Comin' Home

79 11 1
                                    

Aku pulang.
 
 
Akhirnya, setelah hampir setahun berjuang, aku bisa meninggalkan rumah sakit ini. Kakiku sudah bisa kupakai berjalan. Hanya saja, dokter menyarankan atau lebih tepatnya memaksa supaya aku memakai kruk dulu. Hingga kakiku bisa berjalan dengan normal.
 
 
Dr. Jhon menepuk-nepuk pundakku selama aku memeluknya sambil mengucapkan terimakasih. Mrs. White menangis gembira melihat kesembuhanku. Sambil terus-menerus berujar, “Oh, Sayang. Kau memang istimewa.”
 
 
Aku berpamitan dengan beberapa perawat dan janitor rumah sakit yang selama hampir setahun menemaniku di sana.
 
Mom dan Dad serta Sabrina sudah menunggu di mobil. Aku memicingkan mata karena cahaya matahari yang menyilaukan. Tubuhku gemetar pelan.
 
Aku sangat takut.
 
Aku sangat takut pada masa depan.

Pada apa yang akan kuhadapi nanti. Semuanya sudah berubah mulai sekarang. Hidupku tidak akan normal lagi. Aku sudah menjadi Farah Stevenson yang lain.
 
Dengan sekuat tenaga kutahan semua rasa yang menakutkan ini kala memandang wajah-wajah orang yang kusayangi. Mereka telah berjuang dengan sekuat tenaga demi kesembuhanku. Aku tidak mungkin membuat mereka bersedih dengan kelemahanku.
 
Mata Sabrina sembab karena sepanjang hari menangisi penyesalannya. Oh, sahabatku terkasih, aku tidak akan pernah menyalahkanmu untuk semuanya. Ini adalah takdir. Takdir yang memang sudah seharusnya kujalani. Aku menyayangimu bagaikan saudariku. Hubungan ini bagaikan sudah melebihi kulit epidermis kita berdua. Aku tahu kau tidak akan pernah berniat menyakitiku.
 
Kami melewati Hamilton Street. Berbelok ke pemakaman umum di sepanjang Ott Street. Aku memandang ke luar jendela. Merenungi semuanya. Sabrina duduk di depan bersama Dad. Sedangkan Mom berusaha dengan keras untuk tidak menggangguku. Aku kemudian larut dalam lamunan.
 
Aku bisa saja menghuni pekuburan di sana. Mungkin saja Mom dan Dad sekarang sedang memandangi makamku. Dan Sabrina akan lari ke narkoba atau minum-minum karena rasa bersalah yang tidak berkesudahan. Tuhan masih berbaik hati untuk melindungiku dan orang-orang yang kusayangi.
 
 
Kami sampai di rumah. Bangunan klasik peninggalan leluhur ibu. Dengan halaman yang luas dan pepohonaan besar. Aku melihat semua tetangga sudah ada di sana. Ada tulisan ‘Selamat Datang’ yang besar terpampang di poster yang diikatkan pada dinding teras. Mereka tersenyum. Mereka terharu dan menulariku.
 
Mom membantuku untuk turun dari mobil dan Sabrina menggandengku menuju rumah. Aku membalas senyum mereka yang mengharukan. Semua teman-teman dan para handai taulan ada di sana. Mereka memeluk dan menciumku satu-persatu.
 
Butuh waktu lama untuk mengatur ritme jantungku. Tanganku gemetar dan kakiku seperti diganduli bebatuan besar saat kutatap pintu masuk yang berwarna putih dan berkaca patri itu.
 
Aku sudah pulang.
 
 
Masa kritis itu sudah lewat.
 
Di dalam rumah, kuedarkan pandangan. Menyadari dua orang yang tidak kutemukan di sana.
 
Jason. Pacarku yang bermata biru itu.
 
“Oh, Sayang, Jason tidak bisa datang. Atasannya tidak membolehkan kadet di pendidikan akhir untuk meninggalkan tugas.”

Seorang wanita paruh baya berpakaian elegan menghampiriku. Bola mata birunya memandangku dengan haru. Mrs. Ottis memelukku dengan sayang. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
 
Kemudian baru aku sadari, Jason tidak pernah mengunjungiku satu kalipun.
 
Aku merasa baik-baik saja.
 
Kemudian merana.
 
Mr. Kent, di mana kamu?
 
Aku merasa asing di sini.

***

Aku beranjak menaiki tangga menuju kamarku dengan perlahan. Dan menolak semua bantuan yang ada untuk mengantarku ke sana.

Aku butuh waktu. Perlu menyendiri. Terlalu banyak cinta di sana.
 
 
Dari sekian banyak orang yang datang, mengapa engkau tidak hadir di sana Mr. Kent?

Embusan udara yang dingin dan khas menerpa hidungku. Kamar ini masih sama. Mom berusaha begitu keras  menjaganya untukku. Dengan lelah aku berbaring di kamarku dan berdiam beberapa saat.

Ini begitu membuat frustasi.
Rasa hampa ini.
 
Kemudian aku bangkit dari tempat tidur. Beranjak menuju jendela. Ruangan ini terasa begitu sesak, hingga aku memutuskan untuk membuka jendela.
 
Angin berembus pelan ke dalam kamar. Menerpa wajahku membawa kedamaian. Sejak kapan? Sejak kapan aku kembali bisa menghidu udara dedaunan yang terbawa masuk dari pohon di depan jendelaku?
 
Aku memejamkan mata sambil berdiri di ambang jendela. Meresapi aroma kebebasan. Setelah berbulan-bulan terkurung di rumah sakit. Kubuka mata dengan perlahan. Mengedarkan pandang ke luar jendela. Ke arah halaman.
 
 
Melihat rerumputan yang dipotong dengan rapi. Petak-petak bunga milik Mom, pucuk-pucuk pohon sugar maple dan white oak yang tumbuh seiring umurku. Lalu ke arah beberapa pohon birch yang tumbuh berjajar rapi di seberang jalan.
 
Seketika aku membeku di ambang jendela. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
 
 
Dan ..., di sanalah dia.
 
 
 

 

Tubuhnya yang jangkung dan gagah berjalan menjauh dari rumahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tubuhnya yang jangkung dan gagah berjalan menjauh dari rumahku.

Mengapa aku hanya melihat kesedihan dan kesepian dari dirinya saat ini?

Ada apa, Mr. Kent?

Apa yang kau sedihkan?

Monster kesedihan apa yang hidup di dalam dirimu?

Kembalilah.

Kembalilah.

Aku membutuhkanmu.
 

LLG, July.

AFFAIR WITH MONSTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang