5

173 46 31
                                    

Satu bulan berlalu dengan cepat, kepergian Atsumu benar benar membuat perubahan bagi Osamu dan (Y/n). Dari sana keduanya belajar untuk lebih memahami satu sama lain. Hanya mereka berdua kali ini, tak akan ada si pengganggu Atsumu yang akan selalu mengerti mereka dan kini meninggalkan lubang besar di kehidupan keduanya.

Namun, kepergian Atsumu bukan untuk di tangisi selamanya, dia masih punya kehidupan dengan satu satunya kakak yang ia miliki dan jika tak menjalaninya dengan sungguh sungguh, kakak pirangnya pasti menangis di surga sana.

Walau begitu, (Y/n) dan kakaknya akhir akhir ini nyaris tak dapat duduk bersama sekedar untuk bercakap cakap. Dirinya disibukkan dengan kewajiban mahasiswa seni yang tugasnya seakan tak pernah selesai sedang kakaknya tengah sibuk sibuknya dengan kedai cabang barunya. Mereka terkadang hanya bertemu beberapa hari sekali di pagi hari atau malam tapi, (Y/n) berusaha untuk tetap mengabari kakaknya kapan pun dia sempat.

"Lu jadi datang, kan?" tanya seseorang di seberang sambungan.

"Gak tau gua," jawab (Y/n) ragu, matanya menatap sekeliling taman, berharap mendapatkan ilham atas keputusan yang harus ia ambil. "tugas terus terusan ganggu pikiran gua."

"Berenti mikirin tugas."

"Tapi gua bukan elu yang jadi kebanggaan dosen!" tak ada jawaban dari seberang, seakan mengiyakan.

"Gini deh," kata seseorang di seberang setelah jeda beberapa menit. "kita kan ada projek SR II dan gua yakin yang kemaren lu usulin ke dosen pasti di tolak." Ada rasa kesal mendengar kebenaran yang dikatakan orang ini. "lu bisa cari ide di sana. Kebetulan juga gua punya kawan yang lagi butuh model buat kontesnya. Itu salah satu alasan gua ngajak lu."

"Ha?"

"Lu mulai budek ya sekarang..." terdengar nada jengkel dari seberang.

"Ga, ga." (Y/n) refleks ikut menggelengkan kepalanya. "kenapa salah satu alasan lu ngajak gua itu kawan lu. Gua nggak mau ya ikut ribet gegara masalah kawan lu, gua udah cukup pusing sama masalah yang gua punya."

"Ish, dia mah ... bentar." Dan suara di seberang seperti teredam, terdengar pula suara beberapa orang yang tak ia kenal. "pokoknya lu harus dateng. Gua udah mau beberes."

"Tapi-"

"Pokoknya da-teng!" dan sambungan pun terputus.

"Ni orang gila kali ya." Walaupun dengan banyak umpatan (Y/n) tetap mencari kontak kakaknya untuk sekedar memberitahu jika salah satu teman kampusnya mengajak datang ke penampilannya.

Tak lama sebuah pesan dari kakaknya masuk, hanya sebuah persetujuan dan tak lupa nasehat dari sang kakak. Membalas pesan itu, (Y/n) kemudian beranjak dari bangku taman menuju kelas.

Siang ini (Y/n) masih ada satu mata kuliah lagi sebelum mengakhiri perkuliahan. Terdengar seperti suara dari surga bukan? Tapi kenyataannya tidaklah seindah itu, (Y/n) harus menahan kekesalannya selama kurang lebih satu setengah jam hanya untuk mendengarkan ocehan dosennya tentang teori seni grafis.

Tak henti hentinya (Y/n) menghela napasnya kasar. Dosen di depannya, pak Washijo yang terkenal dengan sikap kaku dan dirinya sanggup menjelaskan teori panjang yang di benci semua mahasiswa. Pak Washijo tak peduli dengan mahasiswanya mendengarkan atau tidak. Hanya satu, dilarang berbicara dan memegang ponsel. Selain itu juga, pak washijo tidak peduli mahasiswanya paham atau tidak yang ia tahu nilai UTS dan UAS mereka tidak boleh menyakitkan mata.

Jadi selama penjelasan (Y/n) hanya bisa menghembuskan napasnya berkali kali dengan tangan yang sibuk mencoret coret abstrak di binder hingga jam matkul ini berakhir.

Tak menunggu waktu lama, akhirnya penderitaannya berakhir. Sesuai janji sepihak dari teman satunya itu, (Y/n) bergegas menuju tempat tujuannya.

"Permisi," sembari melangkah masuk bersamaan dengan dentingan bel masuk yang menyambut (Y/n).

𝙰𝚗𝚊𝚕𝚐𝚎𝚜𝚒𝚔 || Sunarin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang