4. Hubungan yang Retak

32 11 6
                                    


"Kamu kenapa, sih, dari tadi diam aja?" tanya Ayumi ke Rafael.

Saat ini mereka sedang perjalanan pulang ke rumah sang gadis. Namun, menurut Ayumi, pacarnya aneh tidak seperti biasanya.

"Coba kalau ada masalah dibicarakan baik-baik," pungkas Ayumi mencoba mencari tahu letak salahnya di mana.

Namun, Rafael masih terdiam, hingga tiba-tiba motor pun berhenti.

"Kenapa kamu gak bilang kalau ada anak baru di kelasmu, terus kenapa juga kamu gak bilang kalau dia duduk di sampingmu."

Tampak raut terkejut di wajah Ayumi. Dia tidak tahu darimana pacarnya tahu jika anak baru alias Rizky itu duduk di sampingnya.

"Loh kenapa? Bangku yang kosong di kelas hanya di sampingku aja. Jadi, wajar jika dia duduk di situ lagian aku gak bakal suka juga sama dia. Coba deh gak usah seperti itu," tukas Ayumi yang sedikit dikuasai emosi.

"Seperti apa maksudmu. Jadi, aku harus biasa-biasa saja ketika mendengar pacarku duduk bersebelahan dengan laki-laki, gitu mau kamu?" Rafael menaikkan suaranya satu oktaf membuat sang pacar mendongakkan kepala karena terkejut.

"Santai aja, gak usah lebai begitu, kayak kamu gak pernah duduk sama cewek lain aja."

Adu mulut pun sudah tidak bisa terelakkan. Ayumi sudah dikuasai emosi mungkin juga efek menstruasi yang dialaminya. Sementara Rafael juga tidak mau kalah, dia merasa benar, sehingga terus mempertahankan apa yang ada di kepalanya.

Puncak perseteruan adalah ketika Ayumi memutuskan untuk naik angkot saja walau harus kehilangan uang jajan. Dia sangat kesal sama pacarnya yang ternyata tidak bisa mengerti keadaannya.

Sepanjang jalan batin Ayumi tidak henti-hentinya mengomel, bahkan dia sesekali mendoakan hal buruk untuk pacarnya.

Kalau begini lebih baik aku sendiri saja gak tertekan, batin Ayumi.

***
Seminggu telah berlalu dari insiden tersebut dan hubungan mereka semakin parah. Ayumi seolah lupa jika punya pacar, begitupun dengan Rafael. Mereka seakan-akan sudah memiliki dunia sendiri yang baru.

Tingkah Ayumi juga sudah mulai terbuka, dia tidak membatasi diri kepada teman-temannya. Intinya dia sudah mulai terlihat hidup.

"Nah, kalau begini kan bagus bukan hanya ngurusin anak IPS itu. Sesekali bergaul sama teman kelas biar ada ingatan ketika sudah lulus nanti," tukas Iqbal kemudian duduk di samping Ayumi.

"Iya, kamu benar juga dan sorry ya dulu aku marah-marah jika kamu bicara seperti itu ke aku," ujar Ayumi tanpa melihat wajah sang lawan bicara.

"Santai aja."

"Eh, Bale, kita main ML yuk mumpung guru belum datang," ucap Akbar masuk di tengah-tengah obrolan mereka.

"Ya sudah aku masuk kelas dulu, ya kali aku di sini cuma liat kalian main. Mana seru," ucap Ayumi seolah tahu diri.

"Makanya main juga, Beb, ntar aku ajari deh," celetuk Akbar dengan wajah jahilnya.

"Beb, beb, aku bukan bebebmu."

Itu bukan kali pertama Akbar menggoda Ayumi, bahkan sejak kelas sepuluh. Namun, waktu itu Akbar hanya sesekali karena tahu jika teman sekelasnya sudah ada pasangan. Namun, setelah beredarnya rumor jika mereka sedang tidak baik-baik saja, Akbar kembali menggoda gadis manis itu.

"Gak usah digoda gitu, tuh mukanya sudah merah," timpal Iqbal membuat Ayumi bergegas masuk dan menemui temannya di dalam sana. Saat di dalam kelas pun suara tawa kedua lelaki tersebut masih terdengar, tetapi dia tidak peduli.

Tidak berselang lama, guru Matematika datang juga, sebut saja Pak Sofyan. Beliau merupakan guru yang cukup ditakuti di kelas. Jadi, wajar jika saat ini suasana menjadi hening, tidak ada yang bersuara.

Permana yang diketahui murid paling konyol pun diam saja. Matanya tidak pernah berpindah dari buku, sehingga dia terlihat seperti anak yang sangat menyukai pelajaran tersebut.

Ayumi pun melakukan hal yang sama, walau sebenarnya dia memang termasuk salah satu siswa pintar di kelas. Namun, sangat minus jika dihadapkan dengan pelajaran yang mengutamakan hitung-hitungan, misal Matematika, Fisika, maupun Kimia. Akan tetapi, jika disuruh memilih antara Matematika atau Fisika, sepertinya Ayumi akan memilih Matematika.

Matematika, setidaknya dia masih bisa bertanya sama gurunya karena penjelasan yang mudah dipahami. Sementara untuk Fisika, dia benar-benar harus belajar dari awal lagi. Dia sama sekali tidak paham dengan penjelasan sang guru.

"Baik, selamat pagi semuanya, hari ini kita lanjut materi Minggu kemarin."

Ayumi dan teman-teman lainnya langsung membuka materi sebelumnya. Gadis itu mempelajari setiap rumus yang sudah tertulis dengan cantik di bukunya. Namun, semakin diperhatikan semakin membuatnya meringis. Otaknya memang lemah di bidang itu.

"Sekarang kalian kerjakan soal yang ada di papan tulis, yang bisa boleh maju."

Lah, sejak kapan soal itu ada, perasaan tadi papan tulis masih bersih, batin Ayumi meringis.

Tidak berselang lama setelah perintah mengerjakan soal dari Pak Sofyan, ternyata Iqbal sudah unjuk diri. Dengan gaya percaya dirinya, dia mengerjakan tugas itu dengan sangat enteng.

"Bagaimana, Pak?" tanya Iqbal sambil memperlihatkan hasil kerjanya.

"Nah, kerja yang bagus." Iqbal pun kembali ke tempatnya dengan senyum mengejek ke arah Ayumi dan hanya dibalas dengan lirikan.

"Masih ada empat soal, ada lagi yang mau maju?"

Seketika semuanya menunduk pura-pura mengerjakan soal tersebut, padahal nyatanya hanya menghindari tatapan maut dari Pak Sofyan. Biasanya jika sudah seperti itu, Pak Sofyan akan menunjuk beberapa siswa untuk maju dan yang ditunjuk harus mau.

"Seperti biasa, Bapak ingin Agus, Nisa, Fitri, dan Fariz. Kalian berempat maju mengerjakan soalnya."

Murid yang ditunjuk hanya bisa menampilkan wajah pasrah seakan hidupnya tidak lama lagi. Keempatnya pun maju dan mengerjakan soal sesuai urutan sebutan namanya tadi.

Terlihat keempat murid itu blusukan. Di antara mereka sama sekali tidak ada yang tahu materi itu, dan Pak Sofyan tidak akan membiarkan muridnya duduk sebelum jawabannya benar. Melihat mereka di depan sana membuat Ayumi meringis. Tidak bisa dibayangkan jika dia ada di posisi itu. Mungkin saja dia bisa mengerjakan satu soal. Namun, pastinya tidak akan secepat dan setepat Iqbal.

Dalam hal ini, Ayumi memang mengakui kehebatan Iqbal. Walau sebenarnya di semua mata pelajaran bisa, hanya saja untuk Matematika cukup lumayan.

"Ih, itu jawaban Fariz salah loh," celetuk Erva, membuat Ayumi membalikkan badan.

"Iyakah, terus kenapa kamu gak naik aja, sih, Va," tukas Ayumi kepada temannya yang cukup dekatlah di kelas.

"Gak ah, males."

Selain Iqbal, Erva juga pintar Matematika. Namun, bedanya Iqbal suka tampil, senang jika terekspos. Sementara Erva tidak begitu, dia rela memberikan jawaban kepada temannya agar maju dibandingkan digunakan sendiri. Akan tetapi, jika soalnya merupakan rebutan untuk mendapatkan nilai langsung, maka gadis itu baru maju.

"Ya sudah, deh, tapi kamu gak dapat nilai, kalah deh sama Bale," tukas Ayumi sambil memainkan matanya layaknya anak kecil.

Pernyataan itu hanya dibalas senyuman oleh Erva.

Huft, selalu seperti itu, kapan sih temanku ini mau memperlihatkan kemampuannya, dumel Ayumi dalam hati.

Muara Badak, 19 Agustus 2021

TBC

Alhamdulillah, sudah up setelah kemarin absen. Sekarang minta pendapatnya dong tentang bab ini. Rasa-rasanya feel-nya agak kurang, cuma author ingin memastikan dari kalian.

Oh iya terima kasih yang sudah mampir, yang sudah memberikan bintangnya, maupun yang sudah komen. Sering-sering ya soalnya ini sangat membantu untuk kelangsungan ceritanya.

Love,

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now