9. Murid Baru Lagi

10 4 2
                                    

Hari terus berganti, minggu pun ikut menyusul dan tidak terasa Ayumi sudah menyelesaikan semester satunya. Kini, tiba saatnya dia akan menempuh semester dua.

Dengan penampilan yang baru, Ayumi sudah berada di depan rumahnya sembari menunggu bus. Wajahnya begitu berseri-seri tidak sabar untuk sampai ke sekolah. Dia tidak sabar ingin melihat sekolahnya lagi setelah libur dua Minggu.

Tidak berselang lama, akhirnya bus yang dinanti-nanti datang juga. Dia dan Yanti—adiknya—melangkah dengan pelan, menaiki bus itu kemudian mencari tempat duduk yang kiranya masih kosong. Namun, nahas tampaknya semua kursi sudah terisi, jadinya dengan amat terpaksa dia harus menempuh perjalanan sambil berdiri.

Akan tetapi, baginya tidak masalah. Dia tidak akan marah-marah atau kesal karena ini kali pertama ke sekolah setelah libur semester.

Di dalam bus, dia dan beberapa temannya sedang bersenda gurau. Banyak hal yang mereka bicarakan misal semasa liburan mereka ke mana saja. Ayumi begitu antusias mendengar temannya bercerita tentang wisata yang sudah didatangi.

Ketika ditanya balik dia hanya menjawab jika sedang merampung sebuah novel. Memang sejak putus dengan pacarnya, Ayumi kembali menyibukkan diri untuk membuat novel. Dia sangat sadar jika ilmu literasinya masih sangat kurang. Namun, itu bukan alasan untuknya tidak menerbitkan buku.

Berawal dari teman-teman literasinya sudah banyak yang menerbitkan buku, alhasil dia pun berkeinginan untuk memiliki buku solo berupa novel. Dengan ilmu yang ala kadarnya dia pun merampung cerita itu walau harus menyita waktu liburnya.

"Kamu mau jadi penulis, Mi?" tanya Nisa sambil menatap Ayumi dengan tatapan biasa saja.

"Gak tau juga, intinya aku ngikuti arus aja. Gak ada niat juga, sih, mau jadi penulis," balasnya tak acuh, karena memang nyatanya dia tidak ada niat untuk jadi penulis, semuanya berjalan begitu saja.

"Lah, tapi kok mau nulis buku?" tanya Fira yang kebetulan naik bus juga.

"Yah aku ngikuti arus aja. Hatiku ingin aku menulis walau gak ada keinginan jadi penulis, jadinya aku ikut kata hati aja," balasnya lagi.

"Tapi Mama gak izinin kamu menerbitkan buku loh, buang-buang uang," celetuk Yanti yang ternyata mendengar obrolan kakaknya.

Seketika raut wajah Ayumi berubah. Memang orang tuanya belum memberikan lampu hijau lantaran menganggap jika penulis hanya buang-buang uang. Masa depannya tidak terlihat.

"Gak pa-pa deh, nanti biaya cetaknya aku pakai uang jajan aja. Nanti kalau sudah terbit baru aku kasih liat Mama," balasnya seolah tidak takut dengan ucapan adiknya yang seperti sedang menakut-nakuti.

Obrolan-obrolan terus berlanjut, hingga tidak terasa mereka sudah sampai di depan sekolah. Di depan sana sudah ada ucapan selamat datang. Senyum yang semula menghilang kini terbit lagi di bibir ranum Ayumi. Dia sudah tidak sabar untuk masuk ke sana, dan tidak sabar mendatangi kelasnya yang pasti masih berdebu.

Benar saja, ketika sudah sampai di teras kelas, Ayumi, Nisa, dan Fira terbengong-bengong melihat jendela depan yang penuh dengan debu. Fira langsung membuka pintu kelas yang kebetulan tidak terkunci dan ternyata meja serta kursinya sudah berdebu.

"Sepertinya kita akan akan bersih-bersih deh untuk hari ini," celetuk Ayumi setelah berada di depan mejanya.

"Eh suruh yang piket aja," usul Fira sambil menampilkan deretan giginya yang bergingsul.

"Enak aja, aku gak mau, pokoknya kita bersih-bersih bareng-bareng aja," ujar Ayumi karena pas hari itu ternyata jadwalnya dia piket.

Mau tidak mau Fira mengambil sapu dan membantu Ayumi begitu juga dengan Nisa. Seiring berjalannya waktu temannya satu per satu sudah pada datang. Ayumi yang awalnya sibuk membersihkan kelas, pun menghentikan kerjaannya dan memutuskan untuk duduk saja membiarkan teman sepiketnya yang bekerja.

Tiba-tiba di tengah aktivitas kecil itu, tiba-tiba Bu Nur datang bersama seseorang yang tidak dikenal, seragamnya pun berbeda. Semua murid menghentikan kegiatannya dan fokus menatap Bu Nur, begitu juga dengan Ayumi.

"Ini MIPA 3, 'kan?" tanya Bu Nur dan dibalas anggukan kepala oleh siswa, ada juga sebagian menjawab iya.

"Berarti benar aja. Kalian kedatangan murid baru, di sini siapa sekertarisnya?" tanya Bu Nur sambil menatap per satu wajah muridnya.

"Saya Bu," jawab Ayumi sambil melangkah mendekat ke arah Bu Nur.

"Ya sudah Ayumi, nanti kamu bantu dia untuk cari tempat duduk sekalian masukkan namanya ke dalam absen," ujar Bu Nur sambil menyuruh murid baru itu mendekat ke arah Ayumi.

"Baik, Bu, kebetulan Rizky tidak pernah masuk selama semester satu kemarin. Jadi, bisa duduk di samping saya untuk sementara waktu," tukas Ayumi sambil merogoh laci mejanya untuk mengambil absen kelas.

"Ya sudah, Ibu titip teman kalian ya di sini. Jangan diusilin," tukas Bu Nur dengan nada mengancam.

"Tenang, Bu, kelas ini penghuninya baik-baik semua, paling kena gombalan dikit, Bu," celetuk Permana yang kebetulan sudah datang juga.

"Yah, Ibu percaya di sini anaknya baik-baik semua. Kalau begitu Ibu permisi dulu." Bu Nur pun meninggalkan kelas.

Sepeninggal Bu Nur, hampir semua yang berada di kelas itu mendatangi murid baru, terkecuali Ayumi yang masih disibukkan dengan pendataan absensi. Lagian dia juga tidak bisa langsung akrab dengan murid barunya. Ditambah lagi dengan wajah dia sedikit menjengkelkan.

"Jadi, aku duduk di mana?" tanya murid itu dengan nada yang super jutek.

"Hmm seperti yang aku bilang tadi, untuk sementara waktu kamu duduk di sini aja sampai orangnya masuk. Kabarnya dia sedang sakit. Jadi, kalau orangnya sudah masuk, kamu bisa pindah di meja paling belakang," jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah meja yang dimaksud tadi. Murid itu ternyata mengikuti arah pandang Ayumi.

"Hmm baiklah," tukasnya kemudian menyimpan tas di samping kursi Ayumi.

Sampai terjadilah kecanggungan di antara mereka, tidak ada yang mengeluarkan suara, hingga Ayumi memutuskan untuk keluar kelas. Dia tipe seseorang yang sangat buruk dalam memulai obrolan ditambah dengan pertemuan pertama mereka yang menurut Ayumi sedikit tidak enak di matanya.

Gadis itu memang tipikal orang yang bisa dibilang sangat mudah menebak mimik wajah seseorang. Dia pastikan jika murid baru itu tidak terlalu suka dengannya.

"Eh, Mi, teman sebangkumu namanya siapa?" tanya Bella yang tampaknya ingin sekali dekat dengan murid itu.

"Oh dia, namanya Kinara Rahayu murid pindahan dari Lasem," balas Ayumi terkesan ogah-ogahan.

"Hah, serius?" tanya Bella dengan hebohnya.

"Iya, emang kenapa, sih?" tanyanya lagi.

"Orang Jawa tuh pada pintar-pintar semua apalagi Jawa Tengah. Yah, menurun lagi nih peringkat kalau begini," balas Bella sambil memperlihatkan mimik wajah menyedihkannya.

Ayumi seketika terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Jika yang dikatakan Bella benar, maka kemungkinan besar peringkatnya akan menurun. Mengingat persaingan kelasnya untuk menduduki peringkat lima besar begitu susah ditambah lagi dengan keberadaan murid pindahan itu.

Gadis itu hanya bisa meringis di dalam hati. Namun, dia tidak boleh menyerah, intinya di semester empat itu, dia harus mendapatkan nilai yang jauh lebih tinggi dari semester sebelumnya.

"Eh, Bel kamu ...." Baru saja ingin bertanya-tanya lagi, temannya itu sudah tidak ada di depannya.

Dia pun mengedarkan penglihatannya dan tertangkaplah dia. Bella sedang duduk di bangkunya sambil bercengkrama dengan murid baru yang katanya pintar dan memiliki sejuta prestasi.

Sebenarnya, ada juga untungnya Kinar duduk di sampingnya. Dia bisa menambah ilmunya atau belajar dengannya itu pun jika dia bisa berdamai dengan gadis itu. Karena membayangkan saja, Ayumi sudah kebingungan.

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now