10. Karya Perdana

6 3 0
                                    

Ternyata tebakan Ayumi tentang Kinar tidak benar. Nyatanya sekarang dia sudah mulai akrab dengan gadis itu. Kinar juga menghilangkan pandangan buruknya terhadap Ayumi.

Tawa riang selalu menghiasi hari mereka. Dua orang itu sudah seperti adik kakak. Ayumi bisa mengimbangi sikap dan sifat manja Kinar.

"Aku gak nyangka kalau kamu sifatnya gini ya," ujar Ayumi di kelas pada saat jam kosong.

"Emang kamu kira aku seperti apa?" tanya Kinar dengan wajah bingung.

"Yah, aku kira kamu orangnya jutek, terus gak suka berteman sama orang-orang di sini. Tau sendiri, kan, di sini desa beda sama sekolahmu dulu yang kota."

"Gak kok, cuma ya aku gak bisa langsung akrab sama orang lain. Kamu liat kan mukaku pas pertama tanya tempat duduk."

"Hmm kayak orang mau ajak kelahi sampai aku jengkel juga liatnya," jawab Ayumi sambil memainkan matanya dengan jengah.

"Tapi ngomong-ngomong soal sekolahku yang dulu, jujur pas pertama kali masuk ke kelas ini rasanya langsung syok. Kayak perubahannya sangat drastis banget."

"Tuhkan makanya tadi bilang seperti itu."

Obrolan mereka pun berlanjut dan suara ketawa terkadang keluar dari mulut mereka. Namun, obrolan itu harus berakhir karena kedatangan Fuji serta Jufri.

Jufri merupakan salah satu murid di kelas Ayumi yang memiliki perasaan terhadap Kinar. Sebenarnya dia hanya menduga-duga, dan ternyata dugaannya benar ketika Kinar cerita jika Jufri mengirim pesan kepadanya lewat aplikasi berwarna hijau.

Awalnya Ayumi kaget karena dia tahu Jufri orangnya seperti apa. Sejak SMP mereka berteman, dia tidak pernah mendengar temannya itu suka sama seseorang, bahkan ketika temannya menceritakan seorang perempuan dia malah beranjak pergi entah ke mana. Maka dari situ Ayumi sedikit heran ketika mendengar ceritanya.

Kedatangan kedua laki-laki itu menciptakan kecanggungan yang luar biasa, terkhususnya antara Kinar dengan Jufri. Ayumi dan Fuji hanya bisa saling pandang-pandangan dan terkadang Fuji menanyakan mereka dengan gerakan tubuh. Ayumi hanya menaikkan bahunya tanda tak tahu.

"Ais, ini kenapa pada diam-diaman begini, sih. Gak enak tau liatnya," ujar Fuji karena tidak suka dengan keadaan yang begitu mencekam.

"Iya nih, berasa kayak aku di kuburan aja. Ngomong-ngomong kita bahas apa, nih?" tanya Ayumi sambil memandang temannya satu per satu.

"Nghalu aja, Mi, seperti biasa," balas Fuji sambil menaikkan alisnya sebelah kanan.

"Oh yang kamu mau jadi wali kota, ya, biar bisa perbaiki jalan yang rusak?" tanya Ayumi sambil menahan tawanya.

"Iya, nanti kalau aku udah jadi wali kota, orang yang miskin bakal jadi kaya dan yang kaya jadi miskin. Keren, kan visi misiku," ujarnya dengan bangga.

"Kenapa bisa begitu, lagian bagaimana caranya kamu buat rakyat yang miskin jadi kaya?" tanya Kinar yang tampaknya sudah mulai tertarik dengan perbincangan tidak penting itu.

"Tenang, caranya mudah dan cepat cukup jaga lilin aja dan hasilnya sudah di depan ma—"

Satu pukulan mendarat di kepala Fuji. Dia pun mengelus kepalanya sambil menatap seseorang yang sudah membuatnya meringis.

"Juf, kenapa dipukul, sih?" tanyanya masih dengan nada kesakitan.

"Salah sendiri mengajarkan sesuatu yang gak baik."

"Serah aku, namanya juga ngehalu, ya gak Mi?" tanyanya sambil mencari pembelaan.

Ayumi hanya menganggukkan kepala dengan malas. Tugasnya hanya membenarkan apa yang keluar dari mulut teman SMP-nya itu, bukan?

Obrolan tidak jelas terus berlanjut. Dengan tingkah kocak Fuji mampu membuat obrolan mereka begitu awet. Namun, karena pergantian jam pelajaran, akhirnya mereka mengakhirinya dan kembali ke meja masing-masing.

***

Di siang hari, murid SMA Negeri 1 Muara Badak tidak melakukan pembelajaran karena guru sedang rapat. Alhasil di depan kelas XI MIPA 3 sudah dipenuhi dengan murid lain. Ada yang datang untuk mencari teman bermain game. Ada yang datang hanya sekadar mengobrol biasa, dan ada pula yang datang untuk menemui pacarnya.

Kinar sudah bergabung dengan bubuhannya Bella, sementara Ayumi masih tetap di mejanya sembari memainkan ponselnya. Segala sosial media tidak luput dari penglihatannya, itu semua karena ingin membunuh rasa bosannya.

Di saat sedang menonton YouTube, tiba-tiba aplikasi berwarna hijau mengeluarkan suara. Dengan gesit, jari jemarinya menekan aplikasi tersebut. Dia sedikit senang karena yang menghubunginya ternyata penerbit yang sedang menggarap naskahnya.

Saat pesan sudah terbuka sempurna, matanya langsung melotot karena terlalu senang. Dia langsung berdiri dan keluar kelas untuk menemui temannya. Setibanya di teras dia langsung memperlihatkan ponselnya tersebut.

"Menurut kalian cover yang cocok untuk bukuku yang mana?" tanya Ayumi sambil memperlihatkan ponselnya ke temannya satu per satu.

"Aku suka nomor satu, sih, kayak asli gitu," jawab Nisa memberikan jawaban terbaiknya.

"Nah, iya aku juga suka nomor satu, elegan dan simpel," jawab Fira penuh keyakinan.

"Iya nomor satu keren, dari cover itu kita sudah bisa menebak ceritanya seperti apa," tukas Fitri juga ikut memberitakan suaranya.

"Tapi kalau menurut aku, kalaupun misal covernya bagus kita tidak tau kan isinya seperti apa. Yah, rasanya percuma saja cover bagus, menarik, kalau isinya tidak bagus. Itu menurut aku, sih," jawab salah satu murid dari MIPA 1.

Ada rasa aneh menjalar di hati Ayumi, semancam sesuatu yang menusuk. Hatinya sedikit memanas, andai Nisa tidak memberi usulan untuk menanyakan kepada bubuhannya Bella. Kemungkinan Ayumi akan mengeluarkan isi pikirannya dan percekcokan pun terjadi. Namun, karena tidak ingin hatinya semakin panas dengan melihat murid itu, serta tidak ingin mencari masalah, Ayumi pun mengiyakan dan beranjak ke dalam kelas.

Lagi-lagi dia  melakukan hal yang sama, yaitu memperlihatkan gambar itu satu per satu ke temannya. Kali ini Ayumi mendapat respons baik dari temannya. Namun, tidak menutup kemungkinan hatinya akan tenang setelah mendengar kata sindiran dari murid MIPA 1 itu.

Setelah semua temannya sudah memilih, Ayumi langsung mengirim hasil voting cover bukunya. Ternyata yang terpilih cover nomor satu. Memang jika dilihat, dia pun sangat suka dengan cover tersebut sesuai dengan penilaian temannya.

Ayumi kembali duduk di tempatnya, pikirannya penuh dengan kata yang menyakitkan tadi. Apa yang dikatakan temannya itu sebenernya, ada benarnya juga. Bagaimana jika isinya tidak sebagus dengan covernya, secara itu karya pertamanya dan tidak mendapat layanan editing.

Rasa cemas sudah memenuhi pikirannya. Seketika rasa insecure timbul begitu saja. Niat hati ingin membuktikan jika dia bisa menghasilkan sebuah karya yang teman sekolahnya belum bisa, malah harus merasakan hal semenyakitkan itu menjelang bukunya dicetak.

"Mikirin apa, sih?" tanya Kinar yang sudah kembali ke mejanya.

"Gak pa-pa, aku gak percaya diri aja sama bukuku. Bagaimana kalau misal banyak kesalahan dan kekurangan," ucapnya tanpa melihat temannya itu.

"Itu hanya pikiran kamu saja, wajar jika misal ada kesalahan namanya juga buatan manusia. Kamu harus tetap percaya diri, tunjukkan kepada mereka bahwa kamu bisa menulis novel. Aku loh suka baca novel, tapi kalau buat rasanya belum bisa. Makanya aku salut banget sama kamu yang bisa membuat novel."

"Makasih ya sudah memberikan semangat."

Memang rasa tidak percaya itu sangat-sangat wajar jika muncul di diri seseorang. Namun, bukan berarti harus dibiarkan, sehingga merusak diri kita. Lawan rasa itu agar bisa terus melangkah. Jangan pernah takut untuk mencoba walau hasilnya gagal. Bukankah seseorang yang hebatpun pernah berada di titik tersebut?

Tidak semua manusia percaya dengan apa yang kita ucapkan. Mereka cenderung menganggap benar jika sudah ada bukti nyata. Maka dari itu, Ayumi mencoba untuk tutup telinga dengan tanggapan yang kiranya bisa membuat mentalnya down.

Muara Badak, 09 September 2021

TBC

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now