Bab 23

322 31 7
                                    

23. Waktunya Tiba

MELIHAT seringai Bara yang tajam ke Emilia, membuat gadis itu merogoh ponselnya dari dalam saku seragam. Emilia tidak melihat ada panggilan atau pesan masuk dari cowok yang berdiri di depannya itu, dia pikir-Bara menghampirinya karena tidak mendapat balasan panggilan atau pesan darinya dikarenakan sibuk. Tapi ternyata tidak, Bara datang untuk menertawakannya karena kedapatan cemburu-melihat aksi konyol Tama dan Ratna barusan.

Emilia merututi Bara dengan pandangannya, kemudian dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku rok seragamnya sambil menunduk.

Sedangkan dia, melangkah mendekati Emilia, "Ternyata saingan lo banyak juga ya?" bisik Bara ke telinga Emilia, membuat gadis itu terkesiap karena kaget-tahu-tahu cowok itu sudah di sampingnya. "Nggak cuma Venny."

Emilia melotot, berpaling menatap kedua mata Bara karena ia menyebutkan nama mantannya. Bara tahu soal Venny?

Bara mengangkat kedua alismatanya seraya tersenyum manis-tapi itu lebih membuat Emilia jengkel.

"Fighting!" ucapnya, seraya mengepalkan tangan ke depan wajah Emilia, dan pergi begitu saja sambil bersiul.

"Iiih!" entak Emilia, menggigit gerahamnya.

Emilia tak tahu kapan dan di mana dia akan menuruti kemauan cowok itu, yang jelas, Emilia harus bersiap siaga dan mau menuruti kemauan Bara-seperti dia yang mau menuruti kemauan Emilia yang kemarin-kemarin.

0o-dw-o0

Pada jam mata pelajaran berikutnya, Kimia. Emilia juga melakukan hal yang sama dengan yang diterangkan Pak Vano. Dia memperhatikan pria itu dengan serius. Di papan tulis, Pak Vano menuliskan materi Sifat-sifat Larutan Elektrolit dan Larutan Non-elektrolit.

Otak Emilia terasa bagai spons yang diperas ketika mencoba memperhatikan tentang Perbandingan Harga Sifat Koligatif Larutan Elektrolit dengan Larutan Nonelektrolit yang disebut dengan Faktor Van't Hoff.

"Ya Allah, ini pelajaran apaan sih? Rumusnya-kayak cacing yang sedang ngeliat-liat di otak gue." keluh Emilia frustasi.

Tetapi ia cepat-cepat membuang keluhannya. Demi harga diri, demi pembuktian, pada diri sendiri dan orang lain, khususnya-pada Tama. Dia harus belajar dan menerima materi apapun yang disuguhkan guru-guru di kelas tersebut. Sekali lagi, demi harga diri! Seharusnya Emilia melakukannya dari dulu.

Pada akhir pelajaran berikutnya, Emilia menghembuskan nafas panjang. Otaknya perlu oksigen dan refreshing, padahal ia baru saja memulainya.

Seminggu berlalu, upaya Emilia untuk fokus dalam belajar merupakan beban kedua baginya-memperhatikan guru menerangkan di kelas, mengerjakan latihan yang diberikan guru, dan mengulang pelajaran di rumah. Lantas, beban itu bertambah ketika Bara mulai menghubunginya. Satu pesan masuk melalui Short Message Service setelah tiga pulu menit waktu sholat ashar berlalu-menjelang Emilia hendak tidur-tiduran di atas ranjangnya.

Lo nggak lupakan, kalau hari ini ada jadwal latihan basket?

"Iiiya-gue lupa," gumam Emilia setelah membaca pesan itu. "Tapi gue malas datang." lanjutnya, karena Emilia tidak suka ada orang yang tahu-dia suka sama Tama.

Apalagi orang itu Bara. Dengan tak peduli, Emilia meletakkan ponselnya kembali ke atas meja lampu yang ada di samping kasurnya.

"Pura-pura nggak baca aja deh. Nggak penting juga."

Namun selang waktu dua menit, ponselnya berbunyi sekali lagi. Emilia kembali melihat dan membaca pesan kedua dari Bara.

Jangan bilang, lo pura-pura nggak baca pesan gue?!

DELUVIEWhere stories live. Discover now