8. Fokus

14 3 2
                                    

Setelah putus dengan pacarnya, Ayumi berubah, lebih tepatnya hijrah. Pakaian yang awalnya sudah lebar kini kembali dilebarkan lagi, jahitan yang pernah berada di kain itu akibat ingin mengepaskan badannya dengan pakaiannya yang dia kenakan. Kini, sudah dibuka kembali jadinya sudah sangat lebar.

Hijab yang awalnya hanya sampai dada, kini sudah terjulur sampai perut. Perubahan itu mengundang rasa penasaran dari teman-temannya. Namun, setiap kali ditanya alasannya, dia hanya bisa mengatakan ingin tampil beda.

Namun, temannya bukan orang bodoh, mungkin saja mulutnya bisa berdusta, tetapi sikap dan tingkahnya tidak bisa berbohong. Tidak hanya di situ, temannya pun dikagetkan dengan perubahan cara belajar Ayumi. Yah, dia memang anak berprestasi hanya saja jarang belajar kecuali ketika ingin ulangan. Biasanya jika sudah datang, gadis itu sudah ada di depan kelas untuk sekadar mengobrol. Namun, kali ini tidak, Ayumi hanya tinggal di dalam kelas sambil membaca buku Campbell yang telah dibelikan oleh pamannya. Terlihat aneh di mata temannya yang sudah mengenal luar dalam dirinya.

Namun, kita tidak pernah tahu sampai kapan Ayumi akan bertingkah seperti itu. Karena temannya pada tahu bahwa anak itu tidak betah melakukan sesuatu yang begitu-begitu saja dalam jangka waktu yang lama.

"Mi ada PR, gak?" tanya Fuji ketika baru tiba di kelas.

"Gak ada kayaknya," balasnya masih dengan menatap buku tebal itu.

"Rajin banget, masih pagi, nih," celetuk salah satu temannya.

"Ril, temani ke kantin, yuk," ujarnya ketika sudah menutup buku tebal tersebut. Entah kenapa lidahnya ingin merasakan makanan yang ada di kantin.

April pun menyetujui keinginan Ayumi, dia langsung berdiri dan melangkah di samping Ayumi. Raut girang terpancar di wajahnya sampai membuat April kebingungan.

"Sepertinya senang banget, ada apa?" tanya April sambil menyenggol Ayumi.

"Gak pa-pa rasanya pengen senang aja. Emang gak boleh senang, ya?" tanyanya dengan wajah minta ditampol.

"Bukan gak boleh, tapi kamu aneh aja, gak ada angin gak ada hujan langsung senyum-senyum begitu," jelas April.

"Entahlah aku juga gak tau kenapa bisa senang begini."

"Eh bentar, kamu gak mau singgah di kelas itu?" tanya April sambil menunjuk kelas beberapa meter di depan mereka. Ayumi hanya menggelengkan kepala.

"Kenapa? Bukannya aku selalu jalan sendiri karena kamu selalu singgah di kelas itu." Tampak rasa penasaran dalam diri April sudah menggebu-gebu.

"Gak pa-pa, aku sudah putus sama dia, kok. Jadi, mulai sekarang aku gak akan suruh kamu ke kelas sendirian lagi. Maafkan diriku yang kemarin, ya."

"Santai aja, kayak sama siapa aja."

Sebenarnya April ingin bertanya lebih lanjut kenapa mereka putus. Namun, diurungkan karena takut akan mengubah mood temannya. Dia juga tahu bagaimana rasanya ketika baru saja putus cinta, karena dia juga pernah merasakannya walau sebenarnya putus-nyambung.

Karena saling mengobrol akhirnya mereka tidak terasa jika sudah sampai di depan kantin. Sudah banyak siswa di dalam sana saling berebut tempat duduk hanya karena ingin sarapan. Beruntungnya dia sudah sarapan, sehingga tidak perlu berdesakan.

Ayumi memiliki camilan yang sudah digantung di depan pintu kantin. Begitu pun dengan April.

"Pagi-pagi kok makannya yang pedas," celetuk April ketika melihat tangan Ayumi menyentuh jajanan yang lumayan pedas.

"Gak pa-pa, biar jadi obat maag," ujarnya yang dibalas jitakan dari April.

April, bagi Ayumi sudah seperti kakak walau sebenarnya umurnya jauh lebih muda darinya. Namun, sikap dewasanya bisa mengimbangi sikap kekanak-kanakan yang dia miliki. Makanya, dia menganggap April sudah seperti kakak.

***
Tidak terasa waktu terus berjalan, kini Ayumi sudah sampai di mata pelajaran terakhir. Namun, lagi-lagi dia dan teman-temannya tidak bisa belajar lantaran gurunya tidak ada. Apa lagi jika bukan pelajaran Kimia.

Biasanya jika pelajaran kimia berlangsung, Ayumi pasti bolos alias pulang duluan dengan pacarnya. Namun, karena hubungan mereka sudah kandas dan tak bisa lagi disambung seperti pipa rucika, maka Ayumi hanya duduk di samping kelas sambil menikmati angin sepoi-sepoi.

Di tengah kesendiriannya tiba-tiba datang Akbar sama Iqbal, kemudian disusul oleh Permana. Ayumi masih terus di tempatnya tanpa ada niatan untuk beranjak walau teman laki-lakinya ikut bergabung juga.

"Ternyata ramai-ramai di sini enak juga, ya," celetuk Ayumi karena merasa garing dan sunyi.

"Selama ini ke mana aja, Beb?" tanya Akbar dengan posisi tiduran.

"Ya maaf, aku kan kalau jam kimia selalu bolos," balas Ayumi dengan nada sedih. Sedih mengingat perbuatanya yang tidak patut untuk ditiru.

"Bolos kok dipelihara," sarkas Iqbal seolah apa yang keluar dari mulut Ayumi suatu hal yang haram.

"Itu dulu, lagian sekarang aku sudah jadi anak yang baik-baik."

Setelah mengucapkan kata itu, tidak ada lagi yang bersuara hingga datanglah Nisa, Fitri, Fira, dan Lia. Mereka langsung mengambil tempat di tengah-tengah, sehingga membuat anak laki-lakinya menggeserkan badan. Sesekali Iqbal berdecak sebal.

"Nis, bau satenya enak banget ya," celetuk Permana sambil menatap Nisa.

"Ya, terus kenapa?"

"Beliin aku dong, dua ribu juga gak pa-pa," ucap Permana dengan wajah tidak tahu malunya.

"Gak ah, masih mau nabung untuk beli masker," jawabnya sambil memalingkan wajahnya.

"Tapi benar loh yang dibilang Permana, baunya sangat enak. Bagaimana kalau kita patungan aja, dua ribu satu orang," usul Fitri sambil menatap temannya satu per satu.

"Asal nanti gak ada yang kalap, semuanya mau dimakan," celetuk Fira dengan mata mengarah ke Permana. Semua yang berada di tempat tersebut tertawa kecil.

Ayumi baru merasakan punya taman, selama ini dirinya selalu menghindar. Setiap kali diajak untuk berkumpul selalu saja ada alasan. Kini, dia baru menyadari bahwa punya banyak teman tidaklah buruk dan andai waktu bisa diputar, mungkin dirinya akan memanfaatkan waktu itu untuk membangun komunikasi dengan temannya dengan baik.

"Mi, tinggal kamu nih yang belum kumpul uang," ujar Fitri sambil menyenggol bahu Ayumi dan seketika lamunannya buyar.

"Oh iya, ini," tukasnya sambil menyodorkan uang lima ribu kemudian diangsul oleh Fitri.

Fitri dan Lia pun bergegas untuk memesan sate yang baunya selalu mengganggu ketika pembelajaran sedang berlangsung.

"Kamu kenapa, Mi?" tanya Akbar yang menyadari perubahan raut wajah gadis itu.

"Ah, gak pa-pa, kok," jawabnya sambil tersenyum dan kembali bersenda gurau dengan teman yang lainnya.

Akbar hanya menganggukkan kepala walau sebenarnya dia tidak yakin dengan jawaban itu. Menjabat sebagai ketua OSIS serta ketua kelas, cukup memberikan pengalaman dalam menilai mimik wajah.

Tidak berselang lama, akhirnya kedua temannya itu datang juga sambil membawa bungkus satenya. Permana sudah menyambutnya dengan sangat antusias, bahkan sebelum Lia dan Fitri duduk, dia sudah mengambil kantong tersebut dan memakannya.

"Sudah dibilang jangan kalap, semuanya harus makan," celetuk Fira dengan nada kesal sambil merebut kantong yang ada di tangan Permana. Laki-laki itu hanya mendelikkan mata dan dibalas kekehan dari Iqbal dan Akbar.

Jika soal bully maka Permana-lah sasarannya karena hanya dia yang punya hati netral dan tidak mudah baperan. Apa pun yang dikatakan temannya selalu dianggap sebagai guyonan, alhasil temannya tidak sungkan jika ingin bercanda dengannya.

Muara Badak, 07 September 2021

TBC

Emak, Anakmu Kuliah?Where stories live. Discover now