orangtua kita juga terlalu sibuk. Sampai-sampai lupa kalau punya anak."

"Kalau soal Yasa, nyesel nggak?"

"Nyesel gimana?"

"Ini benang kusut banget, so i hope you don't get me wrong, pernah mikir nggak, kalau aja malem itu nggak kejadian, kita bisa hidup lebih baik dan dapetin yang kita mau. Bisa aja kan, semuanya berjalan lancar?"

"Uhmm, pernah. Sejujurnya. Tapi kalau malam itu nggak kejadian, kita nggak akan kenal Yasa kan? Kalaupun kita nikah di tahun-tahun selanjutnya, apa Yasa itu masih tetap ada? Apa nggak terganti sama orang lain nantinya? Waktu sama takdirnya emang udah begitu jalannya, jadi ya meskipun kadang kalau diinget bikin sesek, at least i still have him by my side. Kalaupun untuk bisa kenal Adiyasa Haidar harus ada beberapa hal yang hilang dan dikorbankan, kayaknya aku masih akan tetap keras kepala buat mempertahankan dia. Orang lain boleh bilang nggak ada gunanya jadi single parent, nggak ada gunanya ngurus anak. Tapi Yasa itu alasanku buat tetap bernapas tiap hari. Mau senakal apapun dia, sebandel apapun Yasa, aku itu ayahnya. Laki-laki pertama yang dia kenal saat membuka mata."

Mereka pernah punya sebuah tembok invisibel nyata. Tembok yang kerap kali terpasang rapi pada bentala sendiri-sendiri.

"Yasa pasti seneng banget punya ayah kayak kamu."

"Dilihat-lihat dia lebih seneng deket sama kamu."

Lalu pada nabastala masing-masing, pada langit sore yang melukis warnanya dengan hangat, Sebastian menemukan langitnya kembali utuh. Temboknya bukan hanya rapuh tapi juga menghilang sangat jauh. Sekali lagi dia dibuat tersenyum.

"Mau pacaran sekarang?"

Si laki-laki terkekeh, menyambut tawaran itu dengan bahagia yang memuncak, tidak ada aba-aba tangannya langsung menggenggam milik si perempuan dengan erat. Seolah-olah tidak ingin melepas, "Ayo."

Awan berarak dengan lambat, kata sebagian orang itu justru terlalu cepat, durasinya bukannya terlalu lama. Katanya, terlalu cepat juga bisa terlihat begitu lambat. Payoda jingga adalah bagian dari bentala Sebastian Haidar, juga abu-abu yang acap kali berubah sendu. Tapi biru bukan warna yang pilu, biru bukan cuma satu, dia jelas tahu itu.

Langitnya bukan hanya abu-abu, dia baru tahu yang ini. Di antara keramaian juga aroma kopi yang terasa samar, hidupnya seperti sebuah jalan panjang. Ada bagian puzzle yang telah dia temukan untuk kembali dipasang, serupa sebuah film lama. Sebastian belum mendapat judulnya, tapi isinya sederhana. Tentang usia 18 tahun, langit biru dan seorang perempuan dengan seragam putih abu.

 Tentang usia 18 tahun, langit biru dan seorang perempuan dengan seragam putih abu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

cr:pinterest

Finding Mommy - Hunsoo ✔Where stories live. Discover now