14. Arti Sebuah Nilai

6 4 0
                                    

Setelah menunggu beberapa hari, sekarang telah tiba saatnya untuk pengumuman kenaikan kelas. Ayumi dan teman sekelasnya sudah menunggu di depan kelas.

Karena seluruh kelas masih terkunci. Beberapa temannya sudah deg-degan, entah kenapa gadis itu tidak merasakan apa-apa. Dalam hati dia sudah sangat yakin jika akan masuk lima besar. Mengingat perjuangan belajarnya untuk semester dua ini jauh lebih serius dibandingkan semester satu.

"Aku kok deg-degan, ya," tukas Dwi yang tiba-tiba berdiri di samping Ayumi.

"Tenang aja, semuanya naik kelas kok," ujar Ayumi menenangkan temannya. Dia sangat tahu bagaimana rasanya berada di posisi itu.

"Emang kamu gak deg-degan?" tanya Dwi balik sambil menelisik Ayumi dari atas sampai bawah.

"Entah, pengumuman kali ini gak ada rasa takut."

"Wajar aja, sih, aku yakin kamu masuk lima besar "

"Aamiin."

Setelah itu Dwi pun meninggalkan Ayumi karena sudah ada Kinar yang meminta untuk ditemani ke kantin. Namun, sebelum ke kantin, Ayumi terlebih dahulu memanggil April.

Ketiga gadis itu pun menyusuri koridor. Di tengah jalan mereka saling memberi doa untuk pengumuman kenaikan kelas nanti.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya detik-detik yang ditunggu tiba juga. Namun, untuk kali ini pengumuman kenaikan kelas diwakilkan oleh guru lain  karena wali kelasnya ada urusan. Semua sudah masuk ke kelas, dan duduk di kursi masing-masing.

Rasa tidak sabar untuk segera pulang sudah dirasakan oleh teman Ayumi, karena hanya kelas merekalah yang belum menerima rapor. Rata-rata murid lain sudah pada pulang.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak. Hari ini Ibu diberi amanah untuk membagikan rapor kalian. Namun, sebelumnya Ibu meminta maaf apabila terasa lama," ucap Bu Lastri salah satu guru TU.

"Ibu hanya akan memberikan sepatah kata sebelum rapor ini dibagikan. Apa pun nanti hasilnya janganlah berkecil hati, dan jangan menyerah. Tetap belajar agar nantinya bisa sukses di kemudian hari. Bagi yang nilainya tinggi jangan langsung puas, tetap semangat belajar, begitupun sebaliknya. Ibu tidak terlalu melihat nilaimu melainkan akhlak yang kalian punya. Nilai itu bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan, sedangkan akhlak hanya bisa diubah oleh kalian sendiri."

"Rasanya percuma jika mendapat peringkat satu tapi akhlaknya tidak bagus. Toh jika dimasyarakat yang dilihat kesopanan bukan peringkat. Jadi, jangan terlalu tergila-gila mengincar peringkat. Namun, jangan juga terlalu menyepelekan nilai, mentang-mentang akhlaknya baik, nilainya bodoh amat. Jangan gitu, apakah sudah dipahami?"

"Sudah, Bu," jawab semua murid yang ada di dalam kelas tersebut.

"Kalau begitu Ibu bagikan rapornya, ya. Pembagian kali ini, Ibu urutkan sesuai absen nama biar tidak menebak-nebak siapa peringkat satu, dua, tiga, dan seterusnya."

Satu per satu teman Ayumi maju sesuai dengan nomor urut absen. Berbagai macam ekspresi telah diliat Ayumi lewat temannya itu. Dia pun semakin penasaran dengan peringkatnya. Walau kata gurunya peringkat itu tidak terlalu penting dan bisa dinomorduakan. Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Ayumi. Dia punya alasan kenapa peringkat begitu penting bagi dirinya.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya namanya dipanggil juga. Dengan rasa senang, dia melangkahkan kaki ke depan. Diambilnya rapor itu, tetapi sebelum kembali lagi ke tempat duduknya, terlebih dahulu dia menandatangani sebuah buku sebagai bukti jika rapor itu sudah diterima.

Setibanya di tempat duduk, Ayumi membuka rapornya secara perlahan-lahan. Fuji yang berada di samping belakang kursinya sudah mulai melirik-lirik.

Saat kumpulan nilai itu sudah dilihat secara sekilas, air wajah Ayumi langsung berubah. Matanya langsung berkaca-kaca, andai tidak ada gurunya di depan sana, sudah pasti dia akan menangis meraung-raung.

Kinar yang melihat perubahan raut wajah itu pun menjadi heran. Dia ingin bertanya, tetapi tidak yakin mendapatkan jawaban. Kinar sangat yakin jika itu berkaitan dengan nilai.

Ketika Bu Lastri sudah keluar dari kelas, barulah tangisan Ayumi terdengar begitu kencang. Dia tidak peduli dengan temannya yang sudah menatapnya dengan tatapan bingung. Hatinya begitu sakit, jiwa begitu kecewa dengan hasil yang ada.

"Kamu peringkat berapa, Mi?" tanya salah satu temannya yang dia tahu bernama Aulia.

Ayumi tidak menjawab, dia masih menikmati pedihnya sebuah harapan. Padahal dia sudah memaksimalkan cara belajarnya, tetapi kenapa angka yang tertulis di rapor itu 17 dari 25 siswa bukan 4 atau 5. Hal ini menjadi pukulan telak bagi Ayumi dan suatu hal yang sangat-sangat memalukan baginya.

Dia tidak yakin jika itu nilainya. Namun, mau komplen pun tidak bisa karena wali kelasnya sedang tidak ada di sekolah tersebut.

"Apa pun hasil rapormu, jangan seperti ini, Mi. Kamu boleh kecewa, kamu boleh nangis, tapi sebentar saja. Jangan mau dikuasai oleh setan," pungkas Kinar berusaha memberikan dukungan kepada temannya.

"Kamu dapat peringkat berapa, Mi?" tanya Iqbal yang seolah tidak peduli dengan perasaan Ayumi.

"Coba gak usah dulu tanya-tanya peringkat. Sebaiknya kamu pulang aja deh, ganggu aja," ujar Kinar yang sedikit kesal dengan teman barunya itu.

Ayumi pun memutuskan untuk berhenti menangis. Namun, bukan berarti rasa sakit dan kecewa itu hilang begitu saja. Seumur hidup, ini nilai terburuk yang pernah dia dapat. Pernah sih waktu SMP cuma itu masih ditolerir karena dia baru pindah dan tidak terlalu mengikuti pelajaran. Namun, untuk kali ini tidak bisa ditolerir. Dia sudah memaksimalkan belajarnya, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

***

Setelah menghabiskan air matanya di sekolah, kini Ayumi lanjut lagi di rumah. Orang tua serta adiknya sudah tahu perihal peringkat itu dan mereka hanya diam saja.
"Kenapa harus peringkat 17, ini sangat buruk. Aku merasa selama ini mengerjakan tugas dengan baik, tapi kenapa hasilnya seperti ini," racau Ayumi sambil menatap nilainya yang sangat rendah bahkan ada yang keluar dari KKM.

"Ini juga, kenapa bahasa Indonesia yang paling buruk padahal setiap ada tugas aku selalu kerjakan dengan tepat waktu," ucapnya lagi sambil menatap angka itu.

"Sudahlah, Mi, mungkin memang begitu kualitas dirimu," celetuk ibunya karena sudah bosan mendengar anaknya mengoceh.

"Kualitas bagaimana, Ma, ini jelas-jelas bukan nilaiku. Masa nilai bahasa Indonesia aja keluar KKM."

"Ya sudah nanti kalau sekolah kamu tanyakan sama wali kelasmu itu kenapa bisa nilainya begitu," usul ibunya dan dibalas anggukan oleh Ayumi.

Tidak lama gadis itu masuk ke kamarnya karena masih ingin melanjutkan tangisnya. Dia sangat tahu standar dirinya seperti apa, sehingga jika dihadapkan dengan hal seperti itu, rasa sakit dan kecewa begitu dalam.

Karena insiden itu, Ayumi sempat memutuskan untuk berhenti menjadi penulis. Dia tidak suka dengan literasi, karena nilai bahasa Indonesianya yang hancur. Padahal itu tidak ada sangkut pautnya.

Karena hal itu, Ayumi juga mengirim pesan kepada teman literasinya yang kebetulan berprofesi sebagai guru. Dia ingin tahu apakah guru pernah salah dalam menginput nilai, dan jawabannya tidak pernah. Niatnya ingin mendapat jawaban yang sama dengan keinginannya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.

Sebenarnya, dia bisa saja ikhlas dengan semua itu. Namun, jika mengingat nilai-nilai semester 1-5 nanti digunakan untuk pendaftaran SNMPTN, membuat hatinya kembali sakit. Rencana yang sudah tersusun rapi di kepala, hancur begitu saja hanya karena nilai yang menurutnya bukan miliknya.

Memang nilai bukan segalanya, tapi ketika ingin mendapatkan beasiswa, ingin masuk jalur yang lebih mudah, semuanya butuh nilai yang tinggi.

Muara Badak, 13 September 2021

TBC

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now