9. Wisuda

10 2 0
                                    

Akhirnya.
Hari paling menyenangkan bagi seluruh mahasiswa.
Hari akhir penderitaan mereka yang memakan waktu empat tahun.

Hari kebebasan akhirnya sampai di depan mata.

Christaya lengkap dengan toga, batik mega mendung asal Cirebon, tataan rambut rapih, dan make up yang natural tapi tetap elegan sedang menuju ke dome megah untuk merayakan upacara kelulusan ini.

Lengkap bersama kedua orang tuanya yang rapih mengenakan batik, mereka tersenyum bangga atas pencapaian putrinya. IP yang bagus, bukan, ia sudah terhitung cum laude dengan IP 3.75

Di dalam mobil, Christaya sebenarnya menyimpan sedikit rasa kecewa. Drystan tidak bisa datang atau muncul hari ini, dia bilang dia akan meeting tentang merchandise selanjutnya yang proyeknya digarap perusahaan besar. Sangat sayang jika dilewatkan.

Awalnya Christaya meminta agar Howin menggantikannya tapi rupanya Howin ikut Drystan sebagai penerjemah.

Christaya harus memaklumi hal itu tapi tetap saja, ia merasa sedikit sedih. Memang beberapa kali ia teralih saat acara berlangsung.

Saat tarian traditional berlangsung, saat rektor membacakan pesan lucu, saat tali di topi Christaya dipindahkan dari kiri ke kanan, dan saat ia menerima map wisuda. Ia melewati itu semua dengan senyuman, tapi rasa kosong di hatinya tetap ada.

Sepanjang acara berlangsung, Christaya hanya diam memandangi tabung wisuda yang diselubungi kain beludru hitam. Tidak ada satupun yang mengajaknya berbicara. Maklum saja. Ia tidak pernah ikut organisasi, dan ia tidak berusaha mencari teman. Bukan tanpa alasan, itu karena dulu Christaya tidak boleh keluar, teman masuk rumah pun dibatasi.

Sekarang ia harus membayar semuanya. Lulus dengan IP tinggi memang membanggakan tapi rasa bahagia lulusnya tidak sebesar orang-orang pada umumnya. Mungkin mereka bahagia karena mereka berjuang bersama, sering kali tugas ditolak sampai stress berat, atau dosen yang membuat kepala mau pecah.

Tapi Christaya tidak mengalami itu semua, maka itu ia juga tidak mengalami kebahagiaan itu.

Setelah acara usai dan para hadirin sudah boleh pulang, Christaya beranjak, melewati orang-orang yang melakukan sesi foto entah bersama teman, pacar, orang tua, atau dosen.

"Anu, Christaya", panggil seseorang dari baliknya. Christaya segera berbalik, menatap ke teman sekelasnya, Welly. Welly ini tampan, tinggi semampai, dan memiliki ukiran macan di rambutnya yang bermodel seperti tentara.
Banyak mahasiswi yang menyukai dan bermimpi-mimpi untuk menjadi pacarnya. Selain tampan, ia juga pintar, masuk klub basket, dan ramah.

Wajah pria itu merah dengan bibir yang bergetar di bawah kumis tipisnya.

Wisudawati lain yang melewatinya berpekik dengan girang melihat anak tampan itu, pergi sambil menutup bibir malu. Tapi tidak bagi Christaya,

"Ya?", tanya Christaya dengan senyuman tipis dipaksakan. Pria tinggi yang nyaris setinggi Howin itu mengusap tengkuknya malu,

"Ah...gimana ya. Anu...I...Like you for such a long time"

"Oh ya?", tanya Christaya menaikan kedua alis sok terkejut. Welly mengangguk malu,

"Gue ada janji buat ga pacaran selama kuliah. Tapi karena kita lulus hari ini...", Welly mengusap tangannya malu, kemudian menatap ke Christaya, "Mau ga, jadi pacar gue?"

"Ditolak"

Tolakan mentah-mentah itu membuat mata Welly dan orang-orang yang lewat terbelalak kaget. Apakah ia gila menolak pria paling populer di kelas, bahkan angkatan?

"...hah?", hanya pekikan kecil yang bisa dikeluarkan mulut yang terbuka itu.

Christaya mengangguk mengonfirmasi, "Iya. Aku tolak",

Muted Comic Artist LoverWhere stories live. Discover now