Bab 3

630 63 19
                                    

3. Kabar Gembira?

"ADA pesan dari Mas Gibran semalam untuk Non Mili," begitu panggilan Emilia jika di rumah. "Katanya, kalau Non nggak memperbaiki nilai di sekolah, Mas Gibran bakal kasih dokumen itu ke Ibu. Tapi Bibik nggak dikasih tahu, dokumen apa yang Mas Gibran maksud."

Bagai kena tampol di pagi buta. seperti itu yang Emilia rasakan. Dokumen itu adalah hasil catatan nilai dan kasus Emilia di sekolah. Saat berbicara dengan Bu Ratna, Gibran merasa malu dengan kelakuan Emilia. Apalagi Bu Ratna pernah menjadi wali kelasnya di SMA tersebut.

Ya, Gibran adalah bagian dari Alumni SMA Garuda dan siswa yang paling membanggakan di tahunnya. Dia juga pernah menjadi maskot di sekolah karena prestasinya. Tapi herannya, Gibran malah mendengar Emilia bertindak kebalikan dari sikapnya yang dulu. Bu Ratna juga mengatakan bahwa perilaku negatif Emilia dimulai ketika dia duduk di kelas sebelas. Gibran benar-benar merasa aneh, Emilia sudah seperti yang tidak dia kenal. Setahunya, Emilia tidak pernah menjadi siswi yang terbelakang di sekolah.

Mendadak ada keringat yang mengalir turun dari ujung kepala Emilia setelah Bu Jeni menyampaikan pesan itu, membeku dan merinding.

"Iya bik, makasih ya Bik, udah di kasih tahu..."

0o-dw-o0

"Rupanya Gibran yang satu ini cerdas juga," gumam Emilia ketika sudah berada di pemberhentian bus.

Cara Gibran menyampaikan pesan ancaman lewat Buk Jeni, berhasil membuat Emilia berpikir tujuh kali. Ujian kenaikan kelas bisa dihitung berapa minggu lagi dari sekarang. Jika Emilia masih tetap mempertahankan gengsinya-menolak untuk mengikuti ujian remidi dan membuat tugas tambahan, itu artinya dia harus lebih siap lagi menerima resiko dibanding saat Mamanya dipanggil ke sekolah. Seperti tidak naik kelas, misalnya.

"Ck!" decaknya, menghela nafas berat. "Gue harus gimana? Masak gue ngalah lagi, demi kepentingan Mama." Emilia tak henti menggerutu hingga bus menuju ke sekolahnya muncul dari arah selatan.

Bus itu sudah penuh, tapi mau tidak mau, Emilia harus naik ke dalam bus tersebut, dan terpaksa berdiri karena tidak ada satu orang pun yang mau memberinya tempat duduk dengan suka rela. Tapi ketika kakinya melangkah ke tengah,

EH? betapa kagetnya Emilia.

Cowok yang menghinanya di parkiran sekolah kemarin siang, sekarang berada tepat di depannya dengan jarak satu setengah meter, berdiri saling berhadapan, menatap satu sama lain.

Cowok songong itu, kan? Desis Emilia membatin, matanya melebar. Bisa-bisanya gue ketemu dia di sini.

Emilia memperhatikan cowok itu yang juga sedang menatapnya dengan headset berwarna putih yang terpasang di telinganya. Hinaannya kemarin langsung melintas di benak Emilia. Seketika dia jengkel. Rasanya ingin sekali membalas cowok itu di sini, dengan teriakan,

"EH, COWOK BELAGU! LO KIRA LO BOLEH NGEHINA ORANG SEMBARANGAN, HAH? PANTES AJA CEWEK LO MUTUSIN LO!"

Uh! Tapi tidak dilakukannya karena teringat perkataan Bella, supaya tidak menambah masalah lagi atas nama siswi SMA Garuda di kelas IPA. Katanya itu terdengar begitu buruk.

Emilia menghela nafas berat, menelan hasratnya. Dia terpaksa untuk segera mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Berbeda dengan cowok itu, dia masih memandang Emilia dengan tatapan dingin sedingin salju sambil menggenggam satu tali tas ranselnya yang digantung di pundak. Matanya mulai beralih dari Emilia ketika bus berhenti di pemberhentian berikutnya untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.

Belum sampai sepuluh menit, tiba-tiba ponsel Emilia bergetar di dalam saku seragamnya. Satu pesan Whatsapp dari Bella.

Sebuah foto.

DELUVIEWhere stories live. Discover now