10. Kenapa

9 2 0
                                    

Cahaya temaram dari chandelier menyorot ke makanan dan meja marmer mengkilat di bawahnya. Meja itu bisa menampung delapan orang, tapi malam ini hanya ditempati empat orang. Ditemani dengungan rendah aquarium ikan arwana yang menyala-nyala, keluarga itu makan dalam diam.

Sebenarnya bingung juga mengapa keluarga ini memilih untuk makan jam segini? Apa hanya agar ada alasan untuk mengajak Drystan?

Christaya yang duduk disebelah Drystan tidak bisa berhenti melirik kekasihnya. Bukannya apa, Raya duduk tepat di seberangnya. Meskipun meja marmernya besar dan panjang, jarak Drystan dan Raya hanya sekitar satu meter.

"Drystan, tolong gyoza", pinta Raya. Padahal piring berisi gyoza itu ada di depan Christaya dan tidak begitu jauh, tapi dia tetap meminta kekasih putrinya. Christaya lantas menurunkan alis dan melotot sedikit, seperti memperingati ibunya. Tapi di sisi lain Drystan langsung mengambil piring itu, memegang piring sembari menunggu ibu berdarah sunda itu mengambil tiga gyoza ayam dan udang.

Melihat ini Christaya menghela nafas membuang kekhawatirannya, tapi tetap saja dia masih takut kalau Drystan di tekan. Tinggal tunggu waktunya.

Christaya jelas memperhatikan Drystan yang sebenarnya kalem, memakan makanan khas Jepang itu dalam diam dan penuh dengan etika meja makan. Tegak, mulut ditutup, dan tidak bersuara saat mengunyah. Sangat berlawanan dengan Christaya.

Mulut gadis itu penuh dengan gyoza sampai pipinya menggembung, di pipinya ada daging yang menempel, dan suara mendecak kunyahan bisa didengar.

"Christaya, tolong manner meja makannya", tegur Raya pelan namun tegas. Perhatian yang lain langsung menuju ke Christaya yang berhenti mengunyah. Matanya membulat berkontak mata bergantian, bingung kenapa ia ditegur.

"Ha?", Christaya malah membuka mulutnya yang penuh makanan, membuat Christopher geram,

"Kamu ga malu Chris?! Itu Drystan makannya rapih tuh, tuh, bersih!", ucap Christopher lantang menunjuk-nunjuk Drystan. Piringnya tidak acak-acakan dengan kari seperti piring Christaya, nasinya juga tidak sampai tumpah ke meja.

"Masa kalah rapih sama cowok?", Christopher mulai membandingkan, memancing emosi Christaya,

"Lah kalo mau dibandingin sama Drystan mah aku berantakan kemana-mana", balasnya dongkol.

"Kamu-!", belum sempat Christopher memarahi Christaya, Raya sudah memotong dengan memberi pertanyaan besar ke sepasang kekasih yang tidak mereka ketahui itu,

"Kalian pulangnya malem banget ya. Apa jangan-jangan kalian pacaran?"

Jantung Christaya seperti mau loncat menembus langit-langit, ia sampai berhenti mengunyah. Kaget dengan pertanyaan itu, Christaya buru-buru menelan makanannya,

"Dia cuma nganterin Christaya pulang kerja lho", sela Christaya tanpa menyiratkan rasa malu. Awalnya ia ingin berbohong menolak tuduhan pacaran, tapi mengingat ia tidak pandai berbohong, ia mengalihkan saja.

"Kerja?", Christopher menurunkan satu alis, "Kok kamu ga kasih tau kalo kamu udah kerja?",

Whoops,
Christaya lupa.
Dia hanya menyeringai mengangkat dua jemari peace. Kemudian dengan bangga menceritakan,

"Hoiya dong orang sibuk! Aku hari itu lamar, besoknya langsung kerja. Jadi manager cateering. Lagian orang tuaku terlalu sibuk juga", ucap Christaya mengangkat dagu sombong. Mungkin karena Christopher dan Raya bekerja diperusahaan besar juga, mereka berpikir bahwa ia hanya menjadi supervisor cateering yang disandingkan dengan manager.

"Terus Drystan apa? Kokinya?", tanya Christopher lagi. Drystan menggeleng, menuliskan sesuatu di sketchbook yang dia gunakan untuk berkomunikasi. Ia menulis dengan cepat, kemudian mengangkatnya,

Muted Comic Artist LoverWhere stories live. Discover now