3. Murid Baru

24 10 4
                                    


Mentari telah menyingsing di ufuk timur, Ayumi dan Yanti-adiknya-tengah menunggu bus. Ayumi memutuskan untuk naik bus karena hubungannya dengan Chandra sedang tidak baik-baik saja.

Ayumi merasa jika pacarnya itu sudah berubah. Namun, setiap kali dia mengutarakan apa yang dirasakan, Chandra selalu beralibi dan mengatakan jika dirinya yang terlalu cemburuan.

Hal itu juga yang membuat Ayumi curiga soalnya sejak pertama pacaran dia sudah tahu jika dirinya cemburuan dan dia tidak masalah. Namun, kenapa baru sekarang dipermasalahkan. Hal itu membuat Ayumi semakin kelas dan memutuskan untuk tidak menghubungi laki-laki itu dulu.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bus yang dinantikan kedatangannya muncul juga. Yanti sudah dulu naik dan disusul oleh Ayumi.

Sepanjang jalan, Ayumi dirundung kesedihan mengingat hubungannya tidak bisa dikatakan sebentar. Segala rasa sudah merasa rasakan, dan segala macam rintangan sudah dilewati demi bertahannya sebuah hubungan.

"Kamu kenapa, mikirin Chandra, ya?" Ayumi terkejut mendengar pertanyaan itu, dan dia baru sadar ternyata teman duduknya teman sekelasnya sendiri, yaitu Nisa.

"Eh, Nis, gak kok, kami baik-baik aja," balas Ayumi dengan senyum terpaksa dan terlihat tidak natural.

"Aku cuma menanyakan kamu bukan menanyakan bagaimana hubunganmu. Lagian ngapain, sih, mau terikat dengan kata pacaran toh dia belum tentu jodohmu. Coba kayak aku, bebas, mau ngapain aja gak pernah galau, gak pernah takut karena memikirkan dia. Intinya gak tekanan batin kayak kamu," tukas Nisa diselingi dengan kekehan agar ucapannya tidak terlalu serius, tetapi bermakna.

"Ya, karena kamu belum merasakan apa yang aku rasakan, Nis," keluh Ayumi dengan wajah tampak sedih.

"Itu karena aku gak mau galau kayak kamu. Saat ini galau karena pacar sudah tidak jaman. Cobalah sekali-kali galau karena memikirkan nasib kita ke depan, misal kuliah gitu. Sampai sekarang aku masih bingung harus ambil jurusan apa, sedangkan Mama dan papaku punya pilihan sendiri, kan aku jadi bingung," cerocos Nisa sudah layaknya emak-emak yang sedang bernegosiasi dengan penjual.

"Kita masih kelas sebelas, Sayang, masih lama kalau mau kuliah. Ntar aja mah mikirin itu, santai aja," ucap Ayumi sambil mengibaskan tangannya ke hadapan Nisa sebagai pergantian kata "itu bisa diatasi nanti".

"Nanti-nanti, salah jurusan baru kapok." Tampaknya Nisa sudah mulai kesal menghadapi sikap Ayumi yang masa bodo. Padahal dia sudah beranggapan jika temannya itu akan excited, dikarenakan Ayumi memiliki sifat perfeksionis.

Memang ya, karena cowok bisa merenggut kewarasan. Percaya, deh, pasti nanti Ayumi bakal menyesal ketika sudah sadar, batin Nisa sambil melirik temannya itu yang terlihat semakin murung sudah layaknya burung tidak pernah diberi makan selama sebulan.

Setelah menempuh jarak beberapa meter, akhirnya bus itu berhenti juga di depan sekolah SMAN 1 MUARA BADAK. Sekolah yang sudah melahirkan beberapa ribu siswa-siswi.

Ayumi langsung turun dari bus tersebut dan langsung disambut dengan terangnya sang mentari. Awalnya masih malu-malu seperti pasangan yang baru, kini sudah sudah menampakkan sinarnya dan memberikan kehangatan bagi tubuh yang sedang kedinginan.

Ayumi, Yanti, dan Nisa bergegas masuk ke dalam sekolah tercintanya. Namun, saat di depan pos Yanti berpisah dengan kakaknya karena kelas mereka beda arah.

Keadaan hening menemani langkah kaki dua remaja itu. Tidak ada yang memulai percakapan. Kemungkinan masih terbawa suasana bus tadi. Nisa juga cuek bebek seakan apa yang dikatakan benar adanya dan tidak perlu meminta maaf.

Setibanya di kelas, suasana masih sunyi senyap. Hanya beberapa siswa yang datang, salah satunya Ayumi dan Nisa. Wajar saja jika mereka datang cepat karena sopir bus memang tidak pernah telat kecuali ada kendala.

"Loh, Juf, tumben kamu datang cepat padahal rumahmu dekat juga?" tanya Ayumi ketika melihat temannya yang sering datang lambat.

"Karena mau rasain bagaimana rasanya datang awal, dan ternyata gak enak. Harus nunggu lama untuk mendengar bel berbunyi," jawabnya dengan wajah datar.

"Lah, itu salah kamu. Ngapain juga datang terlalu cepat padahal rumah dekat juga, ibarat melangkah beberapa meter sudah sampai juga. Jadi, nikmati saja ya."

"Oh iya daripada kamu bosan menunggu lebih baik bantu aku nyapu," timpalnya dengan wajah menggemaskan.

Tanpa diduga-duga ternyata Jufri mau juga. Laki-laki itu bergegas ke belakang pintu untuk mengambil sapu. Ayumi dan Nisa dibuat tercengang, soalnya jika waktunya dia piket sama sekali tidak mau biar diancam tetap juga tidak mau. Namun, sepertinya ini menjadi rezeki Ayumi.

Dengan semangat, Ayumi menyapu dua baris meja di bagian kanan, sedangkan Jufri dua di bagian kiri. Sementara Nisa hanya duduk manis di mejanya sembari menunggu Fira datang. Biasanya gadis itu naik bus sama dengan Ayumi dan Nisa. Namun, kali ini memilih untuk naik motor.

Hari sudah semakin naik, satu per satu anak MIPA 3 sudah datang. Kelas yang awalnya sunyi senyap bahkan bernapas pun masih bisa terdengar, kini sudah tidak lagi bahkan berbicara dengan intonasi seperti biasanya sudah terbenam, itu semua karena ributnya mereka.

Untuk membunuh kebosanan, Ayumi mengambil buku pelajarannya. Bukan untuk belajar hanya untuk melihat gambar-gambar atau sekadar dibuka tutup.

"Buku tujuannya dibaca bukan hanya dibuka tutup begitu," celetuk seseorang dan tanpa melihat pun, Ayumi sudah tahu orangnya siapa lagi jika bukan Iqbal. Sialnya lagi mereka duduk berseberangan.

"Terserah akulah mau baca atau cuma lihat-lihat aja. Lagian gak merugikan kamu bangsa dan negara." Iqbal hanya menaikkan bahunya tanda terserah.

"Eh, ada kabar gembira untuk kita semua, kelas kita akan ada murid barunya." Semua yang ada di kelas langsung mengalihkan tatapannya ke Akbar karena baru datang langsung bernyanyi dengan lirik seperti iklan di televisi.

"Siapa, Bar, terus tau darimana?" tanya Permana tampak antusias.

"Cuma dengar di ruang guru tadi, sih," balas Akbar sambil menyimpan tasnya di samping Iqbal.

"Eh, anaknya cantik, gak?" tanya Permana lagi, kali ini matanya sampai berbinar-binar.

"Cantik matamu, dia cowok."

Seketika Permana meredupkan binar harapan itu. Dia langsung duduk dan tidak bertanya-tanya lagi.

Baru beberapa menit dikabarkan oleh Akbar. Murid barunya sudah datang dengan Bu Nur selaku guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas mereka sewaktu kelas sepuluh.

"Ayumi, sini," panggil Bu Nur.

"Iya, Bu, kenapa?"

"Kamu sekertaris di kelas ini, kan. Jadi, nama dia kasih masuk di absen paling bawah sekalian carikan tempat duduk yang kosong."

"Tidak perlu dicari, Bu, tuh samping Ayumi masih kosong," cetus Permana seakan sengaja menggoda gadis itu.

"Baik, Bu, Ayumi akan data dia sekalian mencarikan tempat duduk yang kosong."

Setelah mendpa jawaban yang diinginkan, Bu Nur langsung pergi dari kelas tersebut. Ayumi pun melaksanakan tugasnya sebagai sekertaris kelas. Dia mulai menanyakan nama murid baru tersebut.

"Oh iya ada yang mau duduk dengan Rizky, gak?" tanya Ayumi berharap ada temannya yang mau bertukar tempat duduk.

Jujur dia sedikit takut apabila duduk dengan siswa laki-laki. Dia takut jika Chandra akan marah dan cemburu.

"Duduk di samping kamu, kenapa, sih, lagian di sini kita belajar bukan mau ngapai-ngapain. Kamu terlalu memikirkan perasaan orang lain," cetus Iqbal dengan mata menatap layar ponsel.

Ayumi hanya bisa menahan emosinya. Dia pun mempersilakan Rizky duduk di sampingnya dengan jarak yang lumayan jauh.

Dalam hati, Ayumi hanya berharap Chandra akan mengerti.

Muara Badak, 17 Agustus 2021

TBC

Kritik dan saran sangat diperlukan untuk cerita ini. Bukan hanya saran tapi komentar biasa pun sangat diperlukan. Bagi yang sudah menyimpannya di perpustakaan, terima kasih banyak 😊

Emak, Anakmu Kuliah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang