2. Jam Kosong

28 9 3
                                    


Seminggu telah berlalu dan kegiatan belajar sudah mulai efektif. Ayumi sudah disibukkan dengan tugas, sehingga tidak ada waktu untuk bertandang ke kelas pacarnya, bahkan untuk ke kantin saja jarang. Bukan karena tidak mau melainkan karena jaraknya lumayan jauh dari ujung ke ujung. Beruntungnya di belakang aula ada penjual sate, sehingga jika lapar bisa diganjal dengan sate.

Ayumi juga setiap hari ke sekolah membawa bekal. Bukan hal yang memalukan. Dia dan teman-temannya sudah membawa bekal sejak kelas sepuluh, katanya untuk menghemat uang jajan. Memang terbukti, selain menghemat uang jajan juga menghemat energi untuk ke kantin yang super jauh.

Saat ini, Ayumi akhirnya bisa merasakan yang namanya jamkos alias jam kosong. Alasannya karena sang guru kimia tidak pernah masuk. Konon kata seniornya, sang guru itu hanya masuk sekali dalam setahun. Jadi, bisa diperkirakan selama kelas XI melihat wajahnya hanya sekali.

Lantas bagaimana cara mengerjakan ujian nantinya? Terkait informasi yang didapat teman Ayumi, mereka mengerjakannya secara asal. Namun, walau asal nilai pelajaran itulah yang paling tinggi di rapor. Bagaimana, keren bukan sekolah Ayumi, ini?

"Eh, kan, pelajaran Pak Yoto dua jam, nih, nah bagaimana kalau kita mencok?" usul Bella yang suka membuat acara di kelas.

"Eh Sableng, ada bahannyakah, ya kali kita pulang, pagar dijaga ketat tuh sama di Botak," ujar Permana dengan nada blak-blakkannya.

Si Botak yang dimaksud Permana adalah security sekolah. Sebenarnya, namanya Pak Asri hanya saja Permana pernah berurusan dengannya dan membuatnya kesal, tercetuslah nama itu. Yah, walau sebenarnya tidak salah karena Pak Asri memang botak.

"Eh, dia belum tau, Bel," tukas Fina teman Bella sejak SMP.

"Bella tuh bawa mangga muda sama jambu air. Terus Fadia bawa bumbunya, kalau kurang, tenang aja, kan, bisa ambil di ruang guru secara emaknya Fadia ini guru," lanjut Fina dengan nada bangganya karena punya teman anak guru. Permana hanya diam, dan menganggukkan kepala.

Proses merujak pun sedang berlangsung. Namun, tiba-tiba Ayumi keluar tanpa pamitan padahal hampir seluruh temannya ada di dalam sana menantikan rujak khas Bella.

Gadis itu pun duduk di teras, masih dengan pemandangan yang sama dengan seminggu yang lalu. Saat asik duduk, tiba-tiba Fitri keluar menghampirinya.

"Mi, kamu kenapa. Kok, langsung keluar?" tanyanya sambil duduk di samping Ayumi.

"Oh, gak pa-pa, di dalam panas makanya mau duduk di sini sebentar," balasnya sambil tersenyum seperti biasanya.

"Ya sudah, aku masuk lagi, ya."

"Siap, nanti kalau sudah jadi panggil aku ya, jangan sampai dihabiskan," acapnya dengan nada penuh penekanan. Bukan tanpa alasan kenapa dia seperti itu. Ayumi hanya trauma karena waktu kelas sepuluh, dirinya pernah tidak kebagian makanan padahal dia sudah ikut patungan untuk membeli makanan itu.

Walau sebenarnya salahnya juga karena lebih memilih ke kelas pacarnya daripada menunggu makanan itu datang.

Setelah mengiyakan ucapan Ayumi, Fitri langsung masuk kelas kembali. Gadis yang ditinggalkan hanya bisa membuang napas gusar. Sebenarnya, apa yang menjadi alasannya tadi hanyalah bohongan belaka.

Ayumi memiliki kelainan yang mungkin tidak sebagian orang miliki. Kelainannya ini sedikit membuatnya tidak enakan, dia tidak bisa melihat makanan itu diproses karena jika sampai hal itu terjadi. Kemungkinan Ayumi tidak bisa memakannya. Dia lebih baik menghindar ketika rujak tersebut dibuat daripada dia tidak memakannya dan menimbulkan spekulasi negatif.

Dia juga sebenarnya merasa tersiksa dengan hal itu. Namun, mau bagaimana lagi, segala cara sudah dilakukan tetapi tetap saja seperti itu.

Selang beberapa menit, akhirnya rujak itu pun selesai dibuat. Ayumi kembali masuk dan menghampiri temannya yang sudah membentuk lingkaran, di mana di tengah mereka terdapat wadah yang isinya mangga sama jambu air. Melihatnya saja membuat Permana menelan liur.

"Eh, nanti makannya jangan ada yang serakah, ya, biar semuanya kebagian," ucap Bella sambil melirik Permana yang duduk tepat di depannya.

"Ngapain ngeliat aku?" tanya Permana dengan santai.

"Biasanya, kan, kamu raja makan," sungut Bella dengan wajah mengejek.

"Sekate-kate kalau ngomong ka—"

"Kita di sini sebenarnya mau makan atau melihat kalian berdebat?" tanya Bale dengan nada tegasnya.

Semuanya terdiam dan memutuskan untuk memulai acara makan-makan itu.

Dia adalah Iqbal, tetapi terkadang dipanggil Bale. Anak terpintar di kelas, sehingga sebagian murid segan padanya terkecuali Ayumi. Iqbal merupakan pentolan sekolah bukan dalam hal buruk melainkan ke hal yang positif. Setiap kali ada lomba, pasti dirinya maju atau disuruh sama sekolah. Iqbal juga anak pramuka jadi, wajar jika kulitnya lebih gelap dari teman-temannya.

Ketika makan-makan sudah berlangsung, tiba-tiba pintu terbuka dan memperlihatkan Aulia dengan wajah lelahnya. Gadis itu menghampiri temannya.

"Kalian mencok gak panggil-panggil," lirih Aulia dengan wajah murung.

"Lah, kamu dari mana memang, tapi tenang aja masih ada kok ... lah kok sudah habis, siapa yang makan?" tanya Fitri saat melihat wadahnya sudah kosong.

"Maaf ya Aulia, aku gak tau kalau kamu juga mau. Kata orang, rezeki tidak boleh ditolak jadinya aku habiskan daripada mubasir. Jangan nangis ya, jangan kayak Ayumi waktu kelas X, cuma karena gak kebagian roti gembong malah nangis," cetus Permana sambil melirik Ayumi dengan wajah yang sudah memerah.

"Aku nangis bukan karena kehabisan, ya, tapi karena aku sudah ikut patungan tapi gak dapat. Yah, rasanya nyesek aja gitu," tukas Ayumi mencoba membela diri. Enak saja temannya itu menganggapnya cengeng.

"Makanya jangan pacaran terus. Sudah tau pacaran dosa malah dilakuin, cari masalah memang," celetuk Iqbal dengan wajah datarnya.

"Kok kamu ikut nyahut, sih. Terserah aku dong mau pacaran atau gak, lagian gak ada urusannya sama kamu. Jangan-jangan kamu cemburu, ya?" tebak Ayumi sambil mengacungkan tangannya tepat di depan wajah Iqbal.

"Aku? Cemburu, maaf aja bukan cemburu tapi kasian sama orang tuamu. Neraka itu panas, jika kamu lupa." Setelah mengatakan kata menyakitkan itu, Iqbal langsung ke musala.

Wajar saja musala sebagai tempatnya karena dia anak rohis. Suasana yang awalnya ramai dan heboh seketika hening tak bersuara, bahkan Permana yang memiliki mulut melebihi mulut ibu-ibu hanya diam saja.

"Aku mau ke toilet, nanti kalau ada guru panggil aku ya," pintanya kemudian melenggang dari kelas tersebut tanpa mendengar jawaban dari temannya.

"Emangnya Ayumi ngapain di toilet sampai harus dipanggil segala?" tanya Fira dengan tampang bolotnya.

"Bubar, bubar," teriak Akbar membubarkan lingkaran itu. Sementara Fira hanya bisa menampilkan wajah kebingungan.

Di dalam toilet, Ayumi terus teringat dengan kata-kata Iqbal beberapa menit yang lalu. Bohong jika dia tidak tahu dosa pacaran. Akan tetapi, entah kenapa dia tidak bisa lepas dengan pria itu.

"Kamu memang sering mengucapkan kata-kata pedas, tapi baru kali ini rasanya menusuk ke hati dan rasanya begitu sakit," monolognya.

"Entah aku harus berterima kasih sama kamu atau malah menganggap semuanya tidak pernah terjadi, seperti kata-kata yang sering kamu lontarkan ke aku."

Ayumi terus-menerus meracau, sampai pada akhirnya pintu itu mengeluarkan suara akibat ulah manusia di baliknya. Dia pun memperbaiki penampilannya kemudian keluar.

"Ngapain aja sih, Kak, lama banget. Gak tau apa kalau aku sudah kebelet. Permisi."

Emosi Ayumi yang sebetulnya belum padam, kini kembali tersulut akibat adik kelasnya yang menurutnya tidak ada sopan santunnya sama sekali. Bukan gila hormat, tapi setidaknya adik kelasnya bisa menghargainya sedikit sebagai senior.

Muara Badak, 16 Agustus 2021

TBC

Alhamdulillah akhirnya selesai juga ditulis. Semoga menghibur, jangan lupa kritik dan sarannya, ya 🤗

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now