19. The Queen

962 110 12
                                    

Plak!

Suara itu menggema di lorong yang sepi. Hanya ada satu atau dua pelayan yang hendak lewat namun, berhenti tepat setelah mereka menyaksikan perkelahian yang entah sudah keberapa kalinya terjadi di rumah besar itu. Mereka memilih melipir dan pergu dari sana. Mungkin berputar melalui koridor lainnya.

"Memang benar, kan?" Suara cempreng itu membentak sekaligus menyindir perempuan yang berdiri di depannya.

Sementara yang disindir masih menatap tajam wanita itu dengan telapak tangan yang mungkin memerah karena tamparan yang dia layangkan barusan. Peduli setan dengan pemilik rumah semegah istana ini. Dia hanya mau meluapkan kemarahannya pada wanita yang berkali-kali menyenggol martabat dan harga dirinya.

"Apa?! Tidak bisa menjawab, kan?! Itu artinya aku benar! Kau adalah jalang! Jalang yang dibawa pulang oleh suamiku!" Wanita itu berujar kembali.

"Apa?! Tidak bisa menjawab, kan?! Itu artinya aku benar! Kau adalah jalang! Jalang yang dibawa pulang oleh suamiku!" Wanita itu berujar kembali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata hijau itu beradu dengan mata biru sebiru langit di depannya. Mereka masih saling tatap sampai pelayan memanggil wanita bermata hijau itu untuk ikut bersamanya.

"My lady, madam memanggil anda," Ujar pelayan itu.

Wanita bermata hijau itu berjalan menjauh. Sementara yang ditinggalkan masih merasa kesal bukan main.

"Dia pikir aku mau apa dibawa kesini?! Kalau dia tidak mengambil kalung milikku, aku pasti sudah pulang ke Kanzpia! Sialan memang wanita itu! Dia yang jalang tapi meneriakiku jalang," Gerutunya.

Dia berjalan menuju ke sayap kanan rumah atau bisa dia katakan istana? Ah... Mansion lebih tepat. Istana di Kanzpia masih lebih besar. Kaki jenjangnya berjalan menuju ke sebuah ruangan di ujung bangunan itu.

Tok! Tok!

Tak butuh waktu lama sampai pintu di depannya terbuka.

"Ada apa nona?" Tanya pria di depannya.

"Apa kau sibuk?"

"Tidak,"

"Temani aku ke kota,"

"Kalau-kalau kau lupa, manor-ku adalah sebuah kota juga,"

"Ish! Bukan manor keluargamu tuan Justin! Tapi pusat kota,"

"Mau apa kita kesana?"

Mata biru itu memutar malas. Haruskah dia ingatkan pada pria di depannya ini yang sialnya tampan dengan mata cokelat terang miliknya, siapa dirinya?

"Baiklah-baiklah. Kita ke pusat kota. Apa aku harus bersiap juga? Mungkin memakai sesuatu agar tampak seperti saat aku di Kanzpia?"

[KS#2] The SixthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang