7. Simbiosis Mutualisme

81 2 1
                                    


Tanpa sengaja, Lita melihat Raline masuk ke dapur dan membuka lemari es. Tidak lama kemudian, sahabatnya itu kembali pergi ke luar dengan terburu-buru. Lita yang merasa penasaran mengikuti gadis itu hingga beberapa meter dari pintu pagar rumah kos mereka. Dia melihat Raline masuk ke dalam sebuah mobil dan duduk bersebelahan dengan seorang lelaki yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Raline memang mengambil es batu yang diminta oleh Arya untuk mengompres luka lebamnya. Bagaimanapun juga dia tetap merasa bersalah karena telah melibatkan dokter itu dalam masalahnya. Walaupun sebenarnya dia juga penasaran mengapa Arya ada di sekitar taman itu tadi.

Cukup lama Raline menunggu Arya mengompres lukanya hingga es mulai mencair dan menetes membasahi celana.

"Apa perlu saya ambilkan es batunya lagi, Pak?" tanya Raline.

Arya mulai melepaskan kantong berisi sisa-sisa es batu itu dan menaruhnya di bawah. Dia bercermin pada kaca spion dalam untuk melihat seberapa parah lukanya.

"Sudah cukup. Terima kasih," jawab Arya sambil memakai kembali kacamatanya.

Suasana kembali hening. Sejujurnya Raline ingin sekali segera keluar dari mobil Arya karena khawatir ada orang yang melihat mereka berduaan seperti itu. Sedangkan Arya ingin terus menahan Raline, tapi tidak tahu harus berkata apa.

"Pak ...."

"Raline ...."

"Silakan Pak Arya lebih dulu!" ucap Raline dengan sedikit canggung. Arya mengubah posisinya agar bisa berbicara dengan berhadapan dengan Raline.

"Raline, bisakah kita ngobrol lebih santai?"

"Maksud Pak Arya?"

"Ya, misalnya pakai aku-kamu atau gak perlu bahasa yang terlalu baku."

"Tapi 'kan Pak Arya itu orang tua siswa saya, Pak. Mana berani saya pakai aku-kamu, tidak sopan."

"Kemarin-kemarin bisa, waktu kamu nangis di taman itu. Tadi juga bisa waktu kamu lagi khawatir sama aku. Anggap aja kita memang teman SMA."

Raline menoleh dan menatap mata elang milik Arya yang sejak tadi terus memandangnya. Gadis itu kembali mengenang masa SMA yang terasa kelabu. Dia ingat, dia memang pernah mengidolakan seorang Arya yang ketika itu lebih populer dibandingkan Ketua OSIS. Arya yang tampan dengan dua lesung pipi, pintar, dan selalu bersikap dingin pada gadis-gadis yang berusaha menarik perhatiannya. Akan tetapi, perasaan itu mati-matian dia kubur karena menurutnya lelaki itu tidak mungkin sedikit pun akan meliriknya.

Jantung Arya kembali berdetak lebih kencang saat mata keduanya bertemu. Ada sedikit rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya ketika dia pun kembali mengingat masa SMA-nya.

Hari itu saat pelaksanaan MOS, ada seorang anak kelas satu yang jatuh pingsan ketika sedang upacara. Arya sebagai Ketua PMR dan beberapa temannya segera membawa gadis itu menuju ke ruang PMR. Dia memperhatikan wajahnya, wajah putih yang memerah karena terlalu lama berada di bawah sinar matahari serta tahi lalat yang ada di dagu kanannya. Selang beberapa waktu kemudian, Arya tahu bahwa gadis itu bernama Anjani. Namun, dia tidak pernah berani berinteraksi dengannya, hanya mengamati dari kejauhan. Kini dia sadar bahwa gadis itu sedang berada di hadapannya.

"Kita hanya sekolah di SMA yang sama dan mengikuti ekskul yang sama juga, tapi tidak pernah berteman. Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya izin keluar, Pak."

Clek! Arya mengunci semua pintu mobilnya dan membuat Raline menjadi sedikit ketakutan.

"Ayo, kita jalin simbiosis mutualisme!" ucap Arya tanpa basa basi lagi.

"Simbiosis mutualisme? Maksud Pak Arya apa?" tanya Raline heran. Dia tidak mengerti dengan ajakan Arya yang menurutnya benar-benar tidak masuk akal.

"Kita menikah saja!"

"Apa?!"

Raline mengerutkan dahinya dan berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya.

"Tidak mungkin, ini pasti salah dengar!" tegasnya dalam hati.

"Aku ingin bebas dari Imelda dan mencari ibu sambung untuk Tasya. Sedangkan kamu mungkin juga perlu perlindungan dari mantan kamu itu 'kan?"

"Maksud Pak Arya kita nikah kontrak? Itu haram, Pak!"

Arya menepuk dahinya sendiri. Dia heran kenapa sebagian besar perempuan itu suka sekali membuat kesimpulan sendiri.

"Memangnya ada kata-kata kayak gitu? Ya, kita nikah, jalani saja tanpa kontrak apa-apa."

"Tapi, saya gak cinta sama Pak Arya!"

"Aku tahu, kamu pasti masih cinta sama mantan pacar kamu itu. Dan aku sendiri juga menyukai orang lain."

"Gak usah nyebut-nyebut mantan pacar, bisa?"

"Loh! Memang pada kenyataannya mantan pacar 'kan, belum sempat jadi suami."

Benar, Ivan memang belum sempat menjadi suami Raline. Dia sangat mensyukuri hal itu karena pasti akan lebih menyakitkan bila mereka sudah terlanjur menikah. Akan tetapi, baginya simbiosis mutualisme yang ditawarkan oleh Arya juga bukan ide yang baik.

"Kalau Pak Arya cinta sama orang lain kenapa gak nikah aja sama dia?" tanya Raline yang penasaran dengan ungkapan Arya tadi.

"Dia udah jadi istri orang lain!" jawab Arya sambil mengalihkan pandangannya. Hatinya kembali terasa sakit ketika harus mengingat Kharisma.

Raline mengambil sebuah kesimpulan bahwa Arya pun sebenarnya sedang patah hati, sama seperti dirinya. Kemudian dia teringat kembali pada kejadian saat bertemu dengan Imelda serta bagaimana saat Tasya memeluknya erat. Raline yakin sekali kalau perempuan yang dicintai Arya saat ini bukanlah mantan istrinya itu.

"Lalu keuntungan apa lagi yang bisa saya dapatkan?" tanya Raline lagi.

"Keluarga. Aku yakin ibuku, adikku dan Tasya pasti akan sangat senang kalau kita nikah."

Jika Raline ditanya, apa impian terbesarnya di dunia ini maka dia akan menjawab bahwa dirinya ingin memiliki sebuah keluarga yang utuh. Orang tua, saudara kandung, suami, dan anak-anak, itulah yang sangat diinginkannya karena dia pernah kehilangan keluarga asalnya. Kini Arya menawarkan impian itu menjadi sebuah kenyataan.

Dokter itu melirik arlojinya dan ternyata ini sudah hampir mendekati jam malam batas rumah kos tersebut. Pada pukul 22.00 pintu gerbangnya akan ditutup dan Raline harus segera masuk.

"Aku kasih waktu tiga hari buat mikir. Tapi, jangan sampai kamu lupa mandi, makan, salat bahkan lupa ngajar. Aku yakin anak-anakmu di sekolah sangat rindu ibu guru mereka," ujar Arya untuk sedikit mencairkan suasana yang sejak tadi terasa canggung baginya.

"Jadi Tasya yang lapor?"

Ah, Arya keceplosan! Perkataannya membuat Raline mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya. Ternyata, Arya memang sengaja ke taman itu untuk mencarinya karena tahu bahwa dia sudah dua hari tidak mengajar.

"Pulanglah! Tiga hari lagi aku akan datang buat nagih jawaban kamu. Jangan lupa pesanku tadi ya!"

Arya membuka kunci dan keluar dari mobilnya. Dia berjalan ke sisi pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Raline. Untuk kedua kalinya, Arya memberikan perhatian kecil seperti itu padanya. Lelaki berlesung pipi itu mengantarkan Raline hingga mendekati pintu pagar dan memastikan dia masuk.

Lita yang sebelumnya sudah melihat Raline akan datang, segera berlari ke dalam.

"Raline, kamu dari mana?" tanya Lita pura-pura.

***


TERJERAT CINTA DOKTER DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang