13. Sebuah Pengakuan

4 4 2
                                    

Setelah insiden subuh tadi, mood Ayumi langsung hancur, bahkan dia tidak mau mengajak adiknya bicara. Karena mood-nya masih hancur, Ayumi memutuskan untuk menemui Bu Yani ketika istirahat pertama.

Memang sih, dia bisa mengendalikan dirinya di depan guru, minimal senyum, tapi di hatinya masih ada sesuatu yang kurang, sehingga memutuskan untuk ditunda saja.

"Pagi-pagi udah cemberut gitu, kenapa, sih?" tanya Kinar yang tampaknya baru datang.

"Gak pa-pa," jawab Ayumi dengan suara lirih.

Namun, tampaknya Kinar tidak percaya. Dia terus mengorek hingga pada akhirnya gadis itu mau menceritakan apa saja yang telah terjadi subuh tadi di rumahnya. Dengan serius Kinar mendengar apa saja yang keluar dari mulut temannya.

"Aku harus ngapain?" tanya Ayumi di akhir ceritanya.

"Hmm, kalau menurut aku tindakan yang diambil Yanti ada benarnya, loh—"

"Jadi, kamu setuju kalau aku gak diberi izin untuk menulis lagi?" tanya Ayumi sambil memotong ucapan Kinar.

"Gini loh maksudku. Jadi, sekarang kan mamamu sudah tau kalau kamu punya buku. Nah, itu berarti beban kamu berkurang, sekarang tugas kamu tinggal meyakinkan beliau jika menjadi penulis itu tidak seburuk yang dipikirkan."

"Caranya bagaimana? Buku pertamaku aja yang beli baru satu orang, bagaimana cara membuktikannya kalau aku bisa jadi penulis dan tidak buang-buang uang," keluh Ayumi dengan wajah sendu.

"Lakukan secara bertahap, Beb. Aku tau jual buku itu tidak mudah. Nah, kenapa kamu gak coba branding diri biar banyak yang tau, misal kamu perbanyak buat novel, buat antologi cerpen yang sampai dibukukan. Bisa juga kamu cari kerja sampingan agar menghasilkan uang jajan. Kan, biasanya orang tua akan luluh jika anaknya bisa mandiri minimal buat uang jajanlah."

"Kamu yakin?" tanya Ayumi seolah tidak yakin dengan saran temannya itu.

"Coba aja dulu, gak ada salahnya mencoba."

"Bagaimana kalau gagal, dan aku benar-benar dilarang menulis?"

"Kamu akan gagal jika pikiranmu seperti itu. Kamu aja belum coba, bagaimana hasilnya akan terlihat."

"Iya, deh, makasih ya atas sarannya."

Kinar hanya menyunggingkan senyuman dan dibalas senyum manis pula oleh Ayumi.

Karena keasyikan mengobral, mereka tidak sadar jika jam pertama sudah dimulai. Pak Andi sudah duduk manis di depan sana. Seluruh murid menaikkan bukunya dan melanjutkan pelajaran pada pertemuan Minggu kemarin.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak, hari ini kita akan melanjutkan pelajaran Minggu kemarin. Masih dengan pembahasan tentang review cerpen dan opini," tukas Pak Andi dan dibalas anggukan oleh murid-muridnya.

"Pak, izin pergi ambil buku." Dwi dan Fitri meminta izin ke perpustakaan untuk mengambil buku pembelajaran. Pak Andi pun mengiyakan karena dia memang lupa meminta tolong saat pertama masuk kelas.

Kedua murid itu pun meninggalkan kelas. Ada beberapa alasan murid-murid mengajukan diri untuk mengambil buku, salah satunya adalah ingin melihat kelas lain yang sedang belajar. Biasanya, sih, mereka akan tebar-tebar pesona di depan pintu kelas.

"Baik, mengenai tugas Minggu lalu yang diminta untuk review apakah sudah selesai?" tanya Pak Andi sambil mengarahkan pandangannya kepada seluruh murid yang ada di dalam kelas itu.

Sebenarnya, Ayumi sudah selesai tinggal dikumpul saja. Namun, dia menahan diri lantaran tidak enak dengan teman sekelasnya. Dia mengalihkan pandangannya kepada Kinar dan ternyata temannya itu juga sudah selesai.

"Kumpul, gak?" tanya Kinar sambil menundukkan kepala dengan suara kecil.

"Gak usah deh, kita tunggu teman-teman yang lain. Toh, nanti kita ada waktu untuk santai-santai," ucap Ayumi sambil mengeluarkan opininya.

"Oh iya kamu benar juga."

"Belum selesai, Pak," jawab Iqbal selaku anak terpintar di kelas.

"Oh baik kalau begitu, nanti kalau temannya sudah datang dari perpustakaan kalian lanjutkan saja tugasnya. Nanti kumpul di atas meja Bapak saja. Hari ini Bapak ada pertemuan dengan sekolah lain."

"Baik, Pak," teriak mereka secara serempak dan setelahnya Pak Andi pun sudah keluar dari kelas.

Raut senang terlihat di wajah teman-teman Ayumi. Terlebih bagi mereka yang belum mengerjakan tugas.

***
Jam istirahat pun telah datang, Ayumi memutuskan untuk ke ruang guru guna menemui Bu Yani. Entah kenapa dadanya deg-degan padahal dia hanya memberikan pesanan gurunya.

Untuk sampai ke ruang guru, Ayumi harus menyeberang lapangan atau menyusuri koridor dari kelas sepuluh ke ruang guru. Sebenarnya ada jalan yang lebih dekat, yaitu melewati koridor kelas dua belas. Akan tetapi, dia tidak berani. Alhasil yang dipilih adalah menyelusuri koridor kelas sepuluh.

Berjalan seorang diri membuatnya seperti seseorang yang tidak punya teman, ditambah dengan adik kelasnya banyak yang menggodanya. Dalam hati sudah berdoa agar langkah kakinya bisa lebih cepat dari sebelumnya.

Setelah melewati koridor yang super panjang akhirnya dia sampai juga di depan pintu ruang guru. Namun, dia tidak langsung masuk melainkan masih mengatur napasnya yang terengah-engah.

Saat kakinya ingin melangkah kembali, tiba-tiba wajah Bu Yani sudah ada di depannya. Jujur, dia terkejut, tetapi masih bisa dikondisikan.

"Oh sudah datang, Nak, ayo masuk dulu," tukas Bu Yani memutar kembali badannya. Ayumi pun mengikuti sambil menundukkan kepala karena di dalam ruang itu banyak guru yang sedang bercengkrama.

"Ini Bu, bukunya," ujar Ayumi menyodorkan plastik berwarna ungu.

Bu Yani langsung mengambil plastik tersebut seraya berucap, "Anak seperti ini yang harus kita kembangkan. Dia sudah membuat buku, ini bisa menjadi prestasi untuk sekolah kita."

Semua guru yang tadinya sibuk dengan dunianya, kini beralih menatap Bu Yani kemudian beralih ke Ayumi. Orang yang ditatap hanya bisa memasang senyum canggung.

"Ini kamu buat sendiri, Mi?" tanya Bu Hana yang kebetulan ada di samping kursi Bu Yani.

"Iya, Bu," jawab Ayumi sambil menundukkan kepala. Jujur matanya sudah berkaca-kaca, dia begitu terharu ketika Bu Yani mengumumkan prestasinya ke semua guru.

Dia tidak merasa kecil lagi, setidaknya ada beberapa guru yang percaya jika dirinya bisa menjadi penulis.

"Nah, Bapak-Ibu bisa beli bukunya langsung ke penulisnya. Kapan lagi sekolah kita ada penulisnya yang In Syaa Allah karyanya akan terkenal," ujar Bu Yani tak henti-hentinya mempromosikan buku Ayumi.

"Ini kamu buat bukunya berapa lama, Nak?" tanya Bu Hana terus melihat buku yang begitu menggugah.

"Sekitar tiga-empat bulan, Bu."

"Ibu pesan satu ya, anak Ibu suka baca novel soalnya," tukas Bu Hana dan itu membuat binar bahagia di wajah Ayumi.

"Siap, Bu, In Syaa Allah besok saya bawa bukunya."

"Ini kamu yang buat?" tanya salah satu guru yang baru masuk ke ruangan tersebut.

"Iya, Pak," jawab Ayumi dengan suara bergetar karena masih terharu dengan sanjungan Bu Yani.

"Hebat, terus kembangkan ya. Semoga suatu saat bisa jadi penulis hebat, seperti Asma Nadia, Mira W, Eka Kurniawan dan seperti para ulama-ulama terdahulu," tukas guru tersebut. Lagi-lagi mata Ayumi berkaca-kaca.

"Aamiin, siap, Pak."

Ketika mendapat penolakan di lain tempat, bukan berarti kata penolakan itu akan terus menemani. Akan ada saatnya di mana prestasi kita akan diakui, walau bukan dari keluarga sendiri.

Muara Badak, 11 September 2021

TBC

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now