5. Nekat

15 7 0
                                    

Tidak terasa tiga bulan telah berlalu, semester satu tinggal beberapa bulan lagi. Ayumi semakin mengubah dirinya, kali ini bukan hanya pergaulannya yang berubah. Akan tetapi, penampilannya pun sedikit demi sedikit berubah.

Dia juga sudah tidak terlalu memikirkan hubungannya yang entah sudah berakhir atau masih berlanjut. Komunikasi untuk keduanya tidak seintens dulu.

"Mi, pinjem buku biomu dong, mau nyalin PR," teriak Nadia di ambang pintu.

Ayumi yang sedang duduk di teras kelas seorang diri, langsung membalikkan badan dan menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Bukunya di mana, Beb?"

Mau tidak mau dia harus masuk ke kelas. Dia pun merogoh laci mejanya dan mengeluarkan buku bersampul batik berwarna merah. Dengan antusias, Nadia mengambil buku tersebut.

Ternyata yang ingin menyalin jawabannya bukan hanya Nadia melainkan hampir setengah teman kelasnya. Dia hanya menggelengkan kepala.

Dalam hal tugas harian, Ayumi masih mentolerir untuk menyontek. Namun, ketika sedang ulangan jangan harap gadis manis nan cantik itu akan mendengar panggilan temannya. Seketika saat itu dia akan menjadi tuli dan asyik dengan dunianya sendiri.

"Eh, biologi jam berapa, sih?" tanya Permana setelah menyimpan tasnya, harap dimaklumi saja karena dia menjadi salah satu murid yang sering terlambat datang.

"Jam terakhir," tukas Ayumi sambil membaca novel Lupus yang dipinjam dari perpustakaan sekolah.

"Oh masih lama, baiklah, aku mau ke IPS dulu. Mau tepe-tepe sama Tuti," ujarnya dengan nada enteng seenteng kapas.

"Ya sudah kalau gitu, tapi nanti aku sudah gak bisa kasih nyontek soalnya mau baca materi. Jadi, kalau mau nyalin sekarang aja kalau gak mau juga alhamdulilah, sih," jawab Ayumi dengan mata masih di buku tersebut. Tampaknya buku itu jauh lebih menarik daripada melihat wajah pasrah Permana.

"Gak pa-pa, kamu pergi aja ke IPS, kan, cinta harus diperjuangkan. Masalah PR ntar aku kasih liat, deh," celetuk Fuji di belakang meja Ayumi.

Fuji merupakan salah satu teman akrab Ayumi. Dia termasuk salah satu anak berprestasi, ditambah dia merupakan anak paskibra. Satu lagi, Fuji merupakan laki-laki tulen, karena setiap mendengar namanya terkadang ada saja yang mengiranya perempuan.

"Ah, kamu memang yang terbaik Fuji, I love you so much," tukas Permana begitu lebainya.

Setelah mengatakan kata yang menurut Fuji sedikit menjijikkan, Permana langsung meninggalkan kelas. Tentunya dengan binar kebahagiaan seakan-akan baru saja memenangkan suatu perlombaan.

"Ah, suatu saat kamu akan menyesal karena lebih mementingkan sesuatu yang belum pasti, Permana," gumam Ayumi.

"Kamu ngomong apa, Mi?" tanya Fuji yang tampaknya mendengar gumamannya, tetapi tidak terlalu jelas. Ayumi langsung membalikkan badan dan menggelengkan kepala.

"Oh baiklah, untuk bukunya bentar lagi, sudah nomor lima, nih. Lagian kenapa jawabannya panjang-panjang semua, sih," keluhnya dengan wajah kesal bercampur lelah.

"Yah, jangan salahkan jawabannya tapi salahkan soalnya yang menginginkan jawaban yang panjang. Sama kayak hubungan jika sudah retak. Jangan menyalahkan orang lain atas retaknya hubungan tersebut, tetapi salahkan hatimu yang mungkin sudah tidak bisa setia."

"Malas ah ngomong sama kamu, Mi, bawaannya bucin terus."

"Loh memang benar, kok. Setiap orang selalu menyalahkan objek tanpa melihat keadaan dirinya. Barangkali akar permasalahannya ada di dirinya sendiri, tetapi dia tidak sadar karena terlalu sibuk mencari kesalahan si objek," jelas Ayumi sudah seperti Mario Teguh.

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now