12. Larangan untuk Menulis

7 3 0
                                    

Hari ini sekolah Ayumi tidak efektif untuk belajar, itu karena mereka semua sudah selesai ujian, tinggal menunggu pengumuman kenaikan kelas. Namun, sembari menunggu pengumuman, Ayumi memanfaatkan kesempatan itu untuk mempromosikan bukunya.

Beberapa hari setelah ulangan semester, sang kurir menghubunginya dan menginfokan jika ada paket atas nama dirinya. Tanpa pikir panjang, Ayumi langsung meminta bantuan kepada temannya yang pintar naik motor untuk mengantarnya ke ekspedisi tersebut.

Rasanya dia sudah tidak sabar untuk melihat karya pertamanya. Walau dia sangat sadar jika di dalamnya tidak terlalu bagus, masih banyak kesalahan. Namun, dengan keberanian dirinya menerbitkan buku itu sudah menjadi suatu prestasi yang wajib dia banggakan.

Tidak lama kemudian, akhirnya dia sampai juga. Wajar saja cepat karena jaraknya tidak terlalu jauh. Dengan gesit, Ayumi langsung melangkahkan kakinya.

"Permisi, Mbak, mau ambil paket," ucapnya ketika sudah sampai di depan pegawai ekspedisi tersebut.

"Atas nama siapa, Dek?" tanya orang itu. Ayumi dipanggil adik karena pakaian yang dia kenakan.

"Atas nama Gladiolus SW." Dia menyebutkan nama penanya.

Tidak lama, sang pegawai membawa sebuah benda yang berwarna hitam dengan ketebalan sekitar lima senti.

"Tolong tanda tangan di sini," ucap pegawai tersebut sambil menyodorkan sebuah kertas dengan nama pena Ayumi. Tangannya pun sudah menari di atas kertas tersebut membentuk sebuah ukiran yang cukup indah.

Setelah semua prosedur telah dijalankan oleh Ayumi, dia pun memutuskan untuk kembali ke sekolah.

Setibanya di sekolah, dia langsung membuka buku itu padahal niat awalnya ingin buka di rumah, tapi rasa penasarannya sudah tidak bisa dilawan lagi. Beberapa temannya sudah berkerumun membentuk lingkaran.

Ayumi membuka paket itu dengan hati-hati agar tidak terjadi apa-apa padahal jika langsung digunting pun tidak masalah. Setelah memakan waktu beberapa menit akhirnya bukunya kelihatan juga.

Di dalam paket itu terdapat sepuluh eksemplar. Satu per satu dikeluarkan oleh Ayumi kemudian difoto dan dijadikan story.

Dia juga meminta temannya menjadi model dalam foto itu. Alhasil Fira, Nisa, Fuji, sama Permana tak luput dari sasaran Ayumi. Setelah mendapatkan foto yang menurutnya bagus, barulah keempat temannya disuruh duduk.

Akan tetapi, entah kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah, dan itu sangat terlihat jelas, Kinar menjadi penasaran.

"Lah, kamu kenapa, Beb?" tanya Kinar yang duduk di sebelahnya.

"Aku bingung cara jualnya," tukasnya dengan nada yang begitu kecil.

"Jadi, kamu beli ini buku belum ada yang pesan?" tanya Kinar sambil memperlihatkan wajah seriusnya. Ayumi hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Memang dia harus berkata apa, toh yang dikatakan Kinar benar adanya.

"Kenapa kamu beli banyak-banyak, Beb, kalau belum ada yang pesan nanti kamunya yang rugi," jelas Kinar, Ayumi hanya bisa membuang napas panjang.

"Aku juga mau kayak penulis lainnya, bukunya banyak terjual," ujar Ayumi sambil memilin bawah hijabnya, sudah seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.

"Itu kan memang ada yang beli makanya terjual banyak. Lah, kalau kamu kan belum ada calonnya."

"Jadi aku harus ngapain, nanti mamaku marah dan benar-benar melarang aku untuk menulis. Ini aja aku pakai uang jajan beli bukunya." Wajah Ayumi sudah memerah.

"Jadi begini aja, aku bantu promo siapa tau ada temanku yang mau beli. Sekalian kamu coba-coba promosi di sekolah, kan, lumayan kalau guru pada tertarik dan mau beli bukumu." Saran dari Kinar pun diterima oleh Ayumi walau rasa tidak yakin masih menghinggapi dirinya.

Dia sangat sadar jika kehadirannya di dunia literasi sangatlah baru, bahkan belum ada setahun. Maka dari itu tingkat kepopulerannya juga masih sebatas dikenal saja, belum viral. Jadinya, karyanya pun belum terlalu dikenal.

***

Beberapa hari setelah pembukaan paket tersebut, Ayumi terus-menerus membuat story tentang bukunya beserta apa saja isinya. Saat dia sedang duduk di depan rumah, tiba-tiba ada pesan masuk dari Bu Yani selaku guru biologinya. Dada Ayumi langsung berdetak lebih kencang dari biasanya.

Dengan hati-hati dia membalas pesan tersebut, itu pun harus dihapus dan diperiksa berkali-kali.

[Jadi begini, Nak, Ibu tertarik sama bukumu itu. Ibu mau pesan dua ya]

Setelah membaca pesan singkat itu, Ayumi langsung menyimpan gawainya kemudian loncat-loncat, beruntung di saat itu keadaan sedang sepi. Jadi, tidak terlalu mempermalukan dirinya sendiri.

[Baik, Bu, besok saya bawakan bukunya ya] balasnya masih dengan perasaan senang.

Ternyata efek pesan itu berlanjut ke esokan harinya. Buktinya, pagi-pagi Ayumi sudah ada di depan rumah menunggu bus padahal itu masih pukul setengah enam, biasanya bus datang sekitar pukul setengah tujuh. Tingkahnya itu tidak luput dari penglihatan orang tuanya.

"Mi, ngapain dah siap-siap begini?" tanya ibunya di depan pintu.

"Mau ke sekolah, Ma, ini lagi nunggu bus."

"Bus datang jam berapa, sih, ini masih setengah enam. Sebaiknya kamu sarapan aja dulu nanti gak fokus lagi pas belajar karena lapar."

"Kok jamnya mundur, perasaan tadi sudah mau setengah tujuh deh," jawabnya dengan wajah kebingungan.

"Bukan mundur atau maju, tapi kamunya aja yang gak tau waktu. Lagian ngapain buru-buru ke sekolah?" tanya ibunya sambil memicingkan mata tanda menaruh curiga.

"Itu loh, Ma, aku ada PR terus belum dikerjakan makanya mau cepat-cepat ke sekolah." Ayumi beralasan karena belum berani menceritakan soal bukunya yang sudah terbit.

"Masa, sih, bukannya karena buku ya?" Ketika Ayumi berusaha menyembunyikan rahasia itu tiba-tiba adiknya datang dengan tidak tahu dirinya membocorkan semua.

Memang benar kata orang, bahwa sepintar-pintarnya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sedalam-dalamnya kamu menyembunyikannya bangkai akan tercium juga, dan itulah yang dirasakan oleh Ayumi. Dalam hatinya sudah ingin menyumpah serapahin adiknya.

"Buku apa, Yan?"

"Mama belum tau ya kalau Ayumi sudah menerbitkan buku novel."

Raut wajah yang sudah diperkirakan oleh Ayumi, terlihat juga di depan matanya. Entah akan bagaimana nasibnya nanti.

"Harus berapa kali Mama bilang jangan jadi penulis, kenapa masih tidak dengar. Mau jadi anak durhaka?"

Tidak usah ditanya bagaimana perasaan Ayumi saat itu. Suasana hatinya begitu kacau, matanya sudah berkaca-kaca dan sebentar lagi akan turun aliran sungai-sungai.

"Ma, apa salahnya menjadi penulis, ini juga bukan cita-cita Ayumi, hanya ingin memanfaatkan waktu saja," balas Ayumi dengan keberanian yang dia punya. Di saat itu Yanti sudah tidak ada, dia memilih untuk masuk kembali.

"Penulis itu masa depannya tidak terjamin. Carilah kerjaan yang bisa menghasilkan, bisa membuatmu sukses nantinya. Bukan malah membuang-buang waktu yang tidak jelas seperti itu."

Ayumi hanya diam, dia tidak bisa berkata-kata lagi, takut jika kata yang keluar dari mulutnya hanya akan menyakiti hati ibunya.

"Intinya Mama tidak pernah setuju kalau kamu nulis lagi. Lagian menerbitkan buku pasti pakai uang, kan. Nah, itulah kenapa Mama gak mau kamu jadi penulis, sudah buang-buang waktu, eh buang-buang uang juga. Banyak hal yang bisa kamu lakukan selain menulis." Setelah mengatakan itu, ibunya langsung masuk.

Ayumi hanya menahan amarah terhadap adiknya. Ingin rasanya dia menghilangkan kepala adiknya andai itu bukan perbuatan dosa.

"Semua orang punya hobi, tetapi tidak semua orang mendapatkan dukungan lebih atas hobinya itu. Masih banyak yang mengasah hobinya secara diam-diam, sehingga bersyukurlah bagi kalian yang sudah mendapat izin. Tinggal bagaimana caranya mengembangkan hobi itu agar semakin bermanfaat."

Muara Badak, 11 September 2021

TBC

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now