9. Pelarian

53 0 0
                                    

“Terima kasih telah menjaga jodoh saya dengan baik, membuatnya tetap suci dan tidak tersentuh.”
- Arya Herlambang -

Sudah lebih dari tiga puluh menit Lita menunggu sambil sesekali memeriksa notifikasi pada ponselnya. Kadang dia memutar-mutar sedotan yang berdiri di atas gelas berisi jus alpukat yang tersisa setengahnya lagi. Lita merasa sedikit gugup karena setelah kejadian dia menampar Ivan waktu itu, baru kali ini lelaki itu memintanya bertemu kembali.

“Hai, udah nunggu lama, Ta?” tanya Ivan yang baru saja tiba dan langsung duduk di hadapan Lita.

“Gak terlalu sih,” bohongnya. “Kamu mau pesan minum, Van?”

“Gak usah, Ta. Takut nanti dipakai nyiram sama kamu!”

Lita merasa malu mendengar sindiran Ivan. Kemarin dia yang marah, tapi dia sendiri yang meminta maaf dengan terpaksa agar Ivan mau bertanggung jawab. Ivan mengeluarkan ponselnya untuk melihat apakah pesan-pesan yang dia kirimkan pada Raline sudah dibaca atau belum. Sayangnya, Raline belum membuka pesan itu karena pada keterangannya terakhir masuk aplikasi tersebut sekitar dua jam yang lalu.

“Van, gimana hubungan kamu sama Raline?”

“Seperti yang kamu lihat ‘kan waktu itu, dia marah dan ini semua karena kebodohan kamu! Dia minta aku nikah sama kamu. Mungkin aku gak punya harapan lagi.”

Dalam hati, Lita ingin sekali memaki-maki Ivan dan mengutuki kebodohannya sendiri karena tergoda dengan rayuan lelaki itu. Namun, nasi telah menjadi bubur, Lita harus menanggung akibatnya dan semakin menurunkan harga dirinya.

“Ya, memang sepantasnya kamu tanggung jawab. Aku beneran hamil dan ini anak kamu. Aku gak pernah berhubungan intim sama lelaki lain, Van!” Lita memelankan suaranya agar orang-orang di sekitar mereka tidak mendengar ucapannya.

“Aku mau menikahi kamu, tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

"Setelah menikah nanti, kamu harus bersedia merawat ibuku dan bersikap baik padanya."
Ada satu kelebihan yang Ivan miliki yaitu dia sangat menyayangi ibunya. Ayahnya telah lama meninggal dan Ivan adalah anak tunggal. Ibunya memiliki riwayat penyakit jantung dan rutin berobat sebulan sekali ke Rumah Sakit Harapan. Itulah sebabnya Ivan mengenal Arya, dokter yang menangani penyakit ibunya.

Ivan tidak ingin ibunya kecewa karena dia gagal menikahi Raline. Ibunya sangat menyukai sikap Raline yang lemah lembut dan perhatian. Setelah putus dengan gadis itu, dia mencoba untuk memberikan penjelasan pada ibunya walaupun terpaksa dengan sedikit berbohong.

“Kalau kita nikah ya, ibumu adalah ibuku juga, Van. Aku akan berusaha jadi menantu yang baik,” ujar Lita merayu.

“Aku akan atur waktu untuk mengenalkan kamu sama ibuku. Sekarang aku ada urusan dulu.” Ivan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas dan beranjak dari tempat duduknya.

Lita hanya bisa menatap punggung Ivan menghilang keluar dari cafe itu. Walaupun pertemuan mereka hanya singkat, tetapi setidaknya membuat hati Lita merasa lega karena ternyata Ivan bersedia menikahinya.

Ivan mengendarai motornya dengan mengebut agar dia bisa sampai di sekolah tempat Raline mengajar sebelum pukul 15.00. Saat tiba di sana, sekolah sudah mulai sepi. Dia melirik arloji di tangan kirinya, masih ada waktu sekitar lima belas menit dan memutuskan untuk menunggu sambil duduk di atas motor.

Tiba-tiba matanya melihat seorang lelaki yang berjalan keluar. Lelaki berkacamata yang tadi malam dia hajar dengan keras. Kemudian di belakangnya ada Raline yang berjalan bergandengan tangan dengan seorang anak perempuan. Langkah mereka terhenti saat melihat Ivan ada di luar.

“Ivan?!” ucap Raline.

Dia tidak menyangka jika Ivan akan kembali datang untuk menemuinya. Beberapa kali lelaki itu pernah datang ke sekolah untuk menjemput, tetapi dia lebih sering menolak dan memilih untuk menumpang pada teman wanitanya yang sesama guru di sekolah itu. Kini Ivan kembali datang dan harus melihatnya bersama dengan Arya.

“Wah, cepat sekali kamu dapat pengganti! Bahkan sekarang selera kamu naik sama cowok yang bermobil ya. Pantas selama ini kamu gak mau dibonceng aku!” ujar Ivan menyindir.

Arya hanya menyeringai lalu menarik Tasya agar dia masuk lebih dulu ke dalam mobil. Dia tidak ingin putrinya menyaksikan drama yang mungkin akan terjadi di antara mereka bertiga. Sedangkan Raline hanya diam. Dia sudah menduga jika kedekatannya dengan Arya pasti akan membuat Ivan salah paham. Akan tetapi, rasanya juga percuma bila dia memberikan penjelasan, justru dengan seperti ini Ivan mungkin akan benar-benar pergi dari kehidupannya.

“Seandainya memang benar begitu, buat apa lagi kamu ke sini? Bukannya semua udah selesai?”

“Tadinya aku cuma mau menyampaikan kata-kata perpisahan yang manis, tapi ternyata aku harus melihat kenyataan ini. Jadi, ternyata kamu juga main di belakangku?”

“Cukup! Sudah cukup sampai di sini dan kita gak perlu ketemu lagi!”

Raline berjalan dengan langkah tergesa-gesa meninggalkan Ivan dan juga Arya yang berdiri bersandar pada pintu mobilnya. Dokter itu membiarkan Raline pergi tanpa berusaha mengejarnya karena Arya mengerti jika saat ini gadis itu butuh waktu untuk sendiri. Kemudian Arya berjalan menghampiri Ivan sambil terus menatapnya.

“Bukan Raline yang salah, tapi saya yang bergerak cepat untuk mengambil peluang. Terima kasih telah menjaga jodoh saya dengan baik, membuatnya tetap suci dan tidak tersentuh oleh Anda.”

“Nikmati saja peranmu sebagai PELARIAN!” ucap Ivan dengan tatapan penuh kebencian pada Arya. Kemudian dia menyalakan mesin motornya dan berlalu pergi.

Arya bergegas kembali menuju mobilnya dan segera melaju dari parkiran sekolah. Tasya terus menyerangnya dengan serangkaian pertanyaan tentang Raline yang tiba-tiba pergi.

“Yang tadi itu siapa, Pa? Kenapa Bu Raline malah pergi sendiri, katanya tadi mau pulang bareng kita!” protes Tasya.

“Papa juga gak ngerti, Sayang.”

“Terus kenapa Papa gak ngejar Bu Raline?”

“Memangnya film India main kejar-kejaran segala, Bu Raline ‘kan udah dewasa jadi dia pasti tahu jalan pulang.”

“Oh, kalau yang main kejar-kejaran itu film India namanya? Tasya jadi pengen nonton. Tasya tahunya yang film Korea. Eh!” Tasya segera menutup mulutnya, dia keceplosan.

“Gak boleh, itu bukan tontonan anak-anak!”

Tasya cemberut dan tidak mengajak papanya mengobrol lagi. Namun, bagi Arya saat ini memang lebih baik membuat dia diam karena pikirannya terasa sangat kacau. Arya tidak bisa membohongi hatinya bila saat ini sebenarnya dia sedang mengkhawatirkan Raline.

Sesampainya di rumah, Tasya segera masuk tanpa menunggu Arya membukakan pintu mobil untuknya. Jika sudah seperti itu, maka Arya harus siap menerima teguran dari Mayang karena telah membuat cucunya marah. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Arya masuk diam-diam melalui pintu dapur yang terhubung dengan garasi. Dia berjalan mengendap-ngendap sambil memastikan keadaan aman karena sepertinya Mayang belum sampai di rumah.

“Papa, Tasya mau nelepon Tante Kharisma sekarang juga!” kata Tasya yang tiba-tiba muncul di belakang Arya dan membuatnya melonjak kaget.
Ternyata tadi Tasya bergegas masuk karena ingin buru-buru mengganti seragam sekolahnya dan bersiap untuk menagih janji Arya.

“Baiklah, Tuan Putri.”

Arya terpaksa mengeluarkan ponsel, membuka kode rahasia lalu membiarkan Tasya menelepon Kharisma sendiri. Walaupun sebenarnya dia ingin sekali melihat wajah wanita itu, tapi kali ini dirinya harus bisa menahan diri. Arya harus bisa melupakan Kharisma!

***

TERJERAT CINTA DOKTER DUDAWhere stories live. Discover now