Bab 16

352 34 11
                                    

16. Cerita-cerita

MATAHARI sore menggantung rendah di langit. Emilia membaringkan dirinya di tempat tidur begitu dia memasuki kamarnya. Emilia pulang dengan rasa tak keruan.

Bagaimana tidak, hari ini benar-benar hari yang tidak terduga. Terutama saat kehadiran Tama di kafe tadi. Mereka bilang, Noel tak sengaja melihat Tama sendirian masuk ke kafe, dan dia langsung mengajak cowok itu bergabung. Membuat Emilia benar-benar mati kutu, dia menjadi kaku dan banyak diam. Apalagi saat Tama menatapnya lama-sebelum Emilia kembali ke bangkunya.

Tama juga tampak termangu menatapnya. Apa dia ingat Emilia? Bukan ketika bola Emilia berlari kepadanya saat di stadion tadi, bukan juga ketika sama-sama telat ke sekolah tempo lalu dan dihukum bersama. Tapi saat mereka bertemu di Gramedia. Apa Tama ingat?

Atau itu hanya gede rasa yang Emilia punya saat ditatap Tama? Tatapan yang diiringi rasa ingin berkata sesuatu.

"Teman kita," Seru Bella kemudian, mengalihkan fokus cowok itu dari Emilia. "Tapi kita beda kelas."

"Oh!" seru Tama, dia kembali menatap Emilia.

Mereka kembali saling tatap, namun Emilia segera mengalihkan pandangannya dan mulai duduk di sebelah kiri Bara, juga agak berhadapan dengan Tama. Bagaimana Emilia tidak banyak diam, jika orang yang ia taksir ada di dekatnya, dan di sekeliling teman-temannya.

"Lo nggak mungkin kan, nggak tahu siapa dia?" timpal Mita iseng, membuat semuanya merasa lucu.

Emilia menghela tawa, agak anggun, yang dipaksakan. "Pertanyaan lo lucu!" tuturnya berusaha tenang, padahal jantungnya berdebar, berusaha supaya tidak salah tingkah.

"Gimana nggak tahu, kan dia yang penasaran banget-pengen tahu gimana tampang lo-waktu hari pertama lo ke sekolah."

Sialan lo Bel! Nggak usah dibahas juga kali. Gerutu Emilia dalam hati.

Emilia mengerutkan dahinya, memandang Tama dengan perasaan tak enak. Sedangkan Bara menukikkan sebelah alis matanya melirik Emilia. Cowok itu mungkin ingat, karena hari itu bersamaan dengan hari ketika Bara ngomong ke Emilia, bahwa ada orang di kelasnya yang membantunya dari pengejaran lalat-lalat betina di sekolah.

Namun Tama hanya mengembangkan senyum di wajahnya. Dia sedikit merasa tersanjung dengan perkataan Bella. Rendah hati tampak di wajahnya. Tapi itu hal yang wajar, semua orang di sekolah toh memang penasaran dengan dirinya, karena berstatus anak baru. Jadi, Tama memandang Emilia sekali lagi. Mata mereka kembali bertemu.

Tatapan itu, lagi-lagi menggelitik hati Emilia.

Sudah tiga kali, tiga kali Tama menatapnya intens. Anak Kepala Sekolah itu begitu tampan dan menarik di matanya. Rambutnya yang lurus, pendek, dan belah ke samping, membuat Emilia dapat melihat jelas wajah cowok itu sepenuhnya. Ingin rasanya tidak melepas pandang dari cowok itu. Tapi sayang, Emilia tak kuat untuk menatapnya lama-lama.

"Ya.. wajar sih," Seru Noel menimpali di sebelah Tama. "Karena beritanya ditulis-anak baru, anaknya Kepala Sekolah. Siapa yang nggak penasaran coba? Tapi berkat lo hadir di sekolah, Bara jadi bisa bernafas sedikit."

Emilia tersentak mendengar kalimat akhir Noel. Dia segera menundukkan pandangan sambil menyeruput es teh manisnya yang masih tersisa sedikit-sebelum dirinya dihujani tatapan kesal dengan tiga orang yang ada di sekelilingnya.

"Loh, emang sebelum gue hadir, Kapten Basket kita ini, nggak bisa nafas?" sahut Tama dengan wajah tertawa bercampur heran.

"Bisa, gue masih bisa nafas!" jawab Bara, rasa jengkelnya muncul pada Emilia. "Tapi sebelum lo hadir, gue hampir tak berkutik di sekolah karena ulah seseorang. Bahkan buat balas perlakuannya aja, gue nggak bisa," sambil melirik Emilia. "Ya kan, Mil?"

DELUVIEWhere stories live. Discover now