Second Dwarf

30 4 0
                                    

Sosok itu tidak begitu ambil pusing. Baginya, bekas jeratan di lehernya hanya sebuah lekuk samar yang, walaupun hampir membuat urat nadi lehernya putus, tidak begitu signifikan dengan bahaya lain yàng lebih besar.

Well, you know, jika berurusan dengan sindikat narkoba, sama saja kau cari mati dengan mereka.

Jadi, Gayle yang otaknya sudah setengah waras karena pengaruh narkotika, mengesampingkan pria yang telah menggantungnya di dalam garasi rumah keluarganya, pada siang hari yang tenang (dan berjalan keluar lewat pintu depan seolah-olah tidak terjadi apa-apa).

"Kau mati, Dude! You're dead meat!" Teriak Josh di malam yang dingin pada pertengahan November.

"Hush! Diamlah!" bisik Gayle sambil mencengkeram mulut Josh dan menariknya ke dalam semak-semak.

"Aku tidak mau mati, Man! I'm done! You all alone!" bisik Josh sambil berlari ke dalam kegelapan hutan.

Gayle berseru tertahan.

"Chiken!" makinya pelan.

Uap tebal keluar dari mulut dan hidungnya. Terus-terang dia kedinginan. Tetapi, hasrat untuk mendapat uang yang lebih banyak untuk mengganti barang milik bandar yang telah tak sengaja hilang bersama Manak, membuatnya meneruskan niat untuk mengendap-endap di dalam kegelapan hutan.

Langkahnya menuju ke sebuah pondok kayu di kedalaman hutan. Kabarnya, si guru kimia itu menyimpan pundi-pundi emasnya di ruang bawah tanahnya yang gelap.

Rumor itu beredar di pasar gelap. Tetapi tidak seorangpun yang berani membuktikannya, kecuali sekelompok pemuda bodoh yang mabuk di malam hari dan nekat merampok guru itu di suatu malam tahun baru.

Keesokan harinya, merek ditemukan sedang mengerang-erang di tengah jalan dan hampir tertabrak truk. Kaki-kaki mereka penuh luka dan masing-masing menggeret sebuah perangkap beruang yang besar.

Salah-satu dari mereka harus menjalani operasi penyambungan urat saraf. Perangkap beruang itu hampir memutuskan pembuluh aorta dan vena di kakinya.

Guru kimia itu dimintainpertanggungjawabannya, tetapi kenyataan jika para pemuda mabuk itu memasuki properti tanpa ijin dari sang pemilik, maka laki-laki tampan luar biasa itu akhirnya lolos dari jerat hukum.

Setelah peristiwa itu, tidak ada seorangpun berniat menyusup ke dalam hutan, ke pondok guru kimia itu tanpa menelepon terlebih dahulu untuk datang.

Alexander Kent hidup damai di dalam pondok kayunya yang ada di tengah hutan.

***

Gayle berusaha berjalan dengan hati-hati. Namun, langkahnya tersaruk-saruk. Betisnya yang hanya ditutupi celana canvas selutut tergores-gores setiap dia melewati semak berduri.

Gayle menyumpah panjang-pendek.

Hatinya menjadi ciut ketika dia menyadari bahwa tidak ada satu suara pun yang menyambutnya di dalam kegelapan hutan itu.

Dia berhenti dan berusaha menajamkan telinganya. Tetapi, memang, daun telinganya tidak berbohong. Dia tidak menangkap satu suara pun, bahkan kerikan serangga malam.

Hening.

Gelap.

Dan mencekam.

Hatinya diliputi rasa takut yang tiba-tiba menyusup. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Dia berjala semakin cepat. Senter kecilnya mulai melemah sinarnya. Sementara kedalaman hutan semakin gelap.

Sesaat, dia menangkap desiran aneh di sampingnya. Tetapi segera diabaikannya.

Dia masih saja berusaha melewati padang semak-semak ketika sesuatu yang lunak dan berlendir mulai membelit kakinya.

Gayle berteriak terkejut. Sementara cengkeraman benda liut dan berlendir itu semakin kuat dan hampir mematahkan kakinya.

"Aaarrggh!!"

Dia mengarahkan senternya ke arah kaki dan berteriak berkali-kali ketika sepasang mata membalas ke arahnya.

Seekor piton berukuran sedang melilit di kakinya.

Gayle jatuh terlentang dan berusaha bernapas ketika merasakan kakinya hampir remuk dibelit binatang melata itu. Tetapi, jiwa nekadnya tidak terkalahkan.

Gayle berusaha memukul kepala binatang itu dengan sebuah batu di dekat tubuhnya berkali-kali. Binatang cerdik itu menghindar berkali-kali dan kepalanya melesat menyerang Gayle.

Gayle berteriak keras ketika taring piton itu menggigit lengannya yang melindungi wajahnya.

Tanpa berpkir panjang, Gayle balas menggigit kepala ular itu tepat di lehernya. Binatang itu mendesis dan menggeliat kesakitan sementara tangan-tangan Gayle mulai mencengkeram ujung ekor dan badannya.

Kemudian, ular itu diam tak bergerak setelah gigi-geligi Gayle hampir memutuskan leher binatang itu. Darah menghambur membasahi mulut Gayle. Dengan menyeringai, Gayle meludah dan menyingkirkan ular itu jauh-jauh. Dia merasakan sengatan sakit yang luar biasa dari bekas gigitan tak beracun tapi mampu merobek lengannya sedemikian rupa. Serta rasa remuk di betis kanannya.

Dia berusaha berdiri tetapi berkali-kali terjatuh. Setelah percobaan yang ke lima kali, dia baru bisa berdiri. Dengan terhuyung-huyung dia kembali berjalan.

Hatinya telah teguh.

Setelah sekian banyak hambatan, dia semakin yakin, jika guru kimia itu menyimpan harta yang begitu banyak dengan pengamanan sebanyak ini.

Dia menyeringai ketika kumpulan semak-semak Mountain Laurel mulai berjajar di kanan-kiri jalan setapak yang hanya cukup untuk satu mobil.

Dari sekian informasi yang dia kumpulkan, mengatakan jika jalan setapak itu Mountain Laurel itu adalah jalan untuk sampai ke pondok kayu guru kimia aneh itu.

"Ck, pria aneh. Ngapain dia nanam semak-semak ini segini banyaknya?" desis Gayle dengan heran.

Karena bulan November adalah buman waktunya bunga itu mekar, maka semak Mountain Laurel terlihat biasa saja.

Belum sampai di pertengahan jalan setapak menuju pondok, tiba-tiba Gayle berteriak begitu keras bersamaan dengan bunyi mengerikan dari besi yang mengatup dan mencengkeram kaki kirinya dengan kuat.

Gayle memaki dan berteriak berkali-kali. Rasa sakit yang begitu dahsyat menjalar dari tungkai kaki kirinya yang terasa hancur.

Dia merangkak dengan kesakitan, bingung harus berbuat apa untuk melepaskan rasa sakitnya. Dia meronta-ronta yang membuat kakinya bertambah sakit dan menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Tolong .... Tolong ...." erangnya lemah.

Air mata mulai bercucuran di pipinya bercampur dengan ingus dan liur serta tanah di mulutnya.

"Tolong aku! God! Tolong aku!" pekiknya di dalam hutan yang gelap dan gulita itu.

Suara keretak dan gilasan kerikil terdengar seiring dengan rangkakannya yang telah berhenti. Sepasang sepatu boot khas milik pemburu berhenti tepat di depan hidungnya.

"Well ..., well ..., well, lihat siapa yang datang berkunjung."

Suara mengekeh mengiringi kata-kata tadi. Begitu tenang, dalam dan mencekam tetapi senang.

Gayle mencoba mendongak untuk melihat siapa yang datang ke hadapannya. Dan seketika dia melenguh ketakutan ketika melihat siluet sesosok pria dengan senapan berburu tersampir santai di salah-satu pundaknya.

Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah di balik bayangan hoodie berburu dengan bulu-bulu serigala di tepian penutup kepalanya. Tetapi dari suara dan gesture tubuh itu, dia tau, dia telah melakukan kesalahan besar dengan datang ke sini.

"Mr. Smithson, harusnya kau menelepon dulu. Di mana tata kramamu?" Sosok itu berbisik senang.

Dari cahaya senternya yang jatuh dan remang-remang menimpa wajah yang ada di balik hoodie pemburu itu.

Sebuah senyum menawan dengan kilatan hazel keemasaan adalah hal terakhir yang diingat Gayle Smithson malam itu.

Sebelum popor senapan menghantam wajahnya.

To be continuid

LLG, 28 April 2022

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 28, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AFFAIR WITH MONSTERWhere stories live. Discover now