Bab 11

397 43 8
                                    

11. Masa Bodoh

LANGIT mengubah dirinya menjadi hitam, sedaritadi mata Emilia berulang kali melirik ke layar ponselnya, menunggu pesan dari Rado. Berharap sohib Kakaknya satu itu memberi informasi jadwal basket kepadanya. Namun sejak Rado pulang dari rumah mereka, Emilia tak kunjung menerima pesan apa pun dari cowok itu.

Emilia menghela nafas, dia merasa pesannya tadi tidaklah begitu penting bagi Rado. Dipikir sekali lagi, siapa dia di mata Rado? Adik temannya? Adik temannya yang bagaimana dulu? Menyapanya saja baru tadi, apa peduli Rado pada Emilia?

Ya sudahlah, ujung-ujungnya Emilia harus merelakannya. Jika tidak mendapatkan hari ini, besok masih bisa selama sohib Kakaknya itu menjadi pelatih basket di sekolahnya, Emilia masih punya banyak waktu untuk memintanya. Tidak harus hari ini.

Menjelang pukul tujuh, Emilia turun menuju meja makan. Masih, Emilia masih asyik dengan smartphone-nya. Kemudian duduk berhadapan dengan Mama dan Gibran.

Mama menatapnya tak percaya. Wanita tersebut sebenarnya tidak ingin lagi berdebat dengan anak perempuan satu-satunya itu, tapi karena ia menelpon dan menanyakan kabar Emilia kepada Bu Ratna di sekolah, mulut dan hatinya terasa gatal kalau tidak mengomeli Emilia.

"Mama dengar-kamu masuk di kelas paling akhir ya." Serunya menatap Emilia setelah menelan yang ia kunyah.

Emilia menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap Mama sebentar. "Mama tahu dari mana?" kemudian mengambil nasi ke atas piring.

"Dari Bu Ratna. Mama menghubunginya tadi siang,"

"Ooo.. trus?"

"Bukannya di sana semuanya bernasib sama dengan kamu?"

Emilia mengangguk, masih santai, tidak menatap Mama sedikit pun, dan semua penghuni sekolahnya juga tahu itu. Emilia bahkan tak peduli, dia malah menyuapi satu sendok makanan ke mulutnya dengan tak acuh.

"...itu artinya, semua yang ada di kelas itu penuh dengan anak-anak yang malas," sambung Mama, nada suaranya mulai menyindir Emilia.

"Maksud Mama-bodoh." Emilia meluruskan, mulai menatap Mama sambil menyuapi makanan satu sendok lagi ke dalam mulutnya.

"Iya," dia membenarkan. "Itu maksud Mama."

"Memangnya kenapa, kalau semua di kelas itu anak-anak yang bodoh?" sahut Emilia setelah makanannya hilang dari tenggorokannya yang dibantu dengan satu tegukan air minum. Emilia kembali menatap Mamanya kesal. Percakapan ini serasa mulai mengajaknya ribut.

"Apa kamu nggak malu-berada di kelas itu yang isinya anak bodoh semua? Kalau mama jadi kamu, mama pasti belajar sungguh-sungguh supaya tidak masuk kelas itu, melainkan masuk ke kelas unggul."

"Kalau aku jadi mama, aku nggak bakal ikut campur dalam urusan sekolah anaknya. Agar anaknya bisa memilih dan menjalankan perannya sebagai murid yang baik-sesuai dengan yang ia mau." Sahut Emilia segera. "Sekarang, malu juga tidak ada gunanya lagi. tapi mungkin aku malah malu jika ada di tengah-tengah mereka yang Mama kagumi itu."

Hal itu akan membuat Emilia semakin terlihat bodoh jika mendapatkan peringkat akhir lagi di kelas, karena Emilia tak akan pernah sudi untuk memahami pelajaran itu. Dan sekarang, matanya jauh lebih kesal menatap Mama. "Dan kalau aku mendapatkan peringkat akhir lagi di kelas itu, apa Mama nggak jauh lebih malu lagi kalau itu terjadi. Bisa-bisa mama menampar aku untuk yang kedua kalinya."

"Mil.." tegur Gibran, nada suara adiknya mulai terdengar tidak sopan, matanya tajam memukul Emilia.

Emilia menundukkan pandangannya segera. Dia merasa lebih patuh kepada Gibran. Gibran sudah sepeti sosok Ayah baginya. Sedangkan Mama langsung merasa tidak enak dengan kejadian itu. Tapi anehnya, wanita ini tidak merasa ikut campur dalam urusan Emilia di sekolah. Sebagai Ibu, dia merasa berhak seperti itu, apalagi dia telah merawat Emilia seorang diri sejak berpisah dengan suaminya.

DELUVIEWhere stories live. Discover now