10. Risiko

47 0 0
                                    

“Ketika dua orang yang sama-sama patah hati menikah, maka keduanya akan menanggung risiko menjadi pelarian saja.”

- Raline Anjani -

Saat sampai di kamar, Raline langsung melepas hijab lalu melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya benar-benar kacau hingga dia melewatkan jam makan siangnya tadi. Perutnya mulai terasa perih, sepertinya penyakit maag-nya mulai kambuh.

Raline mencari obat maag yang biasa dia konsumsi yang selalu ada dalam tasnya. Dia meminum obat itu langsung dua sendok takar sekaligus. Setelah itu dia membuka ponsel yang sudah berjam-jam ada di tasnya. Gadis itu kaget, ada beberapa panggilan yang tidak terjawab dan pesan yang dikirimkan oleh Ivan. Dia mulai membuka satu per satu pesan itu.

[Raline, maaf aku membuatmu kecewa. Aku memang salah dan akan bertanggung jawab untuk menikahi Lita. Tapi kamu harus tahu bahwa aku hanya mencintai kamu.]

[Raline, boleh kita ketemu siang ini? Mungkin untuk yang terakhir. Aku jemput kamu ya?]

[Apa kamu masih di dalam? Aku nunggu di parkiran.]

Tidak ada satu pun pesan Ivan yang sempat dibalas oleh Raline karena dia memang baru membacanya setelah perpisahan itu terjadi. Perpisahan yang membuat hatinya semakin sakit akibat tuduhan Ivan dengan kata-katanya yang begitu menusuk. Ingin rasanya dia memaafkan Ivan, tetapi tetap saja lelaki itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan Lita. 

Bulir bening kembali menetes dari kedua ujung matanya. Impian yang sempat dia tulis untuk diwujudkan bersama dengan Ivan terpaksa harus disobek. Kini sudah tidak ada lagi harapan. Selama ini Raline telah berusaha menjaga pergaulan dari lawan jenis, rasanya tidak adil bila dia dikhianati seperti itu. Raline tidak mau menikah dengan seorang pezina.

***

“Bang, mau buburnya komplit satu ya,” pinta Arya pada seorang pedagang bubur ayam. Kemudian dia duduk di atas sebuah bangku menghadap ke arah taman yang mulai ramai. Sejak pukul 07.00 tadi dia sudah berangkat dari rumahnya dan belum sempat sarapan. Dia sengaja buru-buru berangkat sebelum Tasya menyadarinya pergi keluar rumah di hari Minggu. Biasanya di akhir pekan, Arya hanya akan berdiam diri di rumah untuk menyempatkan diri menemani putrinya bermain atau menghabiskan waktu membaca buku.

“Mau pakai sate usus juga ya, Bang,” pinta Arya lagi. Pedagang itu hanya memberikan jempolnya pada Arya. Ketika pedagang bubur itu hendak membuka kaleng kerupuk, ada seorang gadis yang menghampiri gerobaknya dan langsung mengambil sate usus yang hanya tersisa satu tusuk lagi.

“Bang, ini satenya satu lagi buat saya ya. Buburnya mau satu mangkuk, tapi gak usah pakai bawang goreng dan seledri,” kata gadis itu sambil menaruh tusuk sate pada sebuah mangkuk kosong.

“Yah, Mbak. Maaf tadi duluan si Mas yang duduk di sana,” jawab pedagang bubur itu. Dengan berat hati, Raline menyodorkan kembali sate usus itu.

“Ya sudah gak apa-apa, Bang. Buburnya pakai semua, kecuali bawang dan seledri ya,” sahut Raline mengulang pesanannya.

Arya bangkit dari bangkunya dan menghampiri pedagang bubur itu. “Udah jadi, Bang?” tanyanya.

Ketika dia hendak mengambil mangkuk bubur pesanannya, Arya terkejut melihat Raline yang berdiri di sebelah kiri pedagang bubur itu.

“Raline, kamu mau sarapan bubur juga?”

Gadis itu menoleh karena merasa kenal dengan suara yang menyebut namanya. Tiba-tiba jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat melihat wajah Arya.

“I-iya, Pak,” jawab Raline tergagap dengan memasang senyum terpaksa.

“Ini punya si Mas dan ini punya si Mbak,” kata pedagang bubur sambil memberikan mangkuk pada Arya dan Raline. Keduanya menerima mangkuk itu dan mencari tempat duduk yang kosong. Sayangnya, semua bangku sudah ada yang mengisi, termasuk bangku yang tadi sempat diduduki Arya. Bubur ayam yang biasa mangkal di sekitar taman ini memang selalu ramai bahkan kadang harus mengantri untuk membelinya karena rasanya yang terkenal enak.

TERJERAT CINTA DOKTER DUDAWhere stories live. Discover now