4

203 52 44
                                    

Tiga hari sudah berlalu sejak pemakaman Atsumu tapi, kediaman Miya masih ramai didatangi para teman dan kerabat, sekedar mengucapkan belasungkawa dan beberapa kata penyemangat yang sama sekali tak dapat diterima hati yang tengah berduka.

Dengan pakaian serba hitam, mata sembab dan wajah yang terlihat sangat lelah, (Y/n) menampakkan senyum sekenanya pada setiap pelayat. Berbanding terbalik dengan Osamu yang tak menampakkan emosi apapun, tampak seperti dirinya yang biasa, datar. Namun, jauh di dalam hatinya ia menangis. Sesak, sakit, hatinya terasa kosong, ia tak menyangka seseorang yang selalu berada di sampingnya akan pergi meninggalkannya terlebih dahulu.

Saudara kembar adalah dua orang yang saling berbagi rasa. Saat salah satu sakit, maka yang lain akan ikut merasakannya. Saat yang satu tertekan, maka yang lainpun akan merasakan hal yang sama. Maka saat ini, setelah Atsumu pergi, Separuh jiwa Osamu pun ikut meninggalkannya bersama dengan Atsumu. Sayangnya dia harus tetap terlihat kuat untuk (Y/n), satu satunya hal yang masih tersisa untuknya.

Perlahan lahan, para pelayat mulai pergi, Hanya ada beberapa yang tersisa. Dengan cepat Osamu menghampiri adiknya.

"(Y/n)," panggilnya tapi tak mendapat respon apapun darinya. "istrirahat, ya? Kakak aja yang disini." masih tak ada respon apapun. "kamu makan, gih." Kali ini dijawab gelengan oleh (Y/n).

Entah sudah berapa kali Osamu mengajak (Y/n) makan tapi, hanya penolakan yang didapat. Hatinya sakit melihat adiknya begitu tersiksa. Dia akui, Atsumu dan (Y/n) cukup dekat, wajar jika adiknya begitu terpukul dengan hal yang tiba-tiba ini.

Dengan lembut dia membelai surai (H/c) adiknya. "Jangan gini, dek..." hening sejenak, sebelum Osamu mendengar isakan pelan dari adiknya.

"Kak Samu..." dengan tenang Osamu menunggu adiknya melanjutkan ucapan. "ini mimpi bukan sih? Ko rasa sakitnya kerasa nyata?"

Sedetik kemudian (Y/n) sudah ada dalam pelukannya. Sebegitu mendadaknya semua ini sampai adiknya tidak dapat mencerna semua hal dengan baik. Ingin rasanya Osamu mengatakan jika semua ini memang hanya mimpi dan sebentar lagi mereka akan terbangun tapi, dia tak sanggup berbohong pada adiknya tentang hal seperti ini.

"Kak Samu di sini, dek..." dengan segera isak tangis kembali tak dapat (Y/n) bendung, jerit pilunya mengoyak hati, tangannya dengan kuat mencengkram erat kemeja hitam kakaknya yang telah basah oleh air mata.

Osamu yang terlihat tegar, kini diam-diam meneteskan air mata, hidung dan matanya memerah tapi, ia tetap berusaha menampilkan sosok tegar dalam tatapannya.

"Makan, ya?" pinta Osamu setelah tangis (Y/n) mereda yang dijawab anggukan lemah adiknya. "makasih, dek." Dengan itu, (Y/n) pergi meninggalkan Osamu dengan langkah gontai menuju dapur.

Duduk di salah satu kursi, (Y/n) menatap kosong meja makan di depannya, berusaha menata hati dan pikirannya yang kacau. Tak lama ingatan di hari kemarin kembali diputar.

Di hari pemakaman sang kakak, kedua orang tuanya kembali. Mereka segera memeluknya dengan erat, tak berbeda jauh dengan yang mereka lakukan pada Osamu, hanya saja dia lebih terlihat lebih tegar. Saat itu (Y/n) merasa mendapat sebuah penopang saat yang lain patah.

Pemikirannya selama ini tentang orang tuanya yang tidak memikirkan mereka seketika terhempas dengan kembalinya mereka berdua dan terlihat jelas mereka sama terpukulnya dengan (Y/n).

Namun, semua itu tak berlangsung lama. Keesokan paginya, mereka berkata akan segera pergi karna pekerjaan yang menumpuk. Seketika kepercayaan (Y/n) hancur dan mulai bertanya tanya apakah kedua orang tuanya ini masih memiliki hati untuk anak anaknya atau mungkin kah sudah lenyap?

Bukankah mereka bekerja untuk anak-anaknya? Namun, mengapa saat kehilangan salah satunya mereka lebih mementingkan pekerjaan mereka? (Y/n) mulai tidak mengerti pemikiran keduanya dan di saat yang sama kepercayaan dengan orang yang selama ini ia anggap sebagai orang tua seketika lenyap.

𝙰𝚗𝚊𝚕𝚐𝚎𝚜𝚒𝚔 || Sunarin ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant