Part 7. A Nightmare

530 30 9
                                    


Mrs. Gloria White memiliki pribadi yang hangat. Tawanya yang ceria menulari diriku selama mengikuti sesi terapi dengan dokter Jhon.  Seringkali tubuhnya ikut berguncang ketika ia tertawa, menanggapi lelucon-lelucon yang dilemparkan oleh dokter tua itu.

Dokter Jhon berperawakan kurus dan tinggi. Rambutnya memutih dengan dahi botak hingga hampir  ke tengah kepala. Matanya yang biru dan cerdas tampak bersinar jenaka dari balik kacamatanya. Aku merasakan ikatan persahabatan yang lama dan kuat di antara keduanya. Terlihat dari cara mereka memanggil nama depan dengan santai setiap kali berbicara.

“Jadi, si tampan itu tidak menemanimu hari ini, eh?” celutuk dokter Jhon tiba-tiba, setelah tawa mereka berdua habis di udara. Aku mendongak heran, sementara Mrs. White hanya tertawa pelan.

“Maksud Anda, Mr. Kent?” tanyaku hendak meyakinkan.

Dr. Jhon tersenyum jenaka. Ia sedang sibuk memeriksa jahitan yang ada di belakang kepalaku. Titik di tempat aku dulu terbentur. Seketika aku meringis saat rasa sakit menjalar dari titik yang disentuh oleh ujung jarinya.

“Masih sakit?” tanyanya datar.

Aku mengangguk. Mrs. White memandangku dengan sayang. Ia bergerak mendekati dr. Jhon dan sigap membantu laki-laki itu. Hening seketika, hanya suara gunting dan alat-alat medis yang aku tak tahu apa namanya itu bergesekan di udara. Lalu suara berdenting, disusul ucapan oleh dr. Jhon.

“Nah, Miss. Stevenson, kondisi jahitanmu sempurna. Kau sudah jauh mengalami kemajuan. Mari kita mulai sesi terapinya.”

Aku mendengkus. Membayangkan rasa sakit yang harus kuhadapi setiap kali aku harus menggerakkan otot-otot tubuhku selama sesi terapi ini. Mrs. White berjalan ke belakang dan menyentuh bahuku dengan pelan. Wajahnya yang ceria mengulas sebentuk senyum paling hangat dan tulus, yang bisa kutemui hari ini.

“Jangan khawatir, Sayang. Kau akan bisa berjalan lagi. Kami di sini memastikan, bahwa hal itu akan terjadi padamu,” ucapnya pelan. Aku mendongak ke arahnya, ada kesungguhan di sana, meskipun aku melihat rasa cemas di mata biru dr. Jhon.

 
***

Sabrina muncul di kamarku pada sore hari, seperti yang dikatakan oleh Mr. Kent. Ia langsung memeluk tubuhku, seperti yang biasa dilakukannya dahulu setiap kami bertemu. Aku hanya bisa tersenyum pasrah di atas tempat tidur. Lalu dia mulai menangis.

“Maafkan aku …,” isaknya sedih, “seharusnya aku tidak ceroboh meninggalkan dompetku hari itu …. Harusnya aku ikut menemanimu masuk bukannya malah pergi bersama David ....”

David adalah pacar Sabrina.

Aku memandang langit-langit. Mendesah dan mencoba mengingat kembali peristiwa malam itu. Tetapi, kembali rasa sakit yang kudapatkan.

“Ah …,” erangku pelan tapi sanggup menggerakkan Sabrina untuk terbang kembali ke arahku.

“Ada yang sakit? Kau kenapa, Farah?” tanyanya panik hendak bergegas menekan bel untuk menanggil perawat. Namun segera kucegah.

“Oh, sudahlah, Sab. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” tukasku risih menerima semua perhatiannya. Sabrina mundur dan kembali duduk di sofa. Pipinya memerah, ia tampak malu dan salah tingkah.

AFFAIR WITH MONSTERWhere stories live. Discover now